Jumat, 21 Oktober 2011

Mitos Keturunan Iskandar Zulkarnain Dari Gujarad


Poortman, seorang ahli sejarah asal Belanda, selain melakukan penelitian lapangan dan pencarian fakta tentang Ekspedisi Pamalayu tentara Singasari (1275 – 1292) merebut Darmasraya Jambi, ia juga  melakukan  Survei tentang  kuburan Islam di rimba-raya Minangkabau Timur, dan Survei tentang Mitos Dinasti Iskandar Zulkarnain di Minangkabau. Padahal, menurut fakta sejarah, Iskandar Zulkarnain adalah Alexander The Great, yang memerintah 336 – 323 Sebelum Masehi, Raja Yunani Macedonia yang merebut Persia, Gandara, Gujarat, tapi  tidak pernah merebut Alam Minangkabau.
Posisi Poortman sama dengan Snouck Hurgronje. Snouck adalah seorang ahli Aceh, yang informasinya diminta oleh pemerintah Belanda. Sedangkan Poortman adalah seorang ahli Batak, yang informasinya juga diminta oleh pemerintah Belanda.  Poortman pensiun pada tahun 1930 dan kembali ke Belanda.
Teman sejawatnya,  Louis Constant Westenenk, pada tahun 1915 menjadi residen Benkoelen dan anggota Volksraad (parlemen Hindia-Belanda). Lima tahun kemudian, diangkat sebagai residen di Palembang, dan setahun setelah itu menjadi Gubernur Pesisir Barat Sumatera. Pada tahun 1921, Westenenk berhasil menulis buku bukan untuk umum “De Hindu Javanen In Midden En Zuid Sumatra.”
Ketika Poortman diminta oleh teman sejawatnya,  Westenenk untuk penelitian tentang Mitos  Dinasti Iskandar Zulkarnain di Minangkabau, Poortman kebetulan sudah terlebih dulu menemukan di dalam tulisan-tulisan peninggalan kesultanan Mesir Dinasti Fathimiyah  (976 – 1168), bahwa di jazirah Gujarat India, hampir semuanya orang Islam mazhab Syi’ah mengaku keturunan Alexander The Great, yang di situ disebutkan “Iskandar Zulkarnain.” Poortman segera mencurigai orang-orang Cambay Gujarat, yang sebelum 1350 datang berdagang ke Minangkabau dan di situ menjadi asal dari mitos keturunan dinasti Iskandar Zulkarnain.
Poortman kemudian bertahun-tahun lamanya melakukan pekerjaan “detektif sejarah,” meneliti tulisan peninggalan kesultanan Mesir Dinasti Fathimiyah, kesultanan Mesir Dinasti Mamaluk, kesultanan Aru Barumun, kesultanan Allahabad India (yang menguasai jazirah Gujarat sesudah kesultanan Mesir Dinasti Fathimiyah  dan sebelum Kesultanan Dehli India), Dinasti Yuang dan Dinasti Ming Tiongkok serta tulisan-tulisan lainnya.
Dari tulisan tangan yang ada di perpustakaan “Adjaib Ghur” (museum di Lahore), di dalam tulisan peninggalan kesultanan Allahabad, Poortman “menemukan” Sultan Daya Pasai yang pertama, bernama Djohan Djani.
Setelah menemukan itu, Poortman melakukan penelitian lapangan dengan  berjalan kaki di daerah-daerah hulu Sungai Batanghari, Kuantan, dan Kampar, daerah-daerah yang oleh Westenenk disebutkan: “Waarmensch en tijger buren zijn.” (Manusia dan harimau bertetangga). Poortman berhasil mengetahui tentang Sultan Djohan Djani, seorang bajak laut yang canggih,  dan tentang  Sultan Malik Ul Mansur, seorang pemalsu sejarah.
Sultan Djohan Djani, lahir di Combay Gujarat. Ayahnya orang Persia, ibunya orang Punjabi. Mereka sudah turun temurun beragama Islam mazhab Syi’ah, dan katanya, berasal dari keturunan  Iskandar Zulkarnain. 
Menurut Poortman, setiap pengemis pun di jazirah Gujarat, katanya mengaku keturunan dari Iskandar Zulkarnain,  yang 1.500 tahun sebelumnya sangat aktif membikin puas dan bangga entah ribuan wanita Persia, Punjabi dan Gujarat. Di daerah tersebut, berjuta-juta orang yang katanya mengaku keturunan dari Iskandar Zulkarnain.
Djohan Djani menjadi pelaut di Cambay Gujarat, turut belajar dengan kapal-kapal dagang antara Zanzibar dan Daya Pasai. Djohan Djani naik manjadi kapten kapal perang di kesjahbandaran Daya Pasai. Di Daya Pasai (1168 – 1204 M)  memerintah Laksamana Kafrawi Al Kamil, sudah  lepas dari kesultanan Mesir Dinasti Fathimiyah yang sudah musnah.
Kapten Djohan Djani berkhianat terhadap Laksamana Kafrawi Al Kamil, yang sudah tua. Ia mengangkat dirinya sendiri menjadi Laksamana Djohan Djani, dan menjadi  bajak laut di Pulau Weh.
Di muara Sungai Aceh sudah terlebih dahulu bersarang seorang bekas bawahan dari Laksamana Kafrawi Al Kamil, yang juga sudah menjadi bajak laut, yakni  Laksamana Djohan Ramni. Terjadilah rebutan daerah kekuasaan dan peperangan antara dua orang Laksamana yang  bernama “Djohan.”
