Senin, 31 Oktober 2011

MENDAPAT REZEKI NOMPLOK




Hubungan suami istri terkesan ideal dengan memiliki rumah, kendaraan, anak yang lucu, serta pekerjaan tetap. Tapi, kenyataan di dalam hubungan tersebut terkesan kosong atau hampa. Sebab, yang paling dibutuhkan oleh perempuan yakni keintiman tak kunjung terpenuhi.
Walau beban pekerjaan kian lama semakin menumpuk, termasuk beban mengurus anak dan rumahtangga, yang  membuat tubuh istri menjadi lelah, tapi soal  keintiman tetap menjadi pilihan utamanya. Pada dasarnya, istri tetap mendambakan dirinya selalu diinginkan oleh pasangannya. Selalu ingin intim dan mendapat kepuasan, ketika berhubungan intim dengan suaminya.
Rutinitas pekerjaan sering dijadikan sang suami sebagai alasan untuk tidak bisa berduaan dengan pasangannya. Akibatnya, pasangannya merasa hubungan mereka sudah tidak intim lagi. Padahal, keintiman tidak selalu diwujudkan dalam bentuk hubungan seksual, tetapi cukup dengan tindakan kecil yang penuh kasih sayang. Misalnya, seperti mengelus kepala, mencium, merangkul, mengobrol santai, dan hal-hal lain  yang diinginkan oleh perempuan.
Menyisihkan waktu bersama yang cukup, merupakan kunci untuk menjaga keintiman. Walau demikian, faktor hubungan seksual sangat berpengaruh dalam menjaga keintiman. Bahkan, kalau faktor ini diabaikan, dapat memicu kecenderungan wanita melakukan perselingkuhan setelah menikah.
Kini, bukan saatnya lagi pasangan pria mendominasi sebuah "permainan" seks di ranjang. Tapi, wanita juga menginginkan kepuasan  ketika mereka berhubungan seksual dengan pasangannya. Kalau ketidakpuasan sampai terjadi dan  dibiarkan berlarut-larut, niscaya akan memunculkan tipe “wanita tidak puas.”
Dewasa ini,  makin banyak muncul tipe “wanita tidak puas” dalam rumahtangga. Makin banyak saja wanita menikah yang tidak puas dalam hubungan seksual dengan suaminya. Penyebabnya,  suami kurang mesra dalam bercinta atau tidak memperdulikan istri, sering dituduh menjadi biang keladinya. Istri dapat juga menjadi tertuduh, dengan alasan ia tidak berpengalaman, kurang memperoleh pendidikan seks sebelum menikah. Atau mungkin memang istri itu seorang hiperseks.
Bahkan, keduanya dapat dipersalahkan, dengan alasan   kurang ada keterbukaan antara suami dan istri dalam hubungan seks. Akibatnya,   banyak melahirkan wanita tidak puas, resah dan gelisah dalam kehidupan seks mereka.
Ada di antara wanita, sesungguhnya bukan tidak puas karena “ketiadaan hidup seksual.” Tapi, justru karena mereka tidak menemukan kepuasan dalam “kehidupan seksual” itu. Wanita tipe ini tidak sulit dijumpai, ia dapat ditemukan dalam semua lapisan dan lingkungan masyarakat.
Wanita-wanita yang tidak puas di bidang erotik ini, sering menyolok mata. Misalnya, dari gerak-gerik, tingkah laku, cara-cara dan kegiatannya, nampak terlalu aktif dalam kehidupan seksual, memberi indikasi bahwa ia seorang wanita yang tidak puas.  
Energinya yang berlebihan, mencoba mencari kompensasi di luar rumah. Sering pula tanpa disadari, bahwa perbuatannya itu merupakan suatu kesalahan tersembunyi dalam kehidupan perkawinan yang mesra.
Kalau seorang wanita tidak puas karena masalah lain dalam rumahtangga, tak banyak mengganggu kesehatannya. Tapi, tidak puas dalam hubungan seks, bisa menjadi masalah besar dalam rumahtangga. Bahkan, bisa merusak kesehatan badan dan jiwanya. Pasalnya, hubungan seks yang tak sempurna, dapat menyebabkan ketegangan yang berlebihan, mudah tersinggung, seperti yang terjadi pada “wanita histeris.”
Gejala ini sudah dikenal oleh dokter sejak zaman dulu sampai sekarang. Sebab, perkataan histeris berasal dari kata “hysteria,” yang  dalam istilah kedokteran  artinya “Rahim.” Misalnya, “histerektomi” yang berarti (dalam istilah kedokteran) “operasi pengangkatan rahim.” Tapi dalam KBBI kata “histeris” juga dipadankan (dalam istilah psikilogis)  “gangguan pada gerak-gerik jiwa dan rasa dengan gejala luapan emosi yang sering tidak terkendali seperti tiba-tiba berteriak, menangis, tertawa, mati rasa, lumpuh dan berjalan dalam keadaan sedang tidur”.
Selain itu, masih  banyak akibat yang lebih buruk dari ketidak puasan seksual tersebut, di antaranya terdapat rasa kurang keharmonisan dalam rumahtangga. Pada akhirnya sang istri merasa diperlakukan  kejam oleh suaminya yang egois dalam persoalan hubungan seks. Hanya mau mengajak istrinya berhubungan seks selagi ia mau, sesuai dengan seleranya, tanpa ia memperhatikan istrinya orgasme atau tidak. Kalau ia selesai, ya berakhirlah persebadanannya.
Ada pula suami berlaku seperti “Ayam Jago,” tanpa suatu proses pemanasan lebih dulu. Ia dengan garang dan kejam melompati istrinya seperti ayam jago bertindak kepada ayam betina. Tipe pria seperti ini, tidak kurang pula jumlahnya. Dengan cara seperti itu, sang suami  hanya memuaskan dirinya sendiri dengan mempergunakan tubuh istrinya. Hal ini merupakan cara yang keliru dalam sebuah perkawinan.
Bahkan sering kali terjadi, walau kenyataannya sang istri tidak puas, sang suami selesai berhubungan intim, lalu tidur pulas membelakangi istrinya. Betapa istrinya tidak menghendaki perlakuan seperti itu.
Wanita manapun tak dapat menerima sikap seperti itu. Sebab, di saat sang suami tidur mendengkur pulas di sampingnya, istri tak dapat memicingkan matanya. Istri tidak puas, merasa sakit hati,  dan sangat direndahkan. Dengan cara seperti itu, ia merasa seakan-akan menjadi budak seks suaminya. Ia hanya menjadi sasaran pelepasan nafsu birahi belaka. Sang istri mulai merasa jijik terhadap hubungan seks itu, karena apa yang diidam-idamkannya tidak tercapai. Ia benci dengan kegiatan seks bersama suaminya yang egois.
Ketidakpuasan istri dalam hubungan seks, akan mengakibatkan  dua kemungkin. Pertama, karena istri tidak puas, ia tidak mau lagi bersusah-payah. Hubungan seks dilakukan sebagai suatu kewajiban terhadap suami. Untuk melepaskan diri dari rasa benci dan malu, ia menekan perasaannya sendiri, akhirnya coitus itu tidak lagi bisa menyentuhnya. Ia tidak lagi mampu menciptakan perasaan-perasaan yang lebih hangat. Dalam setiap bersetubuh ia tetap tinggal dingin, dan pasrah. Ia hanya sekedar menunaikan kewajibannya sebagai istri, kehangatan itu sudah ia kesampingkan. Tidak saja ketika berada di tempat tidur bersama suami, juga tanpa ia sadari terbawa dalam kehidupan rumahtangga dan pergaulan sehari-hari di masyarakat. 
Kemungkinan kedua, ketidakpuasan istri dalam hubungan seks dengan suami, merupakan salah satu alasan bagi wanita-wanita berselingkuh mencari kepuasan di luar rumah. Mereka melakukan hubungan seks dengan PIL-nya, dengan gigolo, lesbi, atau anak-anak muda, seperti “brondong.”
***
Banyak cerita menarik tentang wanita-wanita tidak puas, salah satunya yakni cerita Yulia, yang katanya selalu mendapat “rezeki nomplok”.
Yulia (37 tahun), wanita cantik yang  saya temui di kafe Gerbera  di hotel berbintang lima, di kawasan Jakarta Pusat. Malam itu (11/2009) ia terlihat sedang menghadapi masalah dalam rumah tangganya. Ia banyak minum minuman beralkohol berkadar tinggi. Namun demikian, malam itu ia tampak tampil cantik secara alamiah. Daya tariknya (sex appeal)  yang menonjol, kulit kuning langsat, bertubuh atletis serta dengan wajahnya yang klasik, ia tetap merupakan wanita yang sedap dipandang dan menggoncangkan pikiran banyak pria.
Ketika saya datang, ia menyambut saya dengan acuh tak acuh. Tapi, ia persilahkan juga saya duduk semeja dengannya.
Lalu saya tanya, “Kenapa Anda terlihat tidak senang dengan
kedatangan saya?”
“Bukan begitu, sebelum bapak datang aku telah keburu mabuk,”
jawabnya.
“Jadi apa yang bisa saya lakukan?”
“Ya bapak temani saya minum, dan kalau nanti aku mabuk berat,
bapak yang menggotongku  pulang ke rumah,” ujarnya sedikit
bermanja diri.
Sambil menikmati hidangan yang ada di atas meja, Yulia bercerita: Ketika usiaku mencapai 33 tahun, bosku yang sudah duda,  berusia 62 tahun tiba-tiba memanggilku ke ruangan kerjanya. Tanpa basa basi, dan tanya dulu, apa aku sudah punya pacar atau belum, dia menyampaikan maksudnya padaku,  memintaku sebagi istrinya. Pengganti istrinya yang meninggal setahun lalu, tapi tidak punya anak.
Aku tidak bisa menjawab permintaan bosku itu. Walau berkali-kali didesaknya, tapi aku tetap diam, bungkam dan lidahku terasa kelu untuk menjawabnya.
Saat aku mau pamit keluar ruangannya, bosku bilang,  “Dalam perkawinan zaman dulu, kalau seorang anak gadis ditanya orangtuanya, dia setuju atau tidak kawin dengan si A.  Meski gadis itu diam, tapi orangtuanya tetap saja melangsungkan perkawinan anak gadisnya.  Pada zaman dulu ada anggapan, bila si gadis ditanya hal-hal yang berhubungan dengan pribadinya, dan bereaksi “diam,” berarti ia “setuju.” Dalam persoalan perkawinan, kalau gadis itu diam, berarti mau,” tutur bosku dengan wibawa seorang bapak.
Seperti kebiasaanku selama ini, setiap ada hal-hal yang berurusan dengan pribadiku, selalu aku sampaikan pada ibuku. Begitu pula halnya dengan permintaan bosku tadi di kantor, juga  aku ceritakan pada ibuku tatkala aku sampai di rumah. 
Setelah mendengar ceritaku, ibuku biasanya juga bercerita  pada bapakku. Meski bapakku sudah lama pensiun, tetapi dia masih saja mempergunakan arus informasi yang bertingkat. Dari bawahan ke atasannya, setelah melewati berbagai atasan, baru sampai padanya. Informasi yang tersering, disertai dengan saran dan solusinya.
Begitu pula arus informasi yang sampai pada bapakku, dari anak ke ibu, baru setelah disaring ibuku,  berikut saran solusinya, informasi itu disampaikan ke bapakku. Sehingga dengan cara demikian,  bapakku merasa tidak terganggu dengan hal-hal lain yang kurang penting, dibandingkan dengan masalah keutuhan keluarga, ekonomi keluarga dan kesejahteraan keluarga.
Kalau informasi disampaikan langsung, di luar arus informasi itu, bisa aku dianggapnya lancang. Atau bapak bertanya,  “Apa ibumu sudah diberitahu? Namun demikian, kedua orangtuaku sangat sayang padaku. Apalagi aku anak tunggal yang selalu dimanja.
 Ketika selesai makan malam beberapa bulan setelah kejadian itu, aku ditanya oleh bapakku, “Bagaimana hubungan kamu dengan bosmu di kantor, apa baik-baik saja? Apa ada hal-hal yang luar biasa? Seandainya kamu tidak betah lagi kerja di sana, nanti bapak akan carikan kerja di tempat lain!”  Dan ibuku menambahkan, “Bos kamu itu duda tanpa anak ya. Kasihan juga kalau dia tinggal sendiri. Apa menurut kamu tak ada wanita yang tepat untuknya?” Mendengar perkataan ibuku, bapakku diam tanpa komentar.
Malam itu, aku tidak mengerti arah pembicaraan kedua orangtuaku, hingga hal ini menjadi buah pikiranku sampai ke kantor. Di kantor sering aku bingung atau ketawa sendiri. Bahkan, sering aku berkhayal tentang  kemegahan dan kemewahan,  kalau aku bersedia kawin dengan si bos.
Aku benar-benar dihadapkan pada satu dilemma, atau  dua pilihan yang memojokkan. Satu pihak,  kalau aku kawin dengan pacarku, dia baru tiga tahun kerja, belum punya apa-apa. Untuk mencapai  kebahagiaan entah kapan, terutama dalam soal materi, akan  memerlukan  perjuangan panjang. Bahkan, kami bisa menjadi benalu  bagi kedua orangtuaku untuk waktu lama. Kalau begitu, kasihan bapakku yang berusia lanjut, masih dibebankan oleh hal-hal yang menjadi pilihan kami sendiri dan menjadi tanggung jawab kami setelah berumahtangga.
Di lain pihak, kalau aku kawin dengan bosku, dari segi materi aku akan cepat mendapatkan  kebahagiaan, malah tak perlu lagi perjuangan. Semua ada, dan sudah di hadapan mata. Tapi, bagaimana dengan cintaku kepada pacarku yang sudah lama terbina Apa perlu diakhiri dengan pengkhianatan? Hal ini juga menjadi buah pikiranku. Atau bagaimana anggapan dari teman-temanku? Sudah pasti, mereka akan menuduhku sebagai “cewek matre” atau “gadis mata duitan  yang tak tahu diuntung.”
Setelah pembicaraan pertama dengan bosku di ruang kerjanya dulu, bosku tidak pernah lagi menyinggung soal perkawinan denganku. Hanya ibu yang sering menanyakan tentang hubunganku dengan bosku. Kadang-kadang untuk menyenangkan hati ibu, aku bercerita yang baik-baik tentang bosku. Bahkan, sekali-kali aku bercerita dengan memuji-muji bosku.
Hal seperti ini berlangsung lama, tanpa mendapat kesan yang berarti dari ibu  (61) dan bapakku (68). Tapi, sebagai  anak tunggal, aku tak luput dari perhatiannya. Tidak sekalipun kedua orangtuaku memaksakan kehendaknya kepadaku. Dan aku pun amat sayang kepada mereka berdua.
Di kantorku sudah berkembang desas-desus, bahwa bosku yang duda kaya tanpa anak itu, sedang mencari jodoh serius. Hal itu pun kemudian makin menambah beban pikiranku juga. Setiap karyawati yang masuk ke ruangan bos, aku selalu curiga, pasti bos akan melamar cewek itu seperti aku dulu. Begitu pula kalau ada tamu wanita yang datang menemui bosku, aku juga mencurigainya. Apalagi kalau ada di antara teman-temanku berkomentar dan bergosip,  bahwa tamu bos itu cantik dan sebagainya, aku mulai cemburu. Situasiku benar-benar tidak menguntungkan, dan hal ini tidak aku ceritakan kepada ibuku, aku simpan dan kutelan sendiri.
Setahun berlalu,  gosip itu terus berkembang di kantorku, tapi belum ada tanda-tanda dari bosku untuk menikah lagi.  Aku juga   mulai bosan bekerja di perusahaan bosku itu.
Suatu malam, setelah makan malam,  dengan didampingi ibu,  aku utarakan kepada bapakku bahwa aku ingin pindah kerja. Bapakku tak banyak komentar, dia hanya memberi nasehat, “Ya kalau tidak betah lagi bekerja di sana,  pindah ke tempat lain. Hal itu sudah wajar,  hanya harus secara baik-baik. Ajukan permohonan berhenti, supaya surat keterangan kerjanya bisa digunakan di tempat lain.”
Atas nasehat bapakku, besoknya aku mengajukan surat pengunduran diri dari perusahaan  bosku. Dengan berbasa-basi, disertai ucapan maaf aku menyampaikan surat pengunduran diriku langsung kepada bosku, yang kebetulan lagi sendiri di ruangan kerjanya.
Setelah membaca surat pengunduran diriku, bosku tidak banyak komentar, hanya menitipkan pesan kepada bapakku. “Tolong tanyakan kepada bapakmu, kapan mereka ada di rumah dan bisa menerimaku,” ujarnya.
Malamnya, pada saat masih berada di meja makan, seusai makan malam, aku bercerita bagaimana aku mengajukan surat pengunduran diri, sekaligus aku sampaikan  pesan bosku kepada kedua orangtuaku. Bapak diam, ia melirik ibuku. Dan ibuku sedikit memberi tanggapan, lalu berkata, “Soal waktu, itu urusan bapakmu, nak.” Mendengar perkataan ibu,  bapak menitipkan pesan balik padaku,  “Katakan kepadanya kapan dia tidak sibuk, boleh datang ke rumah dan bapak tunggu.”
Esoknya, hal ini aku sampaikan kembali kepada bosku, dan bosku berkata, “Tolong sampaikan kepada bapakmu,  hari Minggu depan aku ingin bertamu beserta teman-teman. Sekalian ikut makan siang bersama bapakmu,” ujarnya. Lalu, ketika makan malam, pesan bosku itu aku sampaikan kembali kepada bapakku. Dan   kedua orangtuaku setuju.
Sekarang aku menjadi kerepotan, sedangkan kedua orangtuaku santai-santai saja. Maklumlah bos yang mau datang, sejak Sabtu pagi, aku sibuk mempersiapkan keadaan rumahku supaya terlihat rapi. Aku kerahkan kelima pembantuku, mulai dari tukang kebon sampai koki untuk membersihkan dan merapikan rumah, taman, halaman bahkan sampai ke kolam-kolam.
Malamnya,  aku sendiri turun tangan ke dapur, memasak makanan yang akan dihidangkan besok siang, agar  jangan sampai memalukan. Teman-temanku juga banyak membantu, begitu juga dengan tetangga. Memang sudah kebiasaan keluargaku, kalau ada tamu yang mau datang, hidangannya kami persiapkan sendiri, bukan dibeli di restoran. Hal ini merupakan kebiasaan ibuku dari dulu.
Menjelang makan siang, bosku datang bersama teman-teman dan saudara-saudaranya. Cukup banyak,  berjumlah 12 orang,  pria dan wanita. Mereka semua menikmati hidangan yang kami sediakan dengan lahapnya, semuanya hampir  tak tersisa.
Selesai makan, bosku bercanda dengan bapakku, “Pak, rupanya Yulia pintar masak, bisa membuatku betah makan di sini?” Bapakku menjawab dengan santai, “Itu semua tergantung Yulia, kalau dia mau,  bisa masak yang enak. Tapi kalau dia tak mau, jangankan masak yang enak, merebus air saja tak bisa.”
Canda itu berkelanjutan, dengan diselingi gelak tawa, yang kadang membuat kupingku panas, sekaligus membuat aku tersipu-sipu malu. Aku jadi serba salah, berada di tempat mereka.  Aku menjadi sasaran tembak candaan. Tapi, kalau aku keluar dari tempat mereka,  nanti dikira tidak sopan. Akhirnya, aku tetap memutuskan, bahwa aku tetap berada pada tempat semula, sampai tamu-tamu itu pulang, walau apa pun yang terjadi, terjadilah.
Bosku berada di rumahku sampai sore, bapakku  mengajaknya berkeliling rumah dengan halaman yang luas, dan  tanaman tertata rapi serta asri.  Meski  aku tak diajak bapak, tapi aku merasa bertanggung jawab terhadap tamuku. Aku juga ikut menemani mereka berkeliling. Hanya sedikit menjaga jarak, memberi kesempatan kepada bapakku  memperlihatkan dan menjelaskan hasil karyanya.
Bapakku tipe orang yang cepat akrab dengan tamu, tanpa memandang asal usulnya, kaya atau miskin tak ada bedanya. Begitu pula bapak memperlakukan tamuku. Menurut sepengetahuanku, meski baru pertama kali bertemu dengan bosku, bapak sudah terlihat akrab. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh bosku, yang selalu memberi hormat kepada bapakku, ketika memulai pembicaraan.
Kami tidak mempunyai kolam renang pribadi, karena menurut bapakku kolam renang pribadi atau keluarga itu tidak produktif. Buang-buang biaya percuma, menjadi sumber pemborosan, dan lambang bagi orang-orang yang pongah serta pamer kekayan. Tapi, tidak berarti bapakku anti terhadap kolam renang, di lingkungan real estate perusahaan bapakku. Dia membangun kolam renang yang megah lengkap dengan berbagai fasilitas yang menyenangkan, dan disewakan untuk umum.
Di rumah, bapakku juga membikin kolam, tapi bukan kolam renang, melainkan kolam ikan, yang ditaburi dengan berbagai macam benih ikan. Dalam mengisi hari tuanya, selain sebagai pemilik dan komisaris berbagai perusahaan, bapakku senang memelihara ikan. 
Di pinggir kolam itu, bapak membuat rumah pemancingan yang lengkap. Rumah kecil bergaya Eropa yang antik, dengan berandanya terbuka sampai ke kolam. Di ruangan dalam tersedia tempat istirahat, kamar tidur terbuka, ada ruang tamu dengan bangku-bangku antik yang terpasang sampai ke beranda, ada gudang penyimpanan perlengkapan pancing, ruangan ibadah, kamar mandi/WC dan dilengkapi pula dengan bar kecil yang selalu menyimpan minuman dingin beserta makanan kering. Beranda, juga berfungsi sebagai pelataran pancing. Dan di pelataran pemancingan inilah, bapak dan ibuku santai, bermain dan berlomba memancing ikan, setelah dapat dilepaskan kembali.
Ketika berada di pinggir kolam ikan tersebut, bapakku menghentikan langkahnya. Bapak mengajak bosku mampir dan duduk sejenak, karena sudah merasa capek berjalan. Maklumlah usia bapakku sudah tua, tidak sekuat masa muda lagi.
Ketika santai bicara dengan bapakku, bosku  mengajakku duduk mendekat. Sebab, sejak tadi aku memang menjauh dari mereka, agar tak mendengar apa pun pembicaraan mereka. Merupakan kebiasaan dalam keluargaku, anak gadis tak baik menguping pembicaraan orangtuanya dengan orangtua yang lainnya.
Setelah aku mendekat, bosku mulai bicara, “Begini Yulia, dulu aku pernah melamarmu, tapi tidak ada yang menyaksikan. Sekarang di hadapan bapakmu, aku ulangi lagi lamaranku. Apa kamu dapat menerimanya atau tidak? Jika kamu menerima, sebelum aku pulang,  pinanganku ini akan aku umumkan secara resmi pada saudara-saudaraku yang ikut datang, sekaligus mohon persetujuan dari bapak dan ibu serta saudaramu.”
Aku tak menyangka bosku akan bicara soal itu, yang aku duga mungkin soal surat pengunduran diriku. Tapi  mendengar hal yang tiba-tiba seperti itu, membuat aku menjadi kelabakan, mukaku pucat pasi, aku gugup, tak bisa menjawab, kecuali berkata kepada bapakku, “Terserah bapak sajalah.”
Setelah berkata demikian,  lalu aku berlari seperti anak kecil menuju ke rumahku. Menemui ibu di kamar, kemudian dipangkuannya aku menjadi menangis tersedu sedan. Tapi tangisku cukup punya arti, bukan tangis karena aku sedih, tetapi tangis kerena luapan kegembiraan. Aku  benar-benar merasa dilamar bosku, dan sekaligus aku merasa memperoleh kemenangan, dapat menyisihkan   puluhan bahkan ratusan  wanita menjadi pesaingku, yang selama ini sering menemui bosku.
Singkat cerita aku menikah dengan bosku, dalam suatu pesta yang meriah. Banyak teman bapakku yang datang, begitu pula teman-teman bosku. Dan tentu teman-temanku tak ketinggalan, semua mengucapkan selamat, serta menganggapku memperoleh rezeki nomplok.
Setelah pesta usai, dari tumpukan kado dan kartu ucapan yang aku buka, dalam salah satu amplop aku temukan ucapan selamat dari teman suamiku. Ada satu hal yang menarik aku baca, sehinga menjadi buah pikiranku.
Amplop dan ucapan itu tidak aku perlihatkan kepada suamiku. Sebab, urusan kado-kado itu sudah dipercayakan kepadaku. Dan ucapan selamat itu cukup panjang serta diketik rapi. Ucapan itu, agaknya dari teman suamiku yang paling akrab dari dulu sampai sekarang. Setelah sama-sama pensiun dan menjadi pengusaha, mereka tetap akrab.   
Isinya antara lain, dalam kata pembukaan, “Selamat ya Helmi. Selamat untuk kalian berdua. Semoga bahagia.” Setelah itu, dilanjutkan kata penutup,  “Ketika kalah bersaing memperebutkan ibunya, kau mengeluh kepadaku. Kini, kau tak akan mengeluh lagi kepadaku. Sebab, kini kau berhasil mempersunting putri tunggalnya. Jangan lupa bikin anak banyak seperti aku. Terima kasih, engkau telah memberi kesempatan kepada kami, agar bisa mengembalikan guyonmu dan ucapan selamatmu, ketika kami menikah dulu. Selamat Helmi, semoga kalian berbahagia.”
Walau aku tamatan salah satu universitas ternama  di  Eropa, tapi dalam soal perkawinan dan canda tersebut aku amat buta. Tidak ada mata pelajaranku yang mengungkapkan hal demikian. Aku boleh dikatakan jago dalam urusan bisnis, tapi urusan perkawinan dan ucapan guyon seperti itu, aku tidak mengerti.
Aku menjadi meraba-raba tentang apa arti ucapan selamat itu. Begitu pula tentang apa sebenarnya yang terjadi dengan perkawinanku. Aku tidak pernah mendengar cerita, gosip dan desas desus tentang ibuku dengan bosku selama ini.. Bapakku juga tidak pernah bercerita tentang bosku.  Apa mereka sebelumnya sudah kenal atau tidak, aku memang tidak tahu.  Setahuku, bosku baru sekali itu datang ke rumah, ketika ia melamarku. Lain dari itu, belum pernah aku lihat. Hanya teman-teman bapak lainnya, yang sering datang dalam berbagai urusan, di antaranya urusan perusahaan atau sekedar numpang mancing.
Aku tidak berani menanyakan hal itu kepada ibu, aku takut ibu tersinggung. Aku tidak mau menyakiti hati ibu, apalagi usianya sudah tua, tak perlu lagi dinista cerita masa lalunya. Begitu pula dengan bapak, aku makin tidak berani menanyakan soal itu, karena di mataku dan di hatiku tidak ada orang yang lebih baik dari bapak. Bapak tak pernah cacat, tidak pernah berselingkuh dan sangat perhatian kepada ibu, dan “bapak sudah merupakan orang suci bagiku.”
Atau aku tanyakan langsung kepada suamiku tentang hal ucapan selamat itu. Pertama, memang terlintas dari ingatanku untuk berbuat demikian, tetapi kemudian aku urungkan niatku itu. Sebab, aku khawatir rumahtanggaku jadi berantakan, dan ujungnya akan bermuara pada ibuku. Akhir semua niatku menanyakan kepada yang terkait aku batalkan. Ucapan selamat teman akrab suamiku itu, aku simpan sebagai kado perkawinanku yang penuh misteri.
Ketika akan menikah, aku sudah berterus terang dengan Helmi, calon suamiku. Bahkan, aku memintanya agar mempertimbangkan kembali pinangnya kepadaku, terutama mengenai soal keperawananku. Aku mengaku kepadanya secara terus-terang, bahwa diriku tidak perawan lagi dan sering bergonta-ganti pacar, putus–nyambung–putus-nyambung. Dan  itulah yang membuat aku menjadi telat kawin.
Calon suamiku menjawab santai, “Masalah itu tidak penting, yang penting hatimu. Sebab, aku juga seorang duda tua, yang sebentar lagi  harus menghadap Tuhan,” ujarnya.
Ketika aku sudah menikah dengan Helmi, kami menempuh bulan madu panjang di beberapa negara Eropa. Aku sempat bernostalgia ke kampusku di London, juga menikmati pemandangan indah dan bersih di negeri Belanda, mode di Paris, dan macam-macam hal di negara Eropa yang terkenal dengan sejarahnya seperti: Lisbon dan Madrid dengan berbagai hiburannya. Hampir tiga bulan kami berkeliling Eropa, setelah bosan baru kami sepakat kembali ke tanah air.
Selama berbulan madu, hubunganku dengan suamiku biasa seperti suami istri lainnya yang sedang dimabuk cinta. Hanya bedanya, suamiku lebih memperlakukan aku seperti anak kandungnya ketimbang sebagai seorang istrinya. Suamiku tidak seperti suami istri lainnya, belum punya anak saja sudah memanggil “mama,” atau “papa.” Suamiku langsung memanggil namaku “Yulia” atau “Yuli.”
Aku merasa bangga dan bahagia kawin dengan Helmi,  yang penuh dengan sifat kebapakan ini. Aku sendiri sudah banyak berobah, yang biasa liar menjadi anak yang patuh, setelah kawin dengan Helmi.
Selama dua tahun, aku  mengalami perkawinan yang puas dalam pengertian materi. Tetapi, dalam kepuasan seks yang aku dapati dari Helmi, jauh dari yang pernah kudapatkan dari pacar-pacar aku sebelumnya.
Helmi kurang perkasa. Dia cepat menyerah, dalam usianya yang  makin lanjut. Berkali-kali Helmi mencoba,  dibantu dengan pengobatan akupuntur atau obat kuat, tapi tetap saja membuatku jarang puas. Sekali-kali ada kepuasan, kalau sebelum berhubungan intim,  ia tidak memperlakukan aku sebagai anaknya.
Dalam perkawinanku memasuki tahun ketiga,  aku mulai  bosan.  Dalam hatiku timbul berbagai kegalauan, terutama terhadap apa yang aku peroleh bersama suamiku di ranjang, dan keinginku seperti wanita normal. Aku ingin punya anak, bukan sebagai wanita mandul. Tapi, pada diriku belum terlihat ada tanda-tanda akan hamil. Kegalauan pikiranku makin bertambah,  tatkala ibuku bertanya, “Bagaimana nak, apa sudah ada tanda-tanda ibu akan menggendong  cucu?”
Kebosanan dan kegalauan tersebut, aku rasakan dan dipendam sendiri. Aku tidak bercerita pada suamiku, juga tidak pada kedua orangtuaku. Tapi, kalau bertemu dengan ibuku, melihat aku kurang ceria, ibuku dapat memahami apa yang aku inginkan. Kemudian, ibuku selalu menasehati aku, “Sabar ya nak, orang sabar dikasihi Tuhan.”
Tiga bulan yang lalu, suamiku memperkenalkan sopir barunya kepadaku. Namanya cukup keren, “Andersen.” Pemuda ganteng usia 25 tahun, badannya sedang, tidak terlalu gemuk, tegap, tinggi, hidungnya mancung dan berkulit putih, yang baru tamat kuliah di sebuah universitas swasta ternama di Jakarta.
Pemuda itu, semula datang melamar ke kantor suamiku. Tapi,  di kantor suamiku sedang tidak ada lowongan. Ketika kepala SDM-nya memberi tahu, bahwa di kantornya ada yang melamar kerja, suamiku meminta agar menghadapkan pelamar itu kepadanya. Setelah pelamar datang menghadapnya, suamiku menanyakan kepada pemuda itu,  “Apa keahlianmu yang lain?”  Pemuda tersebut  menjawab, “Sebagai sopir”.
Menurut pemuda ini, dia kuliah dengan membiayai kuliahnya sendiri sebagai pengemudi taksi. Mulanya, suamiku tak percaya, masak pemuda seganteng ini mau menjadi pengemudi taksi? Tapi kemudian, suamiku timbul rasa ingin membantu, karena berpendapat pasti pemuda ini orang baik-baik. Kalau tidak demikian, mana mau menjadi sopir taksi. Kalau pemuda ini mau mencari uang secara tidak halal, seperti menjadi gigolo, pasti banyak tante yang mem-booking-nya.
Dengan alasan percaya itu, suamiku memutuskan, sambil  Andersen belajar kerja di kantor, buat sementara dia merangkap sopir dan pembantu pribadi suamiku.
Mula-mula aku tidak menaruh perhatian kepada sopir baru suamiku itu. Tepi sebulan kemudian,  suamiku berangkat ke luar negeri untuk tugas perusahan. Sebelum berangkat di Bandara Soekarno-Hatta, suamiku berpesan, “Kalau tidak ada sopir di rumah nanti, Andersen bisa diminta bantu.” Aku cuma bisa menjawab, “Baik pak,” tanpa aku mengerti lebih dalam omongan suamiku itu.
Dalam perjalanan pulang dari bandara, aku tidak banyak bicara dengan Andersen. Bicaraku dengan dia, sebatas istri bos dengan sopirnya. Ketika pamit pulang, setelah selesai mengantarku sampai di rumah,  Andersen menanyakan, tugas apa yang dia lakukan besok.  Aku agak ragu memutuskan, karena aku juga mempunyai sopir pribadi. “Kamu datang saja ke kantor dulu, nanti kalau aku butuh kamu akan kutelepon,” ujarku.  “Baik bu,” jawab Andersen, lalu ia pamit pulang.
Heh dasar semua kebetulan, esok harinya sopirku tidak masuk kerja, dengan alasan anaknya sakit.  Guna mengatasi kesulitan itu, aku minta tolong kepada pembantuku agar menelepon Andersen, supaya datang ke rumah, menggantikan tugas sopirku yang tidak datang.
Andersen datang, dia melaksanakan tugasnya sebagai sopir dengan baik. Mulai membersihkan mobil, sampai mengatur semua perlengkapan yang harus dibawa.
Aku hobi renang, pada hari itu memang sudah terasa jenuh untuk berenang sendirian di rumah. Aku bersama teman-teman wanitaku, ingin berenang di kolam renang perusahaan bapakku, yang khusus untuk eksekutif.
Ketika masuk ke arena kolam renang, aku minta bantuan Andersen membawa barang-barangku ke dalam, sampai ke tepi kolam renang. Aku perkenalkan dia dengan teman-temanku yang sudah lama menunggu. Semua berdecak kagum, “Kok ada sopir seganteng ini”, komentar seorang temanku.
Bahkan, ada temanku yang jahil, “Ajak aja dia menemani kita berenang.” Karena itu, aku tanyakan kepada Andersen,  apa dia hobi renang. Dia jawab “ya.” Lalu, aku beri dia uang. Dan aku suruh dia  membeli celana renang untuk dia sendiri, sekaligus bisa menemani kami berenang.
Ketika Andersen tampil dengan pakaian renangnya, teman-temanku makin bertambah kagum. Melihat bodinya yang bagus, putih dan berotot yang  seimbang dengan tinggi dan bahunya yang bidang.
Aku tidak mau banyak mendengar ocehan  dan kekaguman teman-temanku kepada Andersen. Tapi, sejak itu aku juga mulai tertarik kepada sopir suamiku itu. Kadang-kadang aku berkhayal, juga tentang hal yang bukan-bukan.
Andersen orangnya ramah, sopan, dan lugu. Masih seperti pemuda kampung yang jauh dari gemerlapnya dunia  modern.  Dia enak diajak bicara, karena mempunyai dasar pengetahuan yang cukup. Menurutnya, dia rajin membaca. Dulu, setiap menunggu penumpang taksinya,  kesempatan itu tidak dia sia-siakan, selalu digunakan untuk membaca.
Lama-lama aku menjadi tertarik kepadanya. Ketika aku ke villaku di Puncak, aku ajak dia sebagai sopirku. Malam harinya, aku ajak dia bicara, sambil minum-minum di beranda. Hari sudah larut, udara dingin mulai menyengat, kami pindah minum ke dalam kamarku. Mulanya, dia enggan dan agak ragu. Tapi, seperti anak yang patuh, dia ikut juga ajakan ibunya.
Malam itu, aku sudah mabuk berat, tapi Andersen tidak. Sebab, dia hanya minum minuman enteng, tanpa alkohol. Ketika duduk di sofa, aku mulai menyandarkan badanku kepadanya. Mulanya, dia ragu memberikan reaksi yang tabu. Tapi lama-kelamaan, dia juga menyenanginya. Malam itu, aku berhasil membuang energiku yang sudah lama terpendam. Aku benar-benar puas, sampai terlelap tidur sampai siang harinya.
Ketika aku bangun,  Andersen sudah tidak ada di sampingku. Aku cari dan panggil dia, rupanya dia sedang aysik menjalankan tugasnya mencuci mobil di depan garasi.
Suamiku sebulan lebih di luar negeri. Menjelang suamiku pulang, aku menjadi sering berselingkuh dengan sopirku. Dan perselingkuhan itu tentu tertutup rapi. Aku minta Andersen menutupnya rapat-rapat. Andersen patuh, karena dia menyadari, kalau dia membocorkan peristiwa itu, pasti dipecat oleh suamiku. Bahkan, bisa dituntut dianggap menyebar fitnah atau merusak nama baik keluargaku. Sebab, perselingkuhanku dengannya tak ada saksi.
Ketika suamiku pulang, tak ada perubahan yang dapat dicium olehnya. Aku tetap dianggapnya sebagai seorang anak yang manis dan lucu, dan aku tetap menganggapnya sebagai seorang suami sekaligus bapak kedua yang penuh wibawa.
Satu kabar yang membuatku bahagia, bahwa menurut suamiku, setelah selesai menjalankan tugas perusahan, dia sempat mengikuti berkali-kali terapi seks di Paris. Bahkan katanya, sampai menjalani test sperma segala, yang hasilnya baik.
Aku sambut kabar gembira yang disampaikan oleh suamiku itu. Setelah istirahat sejenak,  malamnya langsung kami uji coba peluru kendali yang sudah direnovasi itu. Memang terasa ada sedikit perubahan, tapi karena faktor usianya, suamiku terasa tidak sejantan Andersen.
Tapi, hal itu tak menjadi masalah. Sebab, selain aku punya suami, juga sudah mempunyai pemuda selingkuhanku. Bersama dia, aku setiap saat ketika suamiku ke luar kota, atau pergi ke luar negeri, ada Andersen yang bisa memuaskan nafsu berahiku.
Dalam dua bulan ini, Helmi suamiku, rajin menguji peluru kendalinya bersamaku, meski keampuhannya diragukan. Namun,  dua bulan ini pula haidku tidak datang. Aku menjadi gelisah dengan berbagai pertanyaan. Ini janin siapa yang berada di rahimku, janin Helmi atau Andersen? Apa aku beritahukan atau tidak  kepada suamiku?  Kalau aku beritahu begaimana reaksinya? Aku khawatir dia bereaksi negatif, karena selama berpuluh-puluh tahun dia berhubungan seks dengan istrinya yang pertama, tidak membuahkan hasil.
Kalau tidak diberitahu, bagaimana tanggapannya setelah perutku besar, dia baru tahu kehamilanku? Dia pasti akan menuduh yang tidak-tidak. Hal inilah yang menjadi problema rumahtanggaku sekarang. Seperti judul sebuah film warkop, “Mundur kena maju pun kena,” ujar Yulia menutup ceritanya yang panjang, sampai aku perlu membalik pita kaset perekamku.
Lama Yulia terdiam, dia makin sering mengangkat gelasnya. Tambah lagi, minum lagi, membuat saya menjadi khawatir. Guna mengalihkan perhatiannya,  saya berkata, “Jadi, rupanya itu yang kamu maksud dengan mendapat rezeki nomplok. Dapat suami kaya, dapat sopir ganteng, yang bisa menyopir luar dalam, dan dapat janin yang sudah lama diidamkan-idamkan oleh suami  dan kedua orangtuamu”
Mendengar pernyataan saya itu, yang menyebut kedua orangtuanya, Yulia seperti terbangun dari mimpi. Lantas ia berkata, “Oh iya, iya benar, orangtuaku butuh cucu, aku harus pelihara ini, aku tidak celakakan dia dengan minuman. Tapi bagaimana caranya?”
Mendengar pertanyaan itu, saya langsung menjawab, “Tidak sulit Yulia, beritahulah suamimu secara baik-baik, bahwa haidmu bulan ini tidak datang. Setelah itu, ajak dia memeriksakan kandunganmu ke dokter spesialis. Tidak perlu banyak cerita. Kalau hasilnya positif, peluk dia dan cium dia. Lalu ucapkan terima kasih yang mendalam. Mungkin dengan cara demikian suamimu akan bangga, karena usaha terapinya di  Paris membuahkan hasil. Apalagi suamimu juga mendambakan anak, untuk membuktikan bahwa dia jantan.”
Setelah mendengar jawaban saya,  Yulia seolah-olah terbangun dari mimpinya kedua, “Benar pak,” ujarnya lalu segera memanggil pelayan dan meminta bill-nya. Setelah  membayar bill itu dan memberi tip pelayan, ia segera pamit pulang. “Terima kasih pak, dan selamat jumpa,” tutur Yulia sambil menaiki mobil mewahnya. 

SELANJUTNYA DAPAT DIBACA 
"BUKU WANITA-WANITA SELINGKUH"
TERSEDIA DI TOKO BUKU GUNUNG AGUNG 
DAN TOKO BUKU GRAMEDIA
 






Jumat, 28 Oktober 2011

HUBUNGAN PAGARUYUNG DENGAN BANGSA BARAT







  Berbagai sumber kuno memberikan fakta sejarah, bahwa Indonesia sedari zaman sebelum Masehi, dikenal sebagai satu Negara besar menyimpan banyak kekayaan alam yang melimpah ruah. Sumatera merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia, terkenal memiliki aneka ragam kekayaan alamnya. Dalam berbagai prasasti, pulau Sumatera disebut dengan nama Sansekerta “Suwarnadwipa” atau  “pulau emas,” dan “Suwarnabhumi” atau  “tanah emas.” Nama-nama ini, sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi. Sumatera juga dikenal sebagai pulau Andalas, penghasil utama emas, timah  dan rempah-rempah, seperti lada, kopi, dan sebagainya.
Pada masa Dinasti ke-18 Fir'aun, Mesir (sekitar 1.567 SM - 1.339 SM), di pesisir barat pulau Sumatera telah dikenal  pelabuhan yang ramai, dengan nama Barus (Lobu Tua - daerah Tapanuli),  diperkirakan sudah ada sejak 3000 tahun sebelum Masehi. Barus dikenal karena merupakan tempat asal kamper atau kapur barus, yang  digunakan sebagai salah satu bahan pengawet mummy Fir'aun Mesir kuno.
Di samping Barus, di Sumatera juga terdapat kerajaan kuno lainnya. Sebuah manuskrip Yahudi Purba menceritakan, sumber bekalan emas untuk membangun kota kerajaan Nabi Sulaiman, dulunya diambil dari sebuah kerajaan purba di Timur Jauh, dinamakan Ophir. Kemungkinan Ophir tersebut berada di Sumatera bagian barat, yakni gunung Ophir, yang dikenal juga dengan nama Gunung Talamau,  merupakan salah satu gunung tertinggi terdapat di daerah Pasaman.
Menurut sumber kuno, dalam kerajaan itu terdapat pegunungan yang tinggi dan mengandung emas. Konon pusat kerajaan Minangkabau terletak di tengah-tengah galian emas. Dan emas yang dihasilkan kemudian diekspor melalui sejumlah pelabuhan, seperti Kampar, Indragiri, Pariaman, Tiku, Barus, dan Pedir.
Cerita Yahudi Purba dan berbagai sumber kuno tentang kekayaan logam mulia, bahan mentah dan rempah-rempah yang dikandung Indonesia, khususnya di pulau Sumatera, menarik perhatian,  sekaligus  mengundang bangsa barat untuk datang ke Indonesia umumnya, khusus ke pulau Sumatera.
Minat bangsa barat datang ke Indonesia umumnya, khusus ke pulau Sumatera makin bertambah kuat,  setelah di negara-negara barat  berkembang pula paham Merkantilisme dari abad ke-16 sampai ke-18 dan Revolusi Industri  yang berlangsung sejak  abad ke-17.
Paham Merkantilisme dipelopori oleh beberapa tokoh, seperti Thomas Mun Sir James Stuart dari Inggris, Jean Baptiste Colbert dari Prancis, dan Antonio Serra dari Italia.
Secara umum, Merkantilisme dapat diartikan sebagai suatu kebijaksanaan politik ekonomi dari negara-negara imperialis yang bertujuan untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya kekayaan berupa logam mulia untuk dijadikan sebagai ukuran terhadap kekayaan, kesejahteraan, dan kekuasaan bagi negara yang bersangkutan.
Dengan kata lain, semakin banyak logam mulia yang dimiliki oleh suatu negara imperialis, maka semakin kaya dan semakin berkuasalah negara tersebut. Mereka percaya bahwa dengan kekayaan yang melimpah,  maka kesejahteraan akan meningkat dan kekuasaan pun semakin mudah untuk didapatkan.
Selain itu, di negara-negara barat juga berkembang Revolusi Industri pada abad ke-17, yang dipelopori oleh Inggris, kemudian berkembang ke seluruh negara di Eropa.
Revolusi industri pada dasarnya menunjukkan pada proses perubahan yang cepat di bidang ekonomi, yaitu dari ekonomi agraris (pertanian) ke ekonomi industri dengan menggunakan tenaga-tenaga mesin (tidak lagi menggunakan alat-alat manual yang mengandalkan keterampilan tangan dan tenaga manusia), sehingga dapat meningkatkan produktivitas barang.
Akibat dari Revolusi Industri tersebut, negara-negara barat saling berlomba mencari bahan mentah untuk industrinya, dan daerah pemasaran baru  untuk hasil industrinya.
Pulau Sematera yang kaya dengan logam mulia, bahan mentah dan rempah-rempah menjadi rebutan bangsa Belanda dan Inggris. Sedangkan  Portugis, Spanyol dan Perancis, tidak pernah menjajah pulau Sumatera, tapi bangsa Portugis dan Prancis pernah datang ke Minangkabau untuk kepentingan  lain.
 SELANJUTNYA DAPAT DIBACA DALAM BUKU MINANGKABAU DARI DINASTI  ISKANDAR ZULKARNAIN SAMPAI TUANKU IMAM BONJOL  YANG BISA DIDAPAT DI TOKO BUKU GRAMEDIA.

Rabu, 26 Oktober 2011

DI SALON PUN BISA



Salon adalah semacam surga bagi kaum wanita. Di sana para wanita dari segala usia, memanjakan diri dengan menyerahkan tubuhnya kepada petugas atau pelayan salon,  agar dirawat dengan sebaik-baiknya dan senyaman-nyamannya. Sehingga kalau keluar dari salon itu, seluruh tubuh rasanya segar dan nyaman. Seakan-akan muda lagi, seperti dapat energi ekstra.
Sekarang salon bukan lagi monopoli kaum hawa. Kaum pria pun bisa datang kesana, dengan tujuan yang sama; ingin tubuhnya dirawat, dimandikan, dipijat, dan sebagainya.
Kini, dibeberapa tempat di negeri  ini juga ada salon yang khusus untuk wanita, dan ada juga salon khusus bagi pria. Keistimewaanya untuk salon khusus bagi wanita, petugas atau pelayan yang melayani mereka semuanya pria muda. Sebaliknya di salon khusus pria,  para petugas dan pelayannya adalah wanita-wanita muda yang cantik dan sexy  dengan sentuhan tangan yang mengundang penyerahan diri.
Perkembangan terbaru, kaum pria bisa mendapatkan perawatan tubuh secara lengkap dan super nyaman di sebuah salon yang menerima tamu wanita maupun pria. Jenis pelayanan dan perawatan yang ditawarkan pun sangat beraneka ragam, bisa sampai 50 macam.
Kalau rambut digunting, kepala dipijat sampai ketiduran, lalu dikeramas oleh seorang gadis muda yang cantik, mungkin rasa nyaman bisa seperti terbang di antara awan-awan. Tapi, apakah sudah pernah merasakan yang namanya “penis waxing”?
Penis waxing  adalah perawatan terhadap kemaluan pria.  Bila setuju, semua bulu yang jarang kena sinar matahari itu,  pelan-pelan dioleskan dengan semacam krim, dilapisi dengan kertas lem, kemudian dicabut sampai  semua habis,  alias gundul. Atau terkadang dengan  cara dicukur atau digunting,  tergantung kemauan  tamunya.
Ada sensasi yang agak aneh melihat pemandangan baru di bagian tubuh sendiri. Tapi juga ada rasa nyaman yang belum pernah dirasakan. Itu belum semuanya. Kenyamanan bisa bertambah lagi ketika tahap berikutnya dimulai dengan lulur. Lulur kini bukan lagi menjadi monopoli kaum wanita. Lulur sekarang juga sudah jadi menu yang laris manis di salon-salon tertentu yang ibaratnya menawarkan surga bagi para tamu pria.
Dengan dilulur oleh seorang gadis cantik,  tentu rasanya  tidak hanya seperti kembali menjadi bayi, tapi bayi ajaib yang bisa merasakan sensasi seksual luar biasa. Tidak sampai klimaks atau orgasme, tapi tubuh terus dielus dan digerayangi dengan sentuhan tangan lembut bercampur ramuan lulur yang terasa bagai pasir halus di pantai.
Lulur pun bukan ujung dari paket perawatan hari itu, kalau diminta 10 jenis pelayanan. Acara berikutnya tak kalah menantang dan merangsang: massage seluruh badan. Oh ya, sebelum itu tentu harus mandi dulu, mandi susu atau setidaknya badan dibersihkan dulu dari ramuan lulur yang nyaman itu, yang dikerjakan oleh gadis-gadis cantik, dengan canda ria. Kita dimandikan oleh cewek cantik, disabuni dan digosok dengan busa halus, untuk menghilangkan ramuan lulur yang melekat di badan kita.
Di acara pijat lengkap alias full massage ini tentunya segala macam bisa terjadi. Mungkin kita sampai tidak tahan lagi, dan gantian mengambil alih peranan dengan memijat si gadis cantik pelayan salon itu, kalau itu termasuk dalam paket pelayanan yang dipilih,  dengan biaya yang telah disesuaikan.
Bagaimana ceritanya? Tentu dapat disimak dari pengalaman  kami selama berada di salon tersebut.
***
Salon Rose Hips ini bukan sekadar salon kecantikan, tempat orang merawat kecantikannya, merias muka, merawat wajah dan menata rambut supaya kelihatan cantik seperti biasanya. Tetapi salon ini istimewa lengkap, karena disini semuanya ada.
Salon yang terletak di ruko tingkat empat, cukup luas terdiri dari tiga ruko yang disatukan. Letaknya pun strategis, di pinggir jalan besar di kawasan Jakarta Utara.
Di tingkat dasar, tersedia fasilitas menata rambut, seperti gunting, cuci, blow, rebonding, cat, highlight, creambath, dan perawatan seperti manicure, pedicure dan lainnya.
Di tingkat satu, tersedia fasilitas merawat wajah seperti facial dan merawat bulu, seperti mencukur bulu ketek (armpit waxing), menata kemaluan wanita, seperti bikini waxing, cuci, blow, cat, vagina spa, mencukur/mencabut bulu kaki, mencabut atau mencukur bulu kemaluan pria (penis waxing) dan lainnya.
Di tingkat dua, khusus untuk kegiatan spa yang dilayani oleh cewek-cewek cantik usia muda. Kemudian di tingkat tiga, khusus untuk kegiatan lulur, mandi susu/rempah dan massage dengan kamar-kamar yang tertata rapi. Salon ini benar lengkap,  jenis dan  fasilitasnya.
Ketika kami datang pada suatu sore (10/2007), pengunjung sudah ramai. Kami disambut dengan ramah oleh seorang resepsionis yang cantik dan dibalur make-up yang lumayan menarik, dengan ucapan dan pertanyaan yang standar, “Selamat sore pak, selamat sore bu, ada yang bisa aku bantu? Disini tersedia berbagai macam fasilitas perawatan tubuh dari atas sampai bawah”, ujarnya seraya menatap dengan pandangan genit. Tambahnya lagi: “Bapak dan ibu boleh pilih dan mencontreng mana yang bapak dan ibu inginkan”, sambil memberikan daftar tercetak rapi dalam bahasa asing. “Apa bapak dan ibu punya member card?”. Maksudnya kalau sudah pernah datang dan sudah punya kartu anggota, maka para tamu akan mendapatkan beberapa keuntungan, seperti diskon 10 persen untuk setiap fasilitas yang kita nikmati.
Daftar yang diberikan penerima tamu itu memuat lebih dari 50 item pilihan. Setelah saya contreng enam item: gunting rambut, cuci rambut, penis waxing, lulur,  mandi susu dan full massage, saya kembalikan daftar itu pada penerima tamu.
Sedangkan teman-teman yang lain, Bambang, Eka, Chenny  dan Anca juga berbuat hal yang sama, hanya beda pelayanan, ada diantaranya gunting rambut dan  vagina spa. Ada pula yang memilih perawatan kemaluan wanita, bikini waxing dan sebagainya. Kami memang sengaja memilih item pelayanan yang bebeda-beda, guna diceritakan kembali sebagai bahan dalam penyusunan buku ini.
Meski sudah menerima daftar yang telah dicontreng, resepsionis yang bernama “Zalianty” dengan nama panggilan “Anty”, masih saja mempertanyakan, “Bapak dan ibu mau digunting dengan siapa?”, sembari memperlihatkan daftar nama petugasnya, dengan tarif yang berbeda.
Begitu pula dengan pekerjaan penis waxing, lulur, mandi susu,  full massage, bikini waxing, vagina spa dan lainnya,  saya dan teman-teman diminta pula untuk memilih pekerjanya, sembari Anty memperlihatkan foto, lalu memberi informasi usia pekerja, namanya, sampai dengan statusnya, misalnya masih sekolah, janda, lesbi, bisex dan lain sebagainya.
***
Untuk gunting rambut, saya memilih tarif yang paling murah, Rp.100 ribu, sedangkan untuk pekerjaan lainnya, saya mengambil satu paket. Artinya, untuk semua item pekerjaan itu dikerjakan oleh satu orang, yaitu oleh “Erlinda”, dengan nama panggilan “Linda”, dimana dari fotonya yang diperlihatkan Anty berikut informasinya, dia cukup cantik, berusia 17 tahun, masih bersekolah di salah satu SLTA di Jakarta. Linda  selalu masuk sore, seusai sekolah, mulai jam dua sore sampai malam.
Setelah gunting dan cat rambut selesai di lantai dasar, saya dipersilahkan naik ke lantai satu, dengan diantar oleh Anty. Di lantai satu sudah menunggu Linda, lalu mempersilahkan saya memasuki kamar yang berdinding kain putih bersih.
Lalu, setelah bulu burung  selesai digunduli, saya langsung diajak Linda ke lantai tiga, untuk pekerjan berikutnya, lulur, mandi susu dan full massage.
Tapi, ketika mau naik ke lantai tiga, saya sedikit protes, “Kenapa untuk semua pekerjan itu tidak dilakukan dalam satu kamar saja?” Linda cuma bisa menjawab, “Ini sudah ketentuan pemilik salon pak, aku tidak tahu. Mungkin kalau burungnya sudah digunduli, bapak  baru diijinkan ke atas, supaya gak bisa terbang”, tutur Linda sambil bercanda.
Dalam perjalanan menuju ke lantai atas, melalui beberapa kamar, ada yang tertutup rapat dan ada pula yang sedikit terbuka. Di kamar yang sedikit terbuka ini, terlihat seorang pelayan  pria muda usia, dan ganteng sedang melakukan perawatan vagina seorang ibu, sambil bercanda ria.
Ibu itu tahu saya memperhatikannya, dia tidak marah, malah dengan candanya, ia berkata, “Silahkan saja pak masuk, sekalian bantu-in, dia ini  belum berpengalaman”. Ada rasa malu, tetapi saya tidak kehilangan akal menjawab, “Nanti ya bu, saya ke atas dulu, kalau sudah selesai dengan Linda, ibu saya bantu-in”
Melihat saya agak terkesima saat memperhatikan ibu itu, Linda menjelaskan,  “Disini sudah biasa pak, ibu-ibu memilih pria muda yang ganteng, dan bapak-bapak memilih pelayan wanita muda, seperti bapak sekarang”, ujarnya sedikit menyindir.
Dalam melaksanakan pekerjaannya, Linda memakai celana pendek merah menyala dan kaus merah muda, yang serasi sekali dengan kulitnya yang putih bersih.  Linda memang cantik dan ramah.
Linda melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh, hanya dalam memijat, terasa Linda belum berpengalaman, berkali-kali dia menanyakan, apa pijatannya terlalu pelan atau kurang enak. Dan saya menjawab dengan seenaknya, “enak”, “cukup” dan sebagainya, agar dia tidak kecewa. Karena maksud saya datang ke salon ini bukan untuk itu, tetapi mencari informasi apakah ada anak sekolah yang bekerja disini, yang akan  dipergunakan sebagai bahan dalam penyusunan buku ini.
Selesai memijat, Linda terlihat kelelahan, ketika saya mau mandi lagi, saya berpesan kepada Linda agar memesan minuman untuk kami berdua.  Lalu, dengan telepon lokal yang tersedia di kamar itu, Linda memesan minuman dan makanan kecil seperti yang diminta.
Kamar tersebut tidak begitu luas, tapi lengkap peralatannya, ada tempat tidur ukuran nomor dua, ada kamar mandi dengan bathtub, lengkap dengan peralatan mandi, seperti handuk, sabun dan lainnya. Juga  ada dua kursi dan  satu meja untuk dua orang, dan dalam kotak yang terletak di atas meja, tersedia alat-alat seks, seperti kondom, oli pelicin, dan cream pijat.
Setelah pesanan datang, Linda bertanya, “Mau apa lagi pak?”. Saya jawab, “Mau minum dan minta kamu menemani. Berapa jam waktu yang tersedia di kamar ini?”. “Terserah bapak, sampai salon ini tutup juga boleh, bagi aku makin lama bapak makin baik, makin banyak aku dapat bonus dari sewa kamar dan pelayanan dari bos”, jawab Linda. “Apa kamu kuat?”. “Ya kuat, namanya juga cari uang, mana ada yang tidak capek, tapi apa pun aku lakukan demi sekolah aku”, ujar Linda.
Setelah selesai berpakaian, saya kembali duduk di kursi. Linda menuangkan bir ke gelas,  dan kami minum bersamanya.
Kamar ber-AC, dingin dan nyaman, diiringin musik yang romantis, membuat tamu betah duduk santai berlama-lama di kamar itu, sambil menikmati hidangan dan minuman dengan di temani gadis cantik. Begitu juga saya, betah mendengar Linda dengan ceritanya.
Linda bercerita: Aku sejak berusia 16 tahun sudah tidak perawan lagi, aku diperkosa oleh orang yang tidak aku kenal, sopir mobil omprengan. Aku dulu tinggal dengan nenek di Jawa. Baru setahun ini berada di Jakarta bersama orangtuaku.
Setelah aku merasakan susahnya keadaan ekonomi orangtuaku, aku berpikir bagaimana aku bisa sekolah tanpa membebani orangtuaku, yang hanya buruh kecil, penghasilannya pas-pasan untuk makan, bahkan kadang-kadang kurang.
Suatu hari Martha, putri tetanggaku dan teman sekolahku memberitahu aku, bahwa ia dapat kerja di salon. Lalu, sepulang dari sekolah ia mengajak aku mampir ke salon tempat ia kerja, aku setuju. Di salon ini aku diperkenalkan dengan teman-temannya, aku tertarik dengan pekerjaan itu, tetapi aku belum tahu apa yang sebenarnya mereka kerjakan.
Ketika aku datang kedua kalinya mengantar Martha, aku diperkenalkan Martha dengan pimpinan salon ini, seorang ibu yang ramah lagi cantik.  Ibu ini, mengajak aku ke ruang kerjanya, diberinya aku minum, lalu ibu itu bertanya, “Apa kamu berminat untuk bekerja di salon ini?”. Aku jawab dengan polos, “Aku tidak mempunyai pengalaman kerja di salon, seumur hidupku belum pernah aku ke salon, kecuali setelah diajak Martha”. Ibu itu bertutur lagi, “Tak apa-apa, nanti akan diberi kursus, dan kalau mau kerja, besok boleh datang”, ujar ibu itu lagi dengan ramah.
Aku tak menjawab langsung tawaran ibu itu, karena aku belum minta ijin kepada kedua orangtuaku. Tetapi sebelum aku meninggalkan ruangnya, ibu itu bertanya lagi, “Apa kamu juga sama dengan Martha?”.
Aku tak mengerti apa maksud pertanyaan ibu itu, maka aku jadi balik bertanya, “Kenapa bu?’, “Ya sama-sama  tidak perawan lagi”, ujar ibu itu. Aku tidak menjawab, lantas aku pamit pulang, sedangkan Martha masih bekerja melayani tamunya di salon ini.
Di rumah lama aku termenung sendiri, ibu dan bapakku belum pulang kerja. Aku ingat lagi pembicaraan tadi dengan ibu pimpinan salon itu.  Aku baru tahu kalau Martha juga tidak perawan. Dan menurut ibu itu, yang dibutuhkannya untuk bekerja di salon itu adalah wanita cantik, masih muda dan tidak perawan, karena itu aku juga ditawari pekerjaan di salon itu.
Lama aku berpikir, dan aku pertimbangkan pula keadaan ekonomi kedua orang tuaku. Bapakku penghasilannya tidak bisa diharapkan, tergantung berapa jumlah roti yang laku, kadang-kadang rotinya laku, kadang-kadang tidak. Sedangkan ibuku sudah terbelit hutang di tempat kerjanya, karena sudah meminjam uang untuk membayar uang masuk sekolahku.
Malam itu, selesai makan, aku dengar ibu dan bapakku sedang bercerita tentang dagangan dan pekerjaan masing-masing. Mereka berdua sedang merundingkan bagaimana caranya untuk mengatasi ekonomi keluarga yang makin hari makin susah.
Tetapi semuanya buntu, bapak tidak punya keahlian lain, kecuali dagang roti keliling. Sedangkan ibu juga demikian, bisanya cuma menjadi kuli cuci. Dan hal ini dapat aku maklumi, karena pendidikan bapak dan ibu yang rendah, cuma tamatan SMP, tidak dilanjutkan, dan beberapa tahun kemudian ibu menikah dengan bapak, yang sudah duluan bekerja sebagai pedagang roti keliling di kota ini.
Mendengar pembicaraan bapak dan ibu, aku makin bertekad tidak mau seperti bapak dan ibu, aku ingin sekolah tinggi, tapi bagaimana caranya?, keadaan sosial ekonomi kedua orangtuaku tidak mendukung.
Besok paginya di sekolah, aku diperkenalkan Martha dengan temannya, “Adriana”, dengan nama panggilan “Ana”. Ana berusia 18 tahun, duduk di bangku kelas tiga SLTA, satu sekolah dengan kami. Ana lebih dulu bekerja di salon itu dari pada Martha.  Ana-lah yang memperkenalkan Martha dengan pemilik salon itu.
Mereka berdua mengobrol denganku, mereka bercerita tentang tamu-tamu yang baik dengan tip besar. Dan siang itu aku ditraktir Ana dan Martha makan, aku juga turut senang.
Malam harinya, aku duduk bersama ibu dan bapak di ruang dalam. Aku bicara dulu kepada bapak, “Pak waktuku  banyak lowong, apa aku boleh membantu bapak bekerja di pabrik roti, seusai sekolah”. Bapakku menjawab, “Itu tak mungkin, pabriknya saja sudah hampir  bangkrut, mana bisa”.
Hal yang sama aku tanyakan pula pada ibu, untuk bisa membantu ibu nyuci. Tapi ibu menjawab sama dengan bapak, perusahan laundry tempat ibu bekerja juga sekarat.
Pada malam itu aku langgar nasihat nenek, aku ceritakan kepada kedua orangtuaku tentang musibah yang menimpaku, ketika aku datang dulu ke Jakarta bersama nenek. Aku diperkosa sopir mobil omprengan.
Kedua orangtuaku kaget, tapi aku katakan kepadanya, bahwa haidku tidak pernah datang telat. Kedua orangtuaku agak lega, walaupun ibuku menangis kecil, menyesali dirinya.
Lalu aku utarakan pula tentang keinginanku bersekolah tinggi, dengan cara sekolah sambil kerja. Ibu dan bapakku sabar mendengarnya, apalagi mereka berdua sudah lama terpisah dengan aku, mereka belum mengerti dan belum paham benar apa yang aku mau. Aku juga merasa masih agak asing dengan kedua orangtuaku, aku merasa lebih dekat dengan nenekku, karena dari kecil aku tinggal  dan dibesarkan oleh nenek.
“Bu, ijinkan aku bekerja di salon tempat Martha kerja”, tuturku. Ibu diam, bapak bertanya, “Apa saja kerjanya disitu?”. Pertanyan bapak itu aku jawab seadanya, “Ya pekerjaan salon biasalah pak”. Bapak pun diam, lantas ibu yang berkata,  “Apa menurut kamu baik, kalau baik menurut kamu, ya silahkan, ibu dengan bapakmu tidak melarang dan tidak menyuruh, terserah kamu”.  Kemudian,   bapakku juga sependapat dengan ibu, mengizinkan aku bekerja di salon, “Kamu boleh bekerja di salon itu, tapi hati-hati ya nak”, ujar bapak.
Besok harinya tanpa pikir panjang lagi, sepulang sekolah, aku dengan Martha dan Ana menuju salon ini. Hari itu, aku langsung mulai bekerja. Sebulan lamanya aku ditatar/dilatih, dari cara berpakaian, berjalan, bicara, melayani tamu, menggunting kuku, mencukur, lulur, pijat sampai kepada layanan lainnya.
Linda berhenti bercerita, meneguk minumannya, dan  lama ia terdiam, lalu dia berkata,
Sorry ya pak, aku cerita sedih, sedangkan bapak kesini untuk bersenang-senang, bukan untuk mendengar ceritaku”.
“Tak apa-apa, malah saya senang mendengar keterus-teranganmu”.
“Apa bapak mau ganti yang lain?”.
“Tidak, saya sudah cukup puas mendengar cerita kamu. Apa kamu betah bekerja disini?”
“Ya demi sekolah dan masa depanku, semua dibetah-betahin saja pak”.
 “Berapa orang anak sekolah seperti kamu yang berkerja disini?”.
“Ada sembilan orang pak, lima masih sekolah di tingkat SLTA, dan empat orang sudah mahasiswi”..
“Boleh saya ketemu dengan temanmu Martha dan Ana?”.
 “Boleh pak, kalau mereka tidak bekerja, tapi bapak dikenakan bayaran tambahan”.
“Tak apa-apa”, jawab saya.
Linda segera memanggil temannya, dan tak berapa lama Martha dan Ana datang, kebetulan mereka lagi tidak kerja. Martha cukup manis, kulitnya sawo matang. Sedangkan Ana, juga demikian lumayan cantik, tapi diantara ketiganya, Linda lebih cantik.
Lama kami ngobrol berempat di kamar itu, Martha dan Ana duduk di tempat tidur, sedangkan saya dengan Linda duduk di kursi. Saya tawarkan untuk pesan minuman lagi, ketiganya serempak memesan minuman beralkohol tinggi.
“Apa kalian sudah terbiasa minum minuman beralkohol?”.
“Mencandu belum pak, hanya sekadar iseng menemani tamu minum”, jawab Ana.
“Apa di kamar ini bisa ML (making love)?”.
“Bisalah pak”, jawab Martha.
“Kami bertiga siap melayani bapak”, tambah Linda.
***
Saya selesai duluan, disusul Bambang, Chenny, Eka, terakhir  Anca. Dan masing-masing keluar dengan muka yang berseri-seri, berikut dengan ceritanya yang lucu-lucu.
Bambang misalnya, yang dilayani oleh Siti, seorang siswi salah satu SLTA di Jakarta Utara, cantik, berusia 18 tahun. “Wah gawat pak, ketika aku mandi susu,  Siti juga ikut nyemplung kedalam bathtub, ya kami mandi berdua deh, saling gosok, saling pegang, ya begitu deh, enak …!”, ujar Bambang.
Chenny teman wanita yang berusia kepala empat dan manajer salah satu perusahaan ternama di Jakarta, lain lagi ceritanya. Ia dilayani oleh pria muda, tercatat sebagai mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Jakarta, ketika perawatan kemaluannya, “Wah asik juga tu anak muda, dia benar-benar telaten merawat kemaluan aku, sampai aku mencapai klimaks”, ujarnya agak malu-malu.
Eka yang  dilayani Niarsi ketika SPA, gadis cantik, yang tercatat sebagai salah seorang mahasiswi pada salah satu universitas swasta di Jakarta, berkata,  “Aku tak tahan, jadi aku deh yang gantian melayaninya. Cewek itu memang asik, sepertinya ia mempraktekan adegan porno satu kaset yang  baru ditontonnya kepada aku, jadinya aku lemas ”, tutur Eka.
Anca, teman wanita yang  juga sudah berusia kepala empat, hampir sama dengan Chenny, hanya beda setahun, mulanya agak enggan bercerita, tetapi setelah didesak berkali-kali oleh teman-teman, baru dia buka mulut,  “Tidak aku sangka Tina yang memijat aku tadi seorang lesbi tulen. Habis deh badanku digerayangi. Tapi aku biarkan saja, enak sih, tahu-tahu aku orgasme juga”, ujar Anca. Lalu segera  menambahkan, “Tina lesbi benaran, seorang mahasiswi salah satu Akedemi di Jakarta, berusia 21 tahun”.    
Dari cerita-cerita cewek gaul sekolahan/kuliahan yang bekerja di salon ini,  ternyata orangtua mereka belum tahu apa yang dikerjakan putrinya di salon tersebut.  Mereka semua orang-orang susah, mempunyai tekad untuk maju, tapi keadaan ekonomi orangtuanya tak mendukung, maka demi masa depannya apa pun mereka kerjakan.
Memang sulit berkata lain, kalau kesulitan ekonomi sudah bicara lantang kepada orangtua golongan ekonomi bawah, yang minim pendidikan dan minim pengetahuan. Mereka menjadi tak berdaya dalam mencukupi kebutuhan anak-anaknya, sehingga anak-anak yang ingin maju, harus mencari jalan sendiri pada saat usianya yang terlalu muda, tanpa melalui pertimbangan yang matang, apa saja mereka lakukan,  demi uang.
Uang itu bukan untuk berfoya-foya, tetapi untuk memenuhi kebutuhannya, kebutuhan sekolahnya dan kebutuhan orangtuanya, yang sepantasnya belum menjadi beban mereka.  SELANJUTNYA DAPAT DIBACA DALAM BUKU CEWEK-CEWEK GAUL SEKOLAHAN, YANG BISA DIDAPAT DI TOKO-TOKO GUNUNG AGUNG....