Laksamana Djohan Djoni, kemudian punya ide gemilang, bahwa dia akan lebih mudah menyerang  Laksamana Kafrawi Al Kamil, yang bertambah tua dan menguasai daerah muara Sungai Pasai,  daripada dia terpaksa terus menerus bertahan terhadap serangan dari Laksamana Djohan Ramni dari muara Sungai Aceh.
Pada tahun 602 H (1204 M), Laksamana Djohan Djani merebut daerah sekitar muara Sungai Pasai. Laksamana Kafrawi Al Kamil mati dibunuh. Laksamana Djohan Djani mengangkat dirinya menjadi Sultan Daya Pasai yang pertama. Di situlah pertama kali seorang yang katanya keturunan dari Iskandar Zulkarnain, menjadi sultan (raja Islam) di Kepulauan Nusantara.
Westenenk menantang Poortman, untuk membuktikan bagaimana caranya “Mitos Dinasti Iskandar Zulkarnain,” dari Daya Pasai masuk di pedalaman Minangkabau? Yang begitu jauh dari laut, sebelum Adityawarman mendirikan kerajaan Pagaruyung.
Poortman berusaha menjawab tantangan rekannya Westenenk. Ia mulai penelitian dari kesultanan Kuntu Kumpar. Dan ia melihat  kesultanan Kuntu Kumpar (1301 – 1339) di Minangkabau Timur,  sama saja seperti Prof. DR. Sigmund Freud di Wina Austria, yang menyelidiki “The Interpretations Of Dreams” (tafsiran mimpi) yang tersandung pada  “Psycho Analyse Of Minority Complexes.”
Sumber penelitian Poortman tidak berubah, ia tetap mengaitkan daerah Kuntu Kumpar sebagai penghasil merica terpenting di dunia, yang menjadi rebutan di antara kesultanan Islam:  Daya Pasai, Sumadera Pasai dan  Aru Barumun.
Dari hasil penelitiannya, Poortman antara lain berkesimpulan: Pertama, pada tahun 1285, Kesultanan Daya Pasai (bermazhab Syi’ah) berakhir, diganti oleh kesultanan Sumadera Pasai (1285 – 1522), yang bermazhab Syafi’i.
Kedua, Setelah Sultan Sumadera Pasai pertama, Sultan Malik Us Saleh (1285 – 1296) meninggal, ia digantikan oleh putranya Sultan Malik Ut Tahir (1296 – 1327). Seorang lagi Putra dari Sultan Malik Us Saleh,  yakni Pangeran Malik Ul Mansur, sejak tahun 1295 secara de-facto sudah berkuasa di daerah sekitar muara Sungai Barumun. Dia nikah dengan seorang cucu dari Sultan Bahaudin Al Kamil, yakni Putri Nur Alam Kumalasari. Pangeran Malik Ul Mansur membangkang dalam agama Islam mazhab Syafi’i, dan dia mendirikan kesultanan Aru Barumun (bermazhab Syi’ah)  pada tahun 1299.
Perang saudara antara kesultanan Sumadera Pasai melawan kesultanan Aru Barumun sangat berbahaya, karena masih sangat banyak orang-orang Gujarat India yang ingin menjadi Sultan Daya Pasai yang ketudjuh. Sultan Malik Ut Tahir berdamai dengan saudaranya Sultan Malik Ul Mansur.
Ketiga, Sultan Malik Ul Mansur (Sultan Aru Barumun yang pertama), lahir Islam, walaupun ayahnya (Sultan Malik Us Saleh lahir di Pagan-Pagan Batak Karo).  Ibunya adalah Putri Ganggang Sari seorang Putri Persia dari kesultanan Perlak, dan isterinya adalah Putri Nur Alam Kumalasari seorang Putri dari  Dinasti Al Kamil. Tapi Sultan Malik Ul Mansur  malu mengaku keturunan dari Batak Gajo. Karena itulah Sultan Malik Ul Mansur mengadakan pemalsuan sejarah, yang di dalam sejarah Indonesia, cuma ada taranya di dalam Babad Jawi, yakni perihal keturunan dari Kiai Gede Pamanahan.
Sultan Malik Ul Mansur menjungkir balikkan sejarah. Ia mengaku bahwa ayahnya  Sultan Malik Us Saleh (Iskandar Malik=Marah Silu) sebenarnya adalah putra dari Sultan Ibrahim Djohan Djani (Sultan Daya Pasai yang pertama), bukan keturunan Batak Gajo. Selanjutnya, lewat Sultan Djohan Djani, Sultan Malik Ul Mansur katanya adalah keturunan dari Iskandar Zulkarnain .
Keempat, Pada tahun 1301, tentara kesultanan Aru Barumun merebut daerah Kuntu Kampar dari tangan tentara Singasari, yang ketinggalan di situ. Setelah itu, kesultanan Aru Barumun mendirikan kesultanan Kuntu Kampar, berupa vasal Sultan atau bawahan kesultanan Aru Barumun.
Kelima, Sultan Said Amanullah Perkasa Alam (tituler Sultan Kuntu Kampar yang pertama) adalah seorang putra dari Sultan Malik Ul Mansur. Dia sangat sombong, dan sangat parah menindas penduduk asli Minangkabau. Lebih parah lagi daripada ayahnya, dia tidak mau mengakui keturunan bahwa dia  dari orang Batak Gajo, tapi dari Dinasti Iskandar Zulkarnain.  Kemudian, Sultan Said Amanullah Perkasa Alam menerapkan “Mitos Dinasti Iskandar Zulkarnain” di Alam Minangkabau, demikian menurut Poortman.

1 komentar: