Minggu, 20 November 2011

ANAKKU GIGOLOKU


Berita tentang perselingkuhan wanita terkaya Jerman, Susanne Klatten dengan seorang gigolo Swiss, Helg Sgarbi, sudah mendunia dan memang menarik untuk disimak. Di Indonesia, juga  banyak cerita yang menarik tentang  perselingkuhan wanita-wanita pencari pemuas nafsu  dengan gigolo dalam versi yang berbeda, seperti yang diceritakan “Liana,” wanita pengusaha kepada Rossy.
Setelah beberapa kali janji mau ketemu, tertunda  dengan berbagai alasan. Maklumlah, ia sebagai seorang pengusaha  wanita yang sukses, ia  sangat berhitung dengan waktu. “Time is money,” adalah prinsip hidupnya. Dia tidak mau membuang-buang  waktu sia-sia, dan setiap detik waktu berjalan ia hitung dengan uang.
Entah mimpi apa ia semalam, kali ini dialah yang menelepon Rossy minta waktu untuk ketemu di kafe Gerbera di hotel bintang lima di kawasan Jakarta Pusat (01/2010). “Oke Rossy kita ketemu pukul lima sore di kafe Gerbera,” ujar wanita tersebut. “Boleh aku bawa teman mbak?” tanya Rossy. “Boleh, tapi siapa dia” tanya wanita itu. “Dia bapakku,” ujar Rossy. “Oke, sampai ketemu,” ujar wanita itu sambil menutup teleponnya.
Tepat pukul 5 sore, saya dengan Rossy sudah berada di kafe itu. Tapi, wanita setengah baya bernama Lililiana, sering dipanggil “Liana,” berusia 43 tahun, belum juga datang. Sudah satu jam kami menunggu, baru ia muncul. “Sorry ya, aku jadi telat, karena tadi ada meeting di kantor,” ujarnya. “Tak apa-apa mbak, kami sabar menunggu kok,” jawab Rossy.
Setelah berbasa-basi sejenak, Liana menawarkan kami untuk memesan makan dan minuman. Liana sendiri sore itu langsung memesan minuman beralkohol tinggi dan makanan kesukaannya. “Aku lapar sekali, seharian  tadi aku meeting melulu, tak sempat makan,” ujarnya ketika ia melihat kami memperhatikan kelahapan makannya.
Di kafe ini, Liana sudah terkenal di kalangan pelayan. Dan Liana sendiri mengakui bahwa ia sering datang ke sini, di saat-saat  waktunya luang. “Aku senang dengan kafe familiar ini. Karena itu, aku senang datang ke sini,” ujarnya. “Kafe ini banyak artinya bagiku, di kafe inilah aku bertemu dengan “anak haramku”  pertama kalinya,” tambahnya.
Dulu, ketika masih di SLTA  (17 tahun) di daerah kelahiranku di Sumatra, aku pacaran dengan teman sekolahku. Menjelang ujian nasional terakhir, aku positif hamil. Aku sangat gelisah, rasa takut dan malu selalu menghantuiku.
Ketika aku utarakan kepada pacarku “Anthony,” dengan nama panggilan “Anton,” dia mengatakan, “Aku bertanggung jawab penuh atas kehamilanmu Liana, dan aku tidak setuju dengan rencanamu aborsi. Biarkan saja bayi lahir ke bumi, tak baik menjadi pembunuh bayi kita sendiri yang tak berdosa. Sekarang mari kita konsentrasi dulu menghadapi ujian akhir, selagi perutmu belum besar. Nanti setelah ujian selesai, kita menikah secara resmi,” ujarnya.
Kata-kata Anton itu sedikit melegakanku. Aku dapat konsentrasi menghadapi ujian akhirku. Aku lulus dengan baik. Bahkan, kedua orangtuaku, sangat gembira melihat hasil yang aku peroleh, sekaligus mengungkapkan rasa bangganya kepadaku.  “Dengan hasil ini, kamu pantas kuliah di fakultas kedokteran, berapa pun biayanya akan bapak tanggung. Kamu tak usah khawatir, asal kamu kuliah dengan baik,” ujar bapakku yang seorang pengusaha ternama di kotaku.
Kedua orangtuaku belum mengetahui kehamilanku, mereka setuju aku melanjutkan kuliah di salah satu fakultas kedokteran ternama di Jakarta. Bapakku tidak keberatan mengeluarkan uangnya, guna kemajuan putri tunggalnya. Hal ini pun melegakanku. Sebab, dengan berangkatnya aku ke Jakarta, aibku tak diketahui oleh kedua orangtuaku dan tetangga di sekitar rumahku.
Sebelum berangkat ke Jakarta, aku temui Anton. Aku katakan kepadanya, “Anton, aku tidak bisa menikah denganmu, karena ingin kuliah di Jakarta. Nanti, kalau bayi kita lahir, akan aku telepon kamu. Dan kamu harus datang ke Jakarta untuk mengambil bayi kita.”
Anton sedikit kecewa dengan keputusanku. Ia memberi waktu dua hari padaku untuk berpikir, memikirkan melanjutkan kuliah ke Jakarta atau segera menikah dengannya. Tapi, ketika waktu dua hari itu berlalu, aku sampaikan kepada Anton, bahwa “Aku memilih kuliah di Jakarta.” Dan Anton dengan berat hati, menyetujui rencanaku.
Aku berangkat ke Jakarta, dalam kehamilanku berusia 4 bulan. Tapi, karena aku tinggi dan sedikit gemuk, kehamilanku tidak kentara. Apalagi dengan kebiasaanku yang senang memakai baju yang longgar, tanda-tanda kehamilanku makin tidak kelihatan. Tidak ada rasa curiga dari kedua orangtuaku.
Aku diantar mereka ke Jakarta. Dicarikan tempat kos yang terbaik untukku. Setelah urusan pendaftaran kuliahku selesai, kedua orangtuaku kembali ke daerah asalku.
Ketika aku mulai kuliah di fakultas kedokteran, perutku sudah bertambah besar. Tapi, teman-temanku tak ada yang tahu tentang kehamilanku. Mereka beranggapan, mungkin karena aku gemuk dengan bajuku yang gombrong, sudah merupakan pembawaanku kalau aku  sering menarik nafas panjang dan sedikit terganggu dengan kondisi tubuhku.
Beberapa bulan berlalu, kehamilanku mendekati waktu kelahiran bayiku. Aku segera telepon Anton melalui HP-nya. Dia datang dengan seorang teman akrab sekelasku di SLTA dulu, “Dita” namanya.  Mereka  memberitahu aku, bahwa mereka baru dua bulan melangsungkan perkawinan, dan sudah sebulan tinggal di Semarang, karena Anton diangkat ayahnya sebagai kepala cabang perusahaannya di kota itu.
Aku sedikit kecewa dengan perkawinan mereka, karena sebelum melangsungkan perkawinan mereka tidak memberitahukan aku terlebih dulu. Tetapi aku sedikit terhibur, ketika Dita memberitahuku, bahwa sebelum perkawinan berlangsung, Anton sudah memberitahukan kepadanya tentang anak dalam kandunganku.
“Mulanya aku sangat kaget dengan pemberitahuan Anton. Tapi, setelah pikir-pikir aku setuju kawin dengan Anton. Maksudku untuk menutupi aib kedua teman akrabku, kau dan Anton,” ujar Dita. Lalu Dita menambahkan, “Kamu tidak usah khawatir Liana, aku akan merawat dan menganggap bayimu seperti anakku sendiri. Tapi, aku minta kepadamu, agar aib ini tidak terbongkar, setelah kamu melahirkan nanti, serahkan bayimu kepadaku. Kamu jangan sekali-kali berhubungan dengan bayi itu lagi, anggap sajalah kamu tidak pernah punya anak. Dan apa yang terjadi terhadap kamu dengan Anton, biarkanlah hilang sirna bersama peredaran waktu,” tutur Dita.
Aku setuju dengan perkataan Dita, dengan demikian aibku benar-benar terkubur. Bahkan dengan cara tersebut, aku tidak mendapat hambatan lagi dalam meniti karier dan menemukan jodohku di kemudian hari.
Dua hari setelah Anton dan Dita berada di Jakarta, aku melahirkan bayi laki-lakiku dengan selamat. Bayiku itu mirip sekali dengan Anton, dan di punggungnya sebelah atas ada tanda “bulatan hitam.”  Semula, aku kira tanda itu ada hubungannya dengan penyakit. Tetapi, setelah diperiksa dokter rumah sakit, tanda itu tidak ada hubungan dengan penyakit. Tanda itu, hanya sekedar tanda lahir biasa.
Ketika Anton dan Dita menanyakan siapa nama bayi tersebut, langsung aku beri nama,  “Aha Perdana Anton putra.” “Apa artinya,” tanya Dita. Aku jawab, “Anak haram pertama putra Anton.”
Mendengar jawabanku, Dita dan Anton saling berpandangan. Aku tahu perasaan mereka, lalu aku katakan kepada mereka, bahwa “Bayi ini adalah peringatan kepada Anton, jangan sekali lagi membuat anak tanpa nikah. Jika Anton masih melakukan hal sama, akan lahir Aha kedua dan seterusnya,” ujarku serius. 
Anton dan Dita tidak menanggapi kata-kataku. Dengan senyumnya yang penuh arti, Anton dan Dita pamit kepadaku, sambil membawa serta bayiku yang masih merah.
Sepeninggal bayi itu, terasa suatu kekosongan dalam jiwaku. Aku merasa sepi, dan seperti ada yang kurang dalam diriku. Tapi, dengan berbagai kesibukan, kuliah dan kegiatan kampus lainnya, hal itu lama-kelamaan hilang, dan aku tidak ingat lagi terhadap bayi itu. Bahkan, sampai bertahun-tahun, tak ada lagi komunikasiku dengan Anton dan Dita.
Aku berhasil menamatkan kuliahku di fakultas kedokteran, kedua orangtuaku menyambut gembira atas keberhasilanku tersebut. Mereka menanyakan apa rencanaku selanjutnya. Aku jawab, “Aku belum berminat buka praktek atau menjadi pegawai negeri. Aku lebih tertarik  mendalami tentang alat-alat kedokteran dan bidang farmasi.” “Bagaimana caranya,” tanya bapakku. Aku jawab, “Kalau aku masuk fakultas farmasi lagi, membutuhkan waktu lama, dan tentu tidak mungkin. Tetapi, di Jepang aku dengar ada sekolah yang demikian.”
Singkat cerita, bapakku setuju aku sekolah ke Jepang. Dengan referensi dari beberapa teman seniorku, aku berangkat ke Jepang. Tujuannya yakni memperdalam tentang alat-lat kedokteran dan farmasi.  Meski hanya berupa college, tapi ilmunya sangat membantu aku dalam mengembangkan usahaku sekarang di bidang farmasi dan alat-alat kedokteran.
Ketika di Jepang, aku berkenalan dengan seorang pengusaha Indonesia, bernama “Didik.”  Bidang usahanya, sama dengan ilmu yang sedang aku dalami yakni bidang farmasi dan alat-alat kedokteran. Ia  berstatus duda tanpa anak, usianya 35 tahun, beda 10 tahun denganku.
Perkenalanku dengan Didik berlanjut, bila dia datang ke Jepang, selalu aku diminta untuk menemani dalam kegiatan usahanya. Bahkan, dia mengangkatku sebagai perwakilan usahanya di Jepang. Hasilnya cukup lumayan, selain aku menuntut ilmu, sekaligus dapat mempraktekkannya di bidang usaha itu. Dan aku tidak lagi mengandalkan kiriman dari kedua orangtuaku, karena sudah digaji untuk pekerjaan itu dalam bentuk mata uang “Yen.” Aku menjadi tidak kesulitan dana guna membiayai pendidikanku di Tokyo.
Selesai mengikuti pendidikan di Jepang, aku ditarik oleh Didik untuk bekerja di perusahaannya di Jakarta.  Setelah dua tahun kerja, aku dilamar menjadi istrinya. Dia berjanji akan menerima segala kekurangan dan kebaikanku. Dan tidak mempersoalkan masa laluku. Kemudian, dengan izin kedua orangtuaku, aku menikah dengan Didik, dalam suatu pesta perkawinan yang mewah dan meriah.
Perkawinanku dengan Didik membuahkan dua anak, satu putra (16 tahun) dan satu putri (12 tahun). Kami hidup bahagia, hanya kadang-kadang karena capek bekerja, dan usianya yang makin menua, dalam hal berhubungan intim di tempat tidur, keperkasaan suamiku mulai menurun. Karena itu,  untuk memuaskan nafsu birahiku, aku kadang-kadang memakai jasa gigolo, yang  dipasok oleh seorang mucikari wanita, yang sudah lama kukenal dan bisa menyimpan rahasia pribadiku.
Mucikari ini juga berusaha menjaga keamanan pelanggannya dari perlakuan yang kurang baik dari para gigolo, seperti pemerasan dan kekerasan lainnya. Setiap anak buahnya, didata dengan rapi, jelas identitas dan kepribadiannya. Dia banyak merekrut pria muda, sarjana dan mahasiswa untuk pekerjaan sebagai gigolo tersebut.
Untuk menghindari timbul suatu perasaan lain terhadap gigolo, aku senang gonta-ganti gigolo. Karena itu, agenku sudah tahu apa yang aku mau. Bahkan, setiap ada gigolo baru ditempatnya, dia selalu menawarkan kepadaku. Kadang-kadang kalau aku tak sibuk, aku berhubungan seks dengan gigolo itu sekedar memuaskan nafsu birahiku belaka. Setelah aku bayar, selesai urusan, tidak ada lagi buntutnya.
Bulan Februari 2009, aku mendapat telepon dari mucikari agenku. Dia memberitahukan, ada barang baru dan masih muda. Servisnya memuaskan, sopan  dan sebagainya. Biasalah promosi seorang mucikari, semuanya baik tak ada yang jelek, kecapnya tetap nomor satu.
Ketika itu, waktuku memang banyak lowong. Suamiku sedang mengadakan perjalanan ke daerah-daerah. Aku pun lagi mau, karena sudah lama tidak berhubungan intim dengan suamiku atau dengan gigolo. Karena itu, tawaran dari agen tersebut, aku terima dengan janji bertemu di kafe ini pukul 5 sore.
Aku terlambat datang, sedangkan mucikari itu dengan gigolonya sudah lama menunggu. Berkali-kali aku ditelepon oleh agen tersebut, aku jawab, “Tunggu saja, sebentar lagi aku datang. Pesan saja dulu minuman dan makanan, nanti aku bayar.”
Ketika aku datang, aku dapati mucikari dan gigolonya, baru selesai makan. Aku duduk semeja dengannya. Aku perhatikan anak muda itu, kelihatannya boleh juga, cukup tampan, dan ganteng, dengan usia yang relatif muda. Menurut mucikari, pemuda itu baru 24 tahun dan akan memasuki usia  25 tahun, Oktober mendatang.
Memang sudah merupakan kebiasaanku, aku tidak memperhatikan wajah gigolo itu sampai mendetail. Satu hal yang penting, bagiku dia sehat dan kuat di tempat tidur. Tapi kali ini, ada hal yang menarik pada pemuda yang berada di depanku. Dia mengingatkan aku kepada mantan pacarku Anton, yang sudah lama tidak ada komunikasi dengan aku, sejak dia membawa bayiku dulu. “Apa dia ini anakku?” pikiran itu berkecamuk dalam otakku. Tapi, lama-lama mimpi buruk itu aku buang. “Tak mungkin Anton, mantan pacarku, membiarkan anaknya menjadi gigolo. Dia sangat disiplin terhadap dirinya, pasti juga disiplin terhadap anaknya.”
Dalam aku berpikir demikian, mucikari menanyakan kepadaku, “Apa di booking-kan kamar?” Aku jawab, “Oke.” Mendengar jawabanku itu, mucikari langsung ke resepsionis hotel, mem-booking dan membayarnya. Mengenai hal ini, sudah ada perjanjian tidak tertulis antara aku dengan agenku itu. Guna menjaga segala kemungkinan dan keamanan, kalau sudah berurusan dengan gigolo ini, seluruh pengeluaranku di hotel dan kafe itu, termasuk uang servis untuk gigolo, dibayar oleh mucikari tersebut. Nanti, semua biaya itu baru diklaim kepadaku.
Aku diantar oleh mucikari itu ke kamar bersama dengan gigolonya. Aku minta tolong kepadanya untuk memesankan minuman beralkohol, sekaligus dengan makanan kecil. Setelah pesanan datang, mucikari itu pamit keluar. Dan pintu kamar langsung ditutupnya rapat-rapat.
Setelah gigolo itu mandi, aku perhatikan tubuhnya yang atletis, ideal dengan tinggi dan kulitnya yang patih. “Wah boleh juga ni,” pikirku dalam hati.
Selagi aku duduk di sofa menikmati minumanku, gigolo itu telah mulai dengan aksi pemanasannya. Dia minta izin membuka kancing baju dan melorotkan celanaku, aku izinkan. Tapi, aku belum berpindah tempat ke tempat tidur. Aku tetap di sofa dengan kaki yang  terjuntai.
Pemanasan yang dilakukan gigolo ini terasa sangat luar biasa, dengan cepat dia dapat merangsang nafsu birahiku. Ketika dia melakukan oral seks terhadapku, dia duduk di lantai dengan posisi menundukkan kepalanya ke arah kewanitaanku. Aku menikmati benar suatu rangsangan yang luar biasa. Tapi, ketika mataku tertuju ke arah punggungnya, di punggungnya sebelah atas terlihat ada bulatan hitam, seperti yang dipunyai oleh bayiku dulu. Aku langsung menjambak rambutnya, dan mengangkat mukanya, dengan berkata, “Sudah, cukup sampai di sini.”
Pemuda itu bengong, laku menanyakan kepadaku, “Kenapa mbak? Aku menjawab singkat, “Sudah aku sudah puas, pakai bajumu lalu tinggalkan aku sendiri di sini.”
Pemuda itu seorang anak yang patuh, tanpa banyak tanya dia pergi ke kamar mandi, membersihkan dirinya. Setelah berpakaian rapi, dia pergi keluar kamar, meninggalkan aku sendiri.
Tatkala aku berada sendiri di kamar itu, air mataku bercucuran menyesali hidupku. “Ibu macam apa aku ini, anak sendiri dijadikan sebagai pemuas nafsu.” Tapi, kemudian timbul pula dalam pikiranku, belum tentu dia anakku, sebelum aku buktikan kebenarannya. Bagaimana caranya? Maka aku putuskan untuk meminta fotokopi KTP pemuda itu kepada mucikari, bos dari pemuda itu.
Saat aku berpikir demikian, HP-ku berdering. Ketika dilihat  pada layarnya, ternyata yang meneleponku adalah mucikari tadi. Dia menanyakan, kenapa cepat selesai, apa kurang baik, atau mau ganti dengan yang lain,  yang lebih perkasa. Telepon itu aku jawab singkat, “Anak itu bagus, hanya aku terlalu capek, jadi kurang bergairah.”
“Apa kamu bisa bantu aku?” 
“Bantu apa mbak,”  tanya mucikari itu.
“Aku ingin tahu usia sebenarnya dari pemuda tadi, apa
  kamu punya fotokopi  KTP-nya,” ujarku.
“Punya, nanti aku kirim ke hotel segera,” jawab mucikari.
  itu.
Tak lama setelah percakapan di telepon tersebut, pintu kamarku diketok dari luar. Ketika aku buka, mucikari itu telah berdiri di depan pintu, lalu aku persilahkan masuk.
Setelah duduk di sofa, dia menyerahkan fotokopi KTP pemuda tersebut kepadaku. Aku mengucapkan terima kasih, dengan pesan “Besok kamu datang ke kantorku ya, mengambil uang pengganti yang sudah kamu keluarkan.”  Mucikari itu menjawab, “Baik Mbak,” lalu pamit pergi.
Aku perhatikan fotokopi KTP itu, benar nama pemuda tersebut, “Aha Perdana Anton Putra, lahir 23 Oktober 1984, alamat Semarang.” Aku menjadi bertambah menyesal, tapi aku belum puas, kalau belum bertemu dengan Anton dan Dita, sekaligus meminta keterangan dari mereka.
Aku tidak menunggu waktu yang berlama-lama. Hari Sabtu, aku berangkat ke Semarang. Setelah check in di salah satu hotel berbintang empat di kota itu, lalu aku cari alamat Anton sesuai dengan petunjuk yang ada di fotokopi KTP Aha. Tidak sulit mencari alamat Anton dan Dita, karena mereka tinggal di jalan protokol di kota itu, dengan rumah yang cukup besar.
Aku tekan bel, seorang pembantu mendekatiku, lalu bertanya, “Cari siapa bu?” Aku jawab,  “Aku mencari ibu Dita dan bapak Anton.” Mendengar jawabanku itu, pembantu itu berkata, “Bapak lagi tidak ada di rumah, sedang dirawat di rumah sakit. Ibu baru saja berangkat ke rumah sakit, nungguin bapak,” ujarnya.
Setelah pembantu itu memberitahu nama rumah sakit dan nomor kamarnya, aku langsung menuju ke rumah sakit. Kebetulan jam besuk, aku dapat dengan leluasa mencari dan masuk ke kamarnya.
Sampai di kamar, Dita tidak mengenali aku lagi, karena sudah 24 tahun berpisah. “Maaf… ibu siapa ya?” tanya Dita. Langsung aku jawab, “Aku Liana.” Mendengar jawaban itu, Dita kaget, langsung merangkulku, sambil berkata “Aku benar-benar pangling, maafkan aku ya.”
Aku tidak menjawab perkataan Dita, aku langsung mendekati tempat tidur Anton. Aku perhatikan Anton, badannya begitu kurus, terbujur dan tak peduli lagi dengan kedatanganku.
Dita berbisik di telinga Anton, “Mas, ini Liana datang, bangun mas.” Tapi, Anton seperti tidak mendengar suara Dita. Aku pegang tangannya, Anton tidak memberikan reaksi apa-apa. Aku tanya kepada Dita, “Apa sakit Anton,” dan Dita menjawab bahwa suaminya, “Menderita kanker otak. Sudah dioperasi di Jakarta, tapi hasilnya tidak memuaskan.”
Dalam kemelut itu, Dita masih sempat bercerita, bahwa dia dengan Anton mempunyai  dua orang anak. Keduanya perempuan, Fitri (22 tahun)  kuliah di salah satu universitas di Semarang dan Corri (18 tahun) masih kelas III SLTA, juga di Semarang. Anton sudah lama sakit, setahun lebih. Perusahaannya bangkrut, karena tidak ada yang mengurus. Sedangkan untuk biaya perawatan dan kebutuhan sehari-hari, dia sudah menjual satu-persatu harta kekayaannya. Sekarang, sedang menawarkan rumah untuk dijual. Memang ada bantuan dari “Aha,” tetapi belum bisa diharapkan karena dia baru bekerja di Jakarta.
Dita juga menjelaskan, bahwa Aha baru menamatkan kuliahnya di fakultas farmasi tahun lalu, tapi belum memperoleh lisensi sebagai Apoteker. Sebab, untuk keperluan itu, dia perlu pendidikan dan ujian lagi. Sedangkan kami tak mempunyai biaya untuk itu.
Selagi kami bicara, kedua putri Dita masuk. Lalu, Dita memperkenalkan aku kepada kedua putrinya. “Ini tante Merry teman mama,” ujar Dita. Aku kaget ketika Dita memperkenalkan aku dengan kedua putrinya sebagai tante Merry. Seharusnya, Dita bisaku tuntut, karena dengan seenaknya merobah namaku menjadi Merry.
Setelah perkenalan itu, Dita minta izin kepada kedua putrinya, “Kamu berdua di sini aja dulu ya menunggu papa. Mama pergi sebentar menemani tante Merry,” ujarnya sambil menggandeng tanganku keluar.
Aku seperti kerbau ditusuk hidungnya, aku ikutin saja kemauan Dita. Sampai di luar, Dita menanyakan kepadaku, “Di mana kau tinggal.” Aku jawab “Di hotel.” “Oke kita ke sana, nanti aku bercerita banyak di sana,” ujar Dita.
Sampai di hotel, Dita menumpahkan semua isi hatinya selama setahun lebih, selama suaminya sakit. Lengkap dengan penderitaannya, menghadapi tagihan dari bank, rumah sakit dan sebagainya. Aku mendengarnya dengan seksama, sekali-sekali aku balik bertanya.
Ketika Dita selesai bercerita, aku lalu bertanya kepada Dita, “Kenapa tadi kamu memperkenalkan aku dengan putrimu dengan nama Merry?” Dita menjawab, “Ketika Anton mengigau, dia selalu memanggil namamu, Liana……Liana. Dan ketika hal ini didengar oleh kedua putriku dan Aha, mereka selalu menanyakan siapa Liana itu. Bahkan, mereka bertanya, apa itu pacar bapak? Aku jawab tidak, dengan menjelaskan bahwa Liana itu adalah teman ibu dan bapak yang sudah lama meninggal,” tutur Dita.
“Apa rencanamu selanjutnya?” tanyaku kepada Dita. Dita menjawab, “Kalau rumahku sudah laku terjual, aku akan membawa suamiku Anton ke kampung.” “Bagaimana dengan sekolah anak-anakmu?” tanyaku lagi. “Ya, apa boleh buat, terpaksa aku pindahkan ke kampung,” jawab Dita.
“Dita, apa kamu mau aku bantu? Sebagai ucapan terima kasihku terhadap kamu yang telah dengan susah payah membesarkan Aha,” ujarku. Dita langsung menjawab, “Kalau bantuanmu dikait-kaitkan dengan Aha, aku tidak mau terima. Kamu kan sudah berjanji kepadaku dulu, bahwa kamu tidak akan mengungkit-ungkit lagi mengenai keberadan Aha bersamaku. Ingat janji kamu,” ujar Dita ketus.
Lama aku terdiam mendengar jawaban Dita, rupanya dia sangat sayang kepada Aha, anak biologisku itu. “Begini Dita, aku tidak akan mengungkit-ungkit lagi masa lalu, termasuk Aha. Kau boleh memperkenalkan aku dengan putri-purimu atau kepada Aha sebagai tante Merry atau dengan nama apa saja. Aku tidak akan mengambil Aha, malah aku tidak perlu bertemu dengannya. Tapi, mengingat kalian berada dalam kesusahan, apa salahnya aku sebagai teman akrabmu, dan sebagai teman akrab Anton ikut membantu,” ujarku. “Coba katakan, mau bantu apa kau,” jawab Dita dengan nada masih ketus.
“Sebaiknya kamu jangan berpikir pulang kampung dulu, kamu masih mempunyai potensi untuk maju. Aha tamatan farmasi. Rumahmu besar, kenapa kamu tidak membuka apotek saja,” tuturku. “Dari mana modalnya,” kata Dita. “Soal modal kamu jangan takut, aku yang akan bantu sepenuhnya, asal kamu bisa menarik Aha berusaha apotek di Semarang,” ujarku lagi.
Pada saat kami asyik bicara, HP Dita berdering. Dita mengangkat, lalu membukanya,  di seberang sana terdengar suara kedua putri Dita bicara sambil menangis. “Ma,  papa Ma” tutur putrinya yang besar. “Kenapa,” tanya Dita lagi. “Sudah meninggal ma. Mama cepat datang, kami bingung ni,” tutur putrinya. Mendengar itu, aku hanya bisa mengucapkan “Innaa Lillahi Wa Inna Ilaihi Raaji’un. Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan Kepada-Nya kami kembali.”
Sebelum pamit untuk segera ke rumah sakit, Dita berpesan kepadaku, “Kamu tidak usah datang, cukup kamu bantu dengan doa saja, supaya mas Anton dapat diterima di sisi Tuhan sebagai hambanya yang taqwa.”  Aku patuhi nasehat Dita, tetapi sebelum dia berangkat ke rumah sakit, aku sempat membukakan check untuk Dita dalam jumlah  besar. Cek itu guna membayar biaya rumah sakit, keperluan pemakaman dan lain-lainnya, dengan disertai pesan, “Nanti kalau terjadi apa-apa jangan lupa meneleponku.” Dita setuju dan segera berangkat menuju rumah sakit.
Aku menunda keberangkatanku ke Jakarta, sampai hari Rabu.  Setelah Dita memberitahukan aku semuanya beres dan Aha hadir dalam pemakaman ayahnya, aku berangkat ke Jakarta dengan pikiran yang galau.
Aku tunggu, sebulan,  dua bulan berlalu, tak ada kabar dari Dita. Baru bulan ketiga, Dita muncul di kantorku. Aku ajak dia keluar, ke kafe ini lagi. Aku dengar Dita bercerita, rupanya dia sangat kecewa terhadap Aha, karena ketika dia datang ke kantor, yang katanya kantornya Aha itu, tapi di sana dia melihat banyak pria. Dia ditawari mau memilih yang mana, dikira dia wanita yang butuh kehangatan pria. Setelah dia bertemu dengan Aha, mereka tahu, bahwa dia adalah ibunya Aha, bukan datang mencari gigolo.
“Semalaman aku berbicara dengan Aha di penginapanku. Dia mau berhenti dari pekerjaan maksiat itu, asal ada pekerjaan lain yang bisa dia kerjakan untuk menunjang kebutuhan keluarga,” tutur Dita.
Dita menambahkan, “Aku katakan kepadanya mengenai ide membuka apotek, karena dia sarjana farmasi. Dia setuju, tapi dia balik bertanya dari mana modalnya. Aku jawab, ada temanku mau meminjamkan uang, dengan cara mengagunkan rumah.  Dia setuju, dan sekarang aku serahkan kepadamu persoalan itu,” tutur Dita yang mengharapkan jawabanku segera.
Aku tak perlu lama berpikir, aku setuju memodali sepenuhnya apotek tersebut. Dalam perkembangannya, Dita dengan bantuan dari seorang stafku yang telah berpengalaman mengurus berdirinya sebuah apotek,  dapat merealisasi idenya dengan baik.
Setelah rumahnya direhab, dan Dita sekeluarga pindah ke paviliun, maka dengan perizinan yang lengkap berdirilah apotek itu. Buat sementara, memakai tenaga apoteker yang berlisensi, baru setelah Aha mendapat lisensi apoteker, Aha sendiri yang terjun langsung mengendalikan apotik tersebut.
SELANJUTNYA BACA BUKU WANITA-WANITA SELINGKUH YANG DAPAT DIPEROLEH DI TOKO BUKU GUNUNG AGUNG


Selasa, 08 November 2011

PENGHULU DI MINANGKABAU





Penghulu adalah  seorang laki-laki yang dituakan dalam sebuah suku yang ada di Minangkabau. Dalam kehidupan sehari-hari, penghulu dipanggil “datuk.” Sedangkan  fungsi seorang penghulu di Minangkabau yaitu sebagai pemimpin suku dalam urusan adat.
Sebagai pimpinan, penghulu bertanggungjawab dan berkewajiban memelihara anggota kaum, suku, dan nagarinya. Penghulu bertanggungjawab terhadap permasalahan yang terdapat dalam masyarakat,  dalam hal ini dikatakan kewajiban penghulu, yaitu: “kusuik manyalasai, karuah mampajaniah.” (kusut menyelesaikan, keruh memperjernih).
Kedudukan penghulu tidak sama dengan kedudukan dan fungsi seorang feodal, penghulu tidak dipusakai oleh anaknya seperti dalam masyarakat feodal, melainkan oleh kemenakannya yang bertali darah.
Drs. M. D. Mansoer mengatakan, seorang penghulu adalah ninggrat jabatan, dengan hak-hak istimewa (prerogatives) melekat pada gelar pusaka yang dipakainya sebagai penghulu. Gelar dan fungsi  ini, diturunkan kepada kemenakan separuik, sekaum atau sepesukuannya yang dipilih sebagai penggantinya.
Sebagai penghulu, ia disebut datuk, baik sebagai penghulu paruik maupun sebagai panghulu suku. Menurut adat bodi caniago, seluruh penghulu sama dan sederajat kedudukannya, semua dinamakan penghulu andiko.
Andiko berasal dari kata sansekerta yaitu andika yang berarti memerintah. Penghulu seandiko artinya setiap penghulu mempunyai wewenang dan memerintah di dalam sukunya, sampai ke dalam nagari masing-masing.
Menurut Prof. M. Nasroen, penghulu itu “digadangkan makonyo gadang”, sebagaimana dikatakan: “Tumbuahnyo di tanam. Tingginya dianjuang. Gadangnyo diamba.”
Maksudnya, jabatan penghulu itu diperolah oleh seseorang karena diangkat oleh anggota kaumnya sendiri. Tingginya dianjung, besarnya dipelihara,  dengan pengertian sebelum dia diangkat dan memegang jabatan penghulu,  dia sudah besar dan tinggi serta dihargai  di dalam kaumnya. Karena kelebihannya ini pilihan jatuh kepada dia atau dikatakan juga, “tinggi menyentak rueh.”
Penghulu sebagai pemimpin haruslah “baalam leba, badado lapang,” dengan pengertian haruslah berjiwa besar dan berpandangan luas dalam menyelesaikan suatu masalah,  haruslah punya prinsip,  “tak ada kusuik nan indak salasai, karuah nan indak kajaniah.”
Dalam mencari penyelesaian, penghulu harus bijaksana dalam segala hal,  yang  diumpamakan seperti, “menarik rambut dalam tepung,   tapuang indak taserak, rambuik indak putuih.”
Seorang penghulu diibaratkan, “aie janiah, sayak nan landai, bak kayu di tangah padang, ureknyo tampek baselo, batangnya tampak basanda, dahannya tampek bagantuang, buahnya ka dimakan, daunnyo tampek balinduang,” (air yang jenih sayak yang landai, seperti kayu di tengah padang, uratnya tempat bersila, batangnya tempat bersandar, dahannya tempat bergantung, buahnya untuk dimakan, daunnya tempat berlindung).
Kesimpulan yang dapat diambil, bahwa penghulu sebagai pemimpin, kedudukan dan peranannya sangat besar di tengah-tengah masyarakat. Penghulu dikatakan juga tiang nagari, “kuat penghulu maka kuat pulalah nagari” dan juga dikatakan “elok nagari dek panghulu, elok tapian dek rang mudo.”
Dalam memimpin sukunya, penghulu suku dibantu oleh tiga orang pembantu yaitu manti, malin dan dubalang. Manti urusan administrasi, malin atau labai urusannya menyangkut bidang keagamaan, dan dubalang bertanggung jawab di bidang keamanan dan ketertiban.  Dan mereka dikatakan urang ampek jinih (orang empat jenis).
Menurut Prof. M. Nasroen tugas dari urang nan ampek jinih adalah: penghulu itu adalah sebagai bumi, di atas mana sesuatunya berdiri. Manti adalah sebagai angin, yang menyampaikan sesuatunya, malin adalah ibarat air,  menghanyutkan yang kotor. Dubalang adalah sebagai api, yang membakar segala kejahatan dan bertindak dengan keras. Masing-masing berperanan menurut bidangnya, seperti dikatakan: “Penghulu taguah di adat, manti taguah di buek, malin taguah di agamo, dubalang taguah di nagari”. Selanjutnya dikatakan: “Kato pangulu manyalasai, kato manti kato panghubuang, kato malin kato hakikat, kato dubalang kato mandareh.”
Penghulu dipilih di antara anggota suku yang bersangkutan. Sebagaimana mamak yang berfungsi sebagai pembimbing dan pembina dalam keluarganya, penghulu juga berfungsi sebagai pembimbing dan pembina dalam sukunya.
Dalam sebuah suku, biasanya juga dipilih lagi seorang atau beberapa datuk muda yang disebut penghulu penungkat (panungket). Penghulu penungkat bertugas membantu atau memberikan kekuatan tenaga pada penghulu yang sudah tua. Ia akan bertindak mewakili penghulu kaum atau suku, baik dalam berurusan dengan persoalan di dalam kaum atau sukunya, maupun di luar suku dan kaumnya.
Kedudukan penghulu menurut adat adalah "didahulukan selangkah ditinggikan seranting" dari yang lainnya. Dalam pengertian ini, jarak antara yang memimpin dan yang dipimpin terletak pada penempatan posisi si pemimpin. Sebagai seorang yang dipilih,  didahulukan  selangkah dan ditinggikan seranting. 
Setelah memenuhi berbagai persyaratan untuk dapat menduduki jabatan penghulu, maka seseorang yang terpilih menjadi penghulu akan diikat lagi dengan berbagai larangan dan pantangan. Maksudnya yaitu untuk menghindari perbuatan yang bertentangan dengan agama, adat serta perbuatan yang dapat merendahkan harkat dan martabat kepenghuluannya.
Adapun perbuatan yang dapat merendahkan harkat dan martabat seorang penghulu termaktub dalam ungkapan: "Hilie malonjak, mudiak mangacau. Kiri kanan mamacah parang. Mangusuik alam nan salasai, mangaruah aia nan janiah. Bak paham kambiang dek ulek karano miskin pado budi. Barundiang bak sarasah tajun karano takabua dalam hati. Mangubahi lahie jo batin, maninggakan sidiq jo tabalie, mamakai cabuah sio-sio, kato nan lalu lalang sajo, bak caro mambaka buluah, rundiang bak marandang kacang sabab lidah tak batulang” (hilir melonjak, mudik mengacau. Kiri kanan menimbulkan masalah. Mengusut persoalan yang telah selesai dan memperkeruh air yang telah jernih. Memiliki paham seperti kambing dihinggapi ulat karena miskin budi. Berbicara seperti air terjun karena memiliki sifat sombong, mengubah yang lahir menjadi batin, meninggalkan sidiq dan amanah, mengerjakan pekerjaan yang sia-sia, berkata semaunya saja. Seperti membakar buluh, berkata seperti merandang kacang karena lidah tak bertulang - Hakimi, 1984).
Intinya, seorang penghulu harus menghindari pekerjaan dan perbuatan yang dilarang oleh agama seperti sirik, perbuatan maksiat, takabur, pemarah, berdusta, menipu, mencuri, mabuk, berjudi, munafik, dan meninggalkan rukun Islam yang lima.
Sedangkan pekerjaan dan sifat yang dilarang oleh adat adalah pekerjaan yang menyimpang dari alur dan patut seperti perbutan yang memecah belah orang berkeluarga, menimbulkan huru-hara, pemalas, mungkir janji. Di samping itu, seorang penghulu seyogianya menghindari pekerjaan yang sumbang menurut pandangan adat seperti dalam berpakaian, berkata-kata, bertingkah, dan bergaul (Hakimi, 1984).
Seorang penghulu memiliki keterkaitan dengan kaum dan nagarinya. Sementara itu, nagari merupakan kediaman utama yang dianggap sebagai pusat aktivitas sebuah desa. Secara formal, penghululah yang menjadi pemimpin di Minangkabau. Mereka seolah-olah penguasa otonom karena memiliki daerah (nagari, sawah, dan ladang), rakyat (kemenakan anggota sukunya) yang mematuhi segala perintah yang dibuatnya. Diungkapkan dalam pepatah adat bahwa kata "penghulu kata penyelesai, kata imam kata hakekat".
Kiprah seorang penghulu (ninik-mamak) dalam konsep adat dan kebudayaan Minangkabau dapat dilihat dari perannya: sebagai anggota masyarakat, sebagai mamak bagi kemenakannya, sebagai seorang suami bagi istrinya, sebagai seorang ayah bagi anak-anaknya, dan sebagai pemimpin dalam nagari (Hakimi, 1984).
Seorang penghulu suku atau penghulu andiko juga tidak memiliki kekuasaan yang nyata. Mereka lebih banyak dirasakan sebagai yang dituakan dan bertugas menjalankan sesuatu pekerjaan. Menjadi penghulu lebih banyak dirasakan sebagai mendapat tugas daripada mendapat hak. Hanya bila kepenghuluan ini dihubungkan dengan kekuasaan Belanda dahulu yang "mungkin" juga berlaku saat ini, barulah seorang penghulu tersebut mendapatkan kekuasaan (Junus, 1976).
Penghulu yang duduk di Kerapatan Nagari disebut juga dengan "penghulu pucuk, penghulu payung" atau "penghulu andiko." Dari sebutan tersebut, terlihatlah tugas dan fungsi penghulu itu sebagai pemimpin masyarakat Minangkabau.
Pucuk merupakan bagian tertinggi yang bertunas terus,  karena itu menjamin kelanjutan hidup tanaman. Payung merupakan wadah tempat berlindung, baik dari sengatan matahari maupun siraman hujan.
Berdasarkan pengertian yang sering melekat pada kata penghulu tersebut, jelaslah tugas dan fungsi seorang penghulu: sebagai pemimipin yang memerintah dan sekaligus menjamin kelanjutan dan kesejahteraan anak dan kemenakan serta sebagai pelindung bagi kaumnya. Pepatah yang mengungkapkan sistem kepemimpinan masyarakat Minangkabau: “kemenakan berajo pada mamak, mamak berajo pada penghulu, penghulu berajo pada mufakat, dan mufakat berajo pada alur dan patut,” mengimplikasikan bahwa fungsi penghulu itu sebagai tempat berlindung anak dan kemenakan. Namun, dia harus memerintah berdasarkan hasil mufakat dalam musyawarah.
Secara adat, penghulu adalah pemimpin. Tetapi kepemimpinan dalam pengertian keseluruhan sistem kemasyarakatan, selain  penghulu, masih ada pemimpim yang disebut ulama dan cerdik pandai. Ketiga unsur tersebut, dikenal dengan istilah "tali tiga sepilin" atau "tungku tiga sejarangan."
Ketiga unsur tersebut secara bersama-sama memimpin masyarakat Minangkabau. Ulama memimpin dalam bidang keagamaan, sedangkan cerdik pandai memimpin dalam bidang kehidupan sosial-ekonomi serta pendidikan.
Garis pemisah yang tegas antara kepemimpinan itu seringkali sulit ditarik. Adakalanya, seseorang menyandang tugas sebagai penghulu dan ulama sekaligus. Sementara itu, kaum cerdik pandai banyak juga yang menjadi penghulu atau ulama. Namun, ketiganya dilihat dari sebuah sistem yang disebut sebagai pemimpin tergantung pada persoalan yang dihadapinya.
Untuk menghadapi persoalan yang bersifat terpadu, dilakukan musyawarah untuk mencapai mufakat. Permusyawaratan yang dilakukan oleh pemimpin atau pemuka masyarakat, tidak berdasar pada suara mayoritas,  karena itu sistem "voting" suara tidak dikenal.
Musyawarah untuk mencapai mufakat didasari azas seia-sekata serta kesepakatan. Hal itu tercermin dalam pepatah adat "bulek lah buliah digolongkan, picak lah buliah dilayangkan" (jika bulat sudah boleh digolongkan dan kalau pipih sudah boleh dilayangkan), yaitu suatu kesepakatan telah memperoleh persetujuan bersama dan dapat dilaksanakan.
Untuk mencapai kesepakatan, musyawarah harus berpegang teguh pada prinsip berdasarkan alur dan patut. Penilaian alur dan patut disesuaikan dengan kondisi dan situasi,  waktu dan tempat, tidak selalu sama untuk segala zaman dan keadaan. Jadi, permusyawaratan adalah untuk mencari mana yang baik bagi penyelesaian suatu permasalahan dengan berpijak pada situasi dan kondisi yang tengah dihadapi (Mansoer, 1970).
Jika tata kehidupan yang terlahir berdasarkan sistem rasa kebersamaan untuk kepentingan bersama seperti itu, dapat dipandang sebagai suatu tata demokrasi, posisi pemimpin dalam masyarakat Minangkabau bukanlah sebagai penguasa yang dapat menentukan suatu keputusan (Navis, 1983).
Seorang pemimpin seperti mamak atau penghulu sesungguhnya merupakan simbol, sedangkan yang menentukan segalanya adalah mufakat. Mengingat kepemimpinan penghulu di tingkat nagari merupakan simbol, maka kepemimpinan raja Minangkabau juga merupakan simbol. Alasannya, karena alam Minangkabau merupakan federasi dari luhak, yang sekaligus juga merupakan federasi dari beberapa nagari. Raja Minangkabau bukanlah seorang tokoh politik seperti raja-raja di tanah Jawa. Mereka juga tidak merupakan lambang kesatuan dan persatuan bangsa seperti raja Inggris. Ia hanya seorang tokoh "sakral" atau "orang bertuah" yang hidup dari hasil tanahnya sendiri dan "bunga tanah" serta upeti dari daerah alam Minangkabau, rantau dan pesisir yang pada hakekatnya lebih merupakan lambang daripada bukti pernyataan takluk dalam pengertian politis (Mansoer, 1970).

Pantangan  Penghulu
Penghulu sebagai pemangku adat “nan didahulukan salangkah, nan ditinggikan sarantiang,” mempunyai pantangan-pantangan yang tidak boleh dilanggarnya. Pantangan ini, berguna untuk menjaga martabat dan wibawa penghulu itu di tengah-tengah anak kemenakannya.
Pantangan-pantangan tersebut adalah: Pertama, Tidak boleh marah. Penghulu harus bersifat sabar, sebab dalam kehidupan sehari-hari anak kemenakan banyak tingkahnya yang tidak sesuai dengan ajaran adat dan moral. Seorang penghulu harus bijaksana dan pandai membawakan diri dalam menghadapi hal-hal yang tidak baik dari anak kemenakannya, seperti dikatakan: “harimau dalam paruik, kabiang juo nan dikaluakan” (harimau dalam perut, kambing juga yang dikeluarkan).
Kedua, Seorang penghulu harus menjauhi sifat-sifat suka menghardik, menghantam tanah, serta menyingsingkan lengan (sifat-sifat yang suka menghardik, menghantam tanah, serta menyingsingkan lengan baju untuk menentang seseorang berkelahi). Biasanya seorang penghulu bijaksana, kalau ada hal-hal yang membuatnya marah akan menyerahkan persoalannya pada dubalang.
Ketiga, Berlari-lari. Walau bagaimanapun terburu-burunya seorang penghulu karena sesuatu hal, baginya terlarang untuk berlari-lari, apalagi berlari kencang. Berlari-lari membuat dirinya seperti kanak-kanak. Seorang penghulu dapat menyuruh anak kemenakannya kalau ada yang perlu untuk dikejar/dituruti dengan segera.
Keempat, Menjinjing dan membawa beban. Menjinjing dan memikul beban tidak pada tempatnya bagi seorang penghulu. Kalau ini terjadi, akan hilang wibawa penghulu tersebut. Sebab, dia mempunyai anak kemenakan yang dapat membantunya.
Kelima, Memanjat-manjat. Pantangan bagi seorang penghulu memanjat pohon, apalagi pohon kelapa, wibawanya akan hilang apabila hal ini dia lakukan.

 Perangai Buruk Penghulu
Ada enam macam perangai buruk penghulu di Minangkabau, yaitu: Pertama, Penghulu nan diujuang tanjuang. Penghulu yang tidak memiliki prinsip dalam kehidupannya. Dalam ungkapan adat dikatakan,”Sapantun sipongang dalam quo. Urang mahariak inyo mahariak. Kalau diimbau bunyi ado. Kalau dicaliak indak basuo.
Kedua, Penghulu ayam gadang (penghulu ayam jago). Penghulu berperangai seperti ayam jago, hanya kokoknya saja merdu. Hal ini, diungkapkan dalam kata adat: “Bakotek hilia jo mudiak. Bakukuak kiri jo kanan. Mananggakkan tuah kamanangan. Tiok ado kabaikan tumbuah. Inyo nan pokok pangkanyo. Bakotek indak batama. Tinggi lonjak gadang sajo. Gadang tungkai indak barisi. Elok bungkuih pangabek kurang.”
Ketiga, Penghulu buluah bamboo (penghulu buluh bambu). Ada penghulu kelihatan bagus dari luar, tetapi kosong di dalam, kurang ilmu, tetapi berlebih lagaknya. Hal ini, diungkapkan dalam kata adat: “Batareh tampak kalua. Di dalam kosong sajo. Tampang elok takah balabiah. Lagak rancak aka tak ado. Ilmu jauah sakali. Awak datuak janyo awak.”
Keempat, Penghulu katuak-katuak (penghulu ketuk-ketuk), yaitu penghulu yang bersifat seperti “tong-tong di ladang.” Ia hanya berbunyi bila diketok. Hal ini diungkapkan dalam kata adat: “Iolah tong-tong urang diladang. Kalau diguguah inyo babunyi. Disaru baru basuaro. Ka mangecek takuik balabiah.”
Kelima, Penghulu Tupai tuo (penghulu tupai tua). Penghulu yang berperangai seperti tupai tua, ia tidak mau berusaha karena takut salah. Ia merasa dirinya tidak berarti,  dalam kata adat: “Elok nan tidak mengalua. Gadang nan indak mangatangah. Bagai karabang talua itiak. Rancaknyo tabuang sajo. Indak tatampuah ujuang dahan. Alek jamu indak tajalang. Alua tak ado nan taturuik. Jalan tak ado nan tatampuah. Banyak sagan dalam dirinyo.”
Keenam, Penghulu busuak hariang (penghulu busuk hariang). Penghulu yang sikapnya seperti bau kencing. Ia selalu membawa keresahan di dalam masyarakat. Hal ini diungkapkan dalam kata adat: “Itu penghulu nan jahanam. Hino bangso randah martabat. Hati ariang pahamnyo busuak. Budi anyia pikiran ariang. Panjang aka handak malilik.”
 SELANJUTNYA BACA BUKU "MINANGKABAU DARI DINASTI ISKANDAR ZULKARNAIN SAMPAI TUANKU IMAM BONJOL"
DAPAT DIPEROLEH DI TOKO BUKU GRAMEDIA

Minggu, 06 November 2011

Thomas Dias (bangsa Portugis) menjalin hubungan dengan Minangkabau.


Pada tahun 1683, Gubernur Belanda untuk Malaka, Cornelis van Quelbergh memerintahkan Thomas Dias (bangsa Portugis yang menetap di Malaka setelah pendudukan Belanda, dan bekerja pada VOC) pergi ke hulu Sungai Siak untuk mencoba menjalin hubungan dengan Minangkabau.
Tujuannya, agar Belanda dapat berdagang secara langsung dengan penyedia emas, lada, dan timah, serta untuk menjadikan Minangkabau sebagai sekutu potensial di tengah-tengah konflik yang terus-menerus antara Johor, Siak, Jambi, Palembang, dan Belanda-Malaka. Thomas Dias masuk ke daerah pedalaman Minangkabau, dan bertemu dengan raja  Pagaruyung.
Dalam buku “Sumatera Tempo Doeloe (Anthony Reid, Komunitas Bambu, Jakarta, 2010), yang  dikutip dari 'Naar Midden Sumatra in 1684' dalam Tijdschrift voor lndische Taal-, Land- en Volkenkunde (F. de Haan, 1897, Vol. 39, hlm. 340-353), memuat kisah perjalanan Thomas Dias, antara lain sebagai berikut;
“Dari sini rute perjalanan kami menyelusuri hutan dan mendaki gunung, walaupun pemandu kami mengindikasikan berbagai kesulitan yang lebih berbahaya daripada para pembunuh dan hewan buas yang ada di rute sebelumnya, misalnya gunung-gunung terjal, rawa-rawa, tumbuhan berduri dan lain-lain……..Kami berjalan selama tujuh hari menyusuri hutan tanpa menemukan satu gubuk pun.
Pada hari ke-7 kami tiba di sebuah desa di mana ada tiga sampai empat rumah yang berdiri berjauhan. Di sana kami menginap dan beristirahat sepanjang hari. Keesokan pagi, ketika hari masih subuh, kami melanjutkan perjalanan menembus hutan dan sampai di bukit yang sangat tinggi, disebut Pima oleh penduduk setempat. Setelah berjalan selama tiga hari kami tiba di Kota Nugam yang berjarak sekitar empat mil [kurang-lebih 6,5 kilometer] dari Pagaruyung.
Di sana kami beristirahat, sementara sembilan orang diutus untuk mengabarkan kedatangan kami atas perintah Heer Cornelis Qualbergen [Cornelis van Quelbergh], Gubernur Malaka, sekaligus menanyakan kesediaan raja menerima kedatangan serta mengizinkan kami masuk ke kota dan istananya.
Tidak lama kemudian, sang raja mengutus seorang Raja Melayu, dikawal oleh 500 orang yang memegang panji-panji kuning kerajaan, untuk menyambut saya. Raja Melayu itu juga mengumumkan atas nama raja bahwa raja sangat senang karena saya tiba dengan selamat dan  bersedia menerima rombongan utusan dengan tangan terbuka. Kemudian mereka meminta kami datang ke kota.
Saya meminta izin untuk menunda kedatangan dengan alasan bahwa tidak patut jika surat atau utusan yang dikirim tuan gubernur diterima raja pada malam hari….. saya meminta izin untuk datang esok hari.
Setelah mendapatkan jawaban saya, Raja Melayu memerintahkan 400 anak buahnya untuk tinggal dan menjaga saya. Lalu ia memerintahkan penduduk setempat untuk melayani dan menyediakan segala hal yang saya butuhkan. Kemudian ia kembali menghadap raja bersama dengan 100 anakbuah yang tersisa.
Subuh keesokan harinya Raja Melayu kembali menemui saya dengan perintah menerima surat dari VOC beserta hadiah yang dikirimkan gubernur. Sekali lagi saya meminta Raja Melayu menanyakan kesediaan raja menerima surat dan hadiah dari gubernur hari berikutnya dan mengizinkan kami beristirahat hari ini karena kami sangat kelelahan…….
Keesokan hari, dua orang putera raja, yakni pangeran dan saudara laki­-lakinya, datang mengambil surat dan hadiah dari gubernur. Mereka diiringi sekitar 4.000 rombongan kerajaan yang membawa alat musik, senapan lontak, payung yang berserat emas, dan tanda-tanda kemegahan kerajaan lainnya……..Pangeran menerima surat gubernur dan meletakkannya di baki emas lalu membawa baki itu sendiri. Sementara para bangsawan pengikutnya turut meletakkan hadiah gubernur di atas baki perak. Dengan arak-arakkan seperti ini kami pergi ke istana, diiringi bunyi tembakan para tentara. Pangeran mernbawa surat itu kepada ayahnya sedangkan saya tetap berada di bawah bersama para bangsawan.
Raja membaca surat gubernur. Sambil membaca, ia menawarkan daun sirih yang ditaruh di baki perak besar. Ia berkata kepada saya bahwa saya amat beruntung sekaligus berani melakukan perjalanan seperti ini, menempuh begitu banyak bahaya di hutan belantara …….Raja menanyakan motivasi….yang mendorong saya  berani menempuh perjalanan seperti itu. Saya menjawab, "Tiada alasan selain Cornelis van Qualbergen yang terhormat, Gubernur Malaka sekaligus atasan saya, memerintahkan saya untuk menanyakan keadaan Yang Mulia."
Raja membalas, "Aku sangat bahagia dan berterimakasih kepada gubernur. Mulai saat ini, aku siap membantunya sebagai kawan baik." Akhirnya, raja mengutarakan ketidaksukaannya terhadap Paduka Raja [dari Johor)……..Setelah berpamitan dengan sopan, saya meninggalkan sang raja dan diantar ke rumah yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal saya.
Setelah dua atau tiga hari berlalu, saya menemui beberapa bangsawan istana dan bertanya apabila saya bisa berbicara lagi dengan raja. Mereka menjawab bahwa itu mustahil. Berbicara dengan raja pada awal pertemuan sudah cukup karena hal itu menunjukkan kehormatan besar dan niat baik raja.
Setelah mempertimbangkan jawaban mereka, saya menyimpulkan bahwa penolakan tersebut berasal dari pandangan jahat dan penuh curiga dari para bangsawan dan bukan dari perintah raja…..Kemudian saya menjawab, "Saya bisa, bahkan pernah berbicara dengan Turk yang Agung, seorang raja yang perkasa. Mengapa saya tidak boleh berbicara dengan raja, padahal menurut Raja Turk, adalah saudara seperjuangannya?" Mereka terdiam dan menyembunyikan kekesalannya.
Sementara itu, saya memikirkan bagaimana cara bertemu lagi dengan raja, Saya melihat tidak ada cara lain selain memakai siasat….Selama tinggal di sana, saya perhatikan ibunda Raja Melayu yang terhormat memiliki akses besar kepada ratu dan bebas keluar-masuk istana.
Saya menemui ibu suri dan meminta kesediaannya menyampaikan pesan saya kepada ratu, bahwa saya  datang kemari setelah menempuh berbagai mara bahaya yang mengancam keselamatan, yang dikirim Gubernur Malaka sebagai utusan sekaligus untuk mengantarkan surat tuan gubernur, hendak berbicara sekali lagi dengan suaminya, Yang Mulia Raja…..Hasil siasat saya ternyata jauh melebihi harapan. Ratu mengirimkan baki perak berisi daun sirih dan buah pinang yang ditutupi kain kuning, dan mengabarkan bahwa saya akan dipanggil oleh raja dalam tiga hari ke depan…….Akhirnya Raja Melayu datang dengan dikawal 12 orang yang membawa panji-panji kerajaan. Ia memberitahu saya bahwa raja memanggil saya untuk datang ke istana. …….Saya melihat raja duduk bersama penasihat dan beberapa orang haji [peziarah yang pulang dari Mekah].
Saya bergegas masuk ke istana dan memberi hormat sesuai tradisi. Raja kelihatan senang melihat saya memberi hormat kepadanyaKetika raja selesai berbicara, saya meminta kesediaan raja agar saya diperbolehkan bicara, dan jawaban yang saya terima adalah: "Para utusan mempunyai kebebasan untuk bicara."………Raja berkata lagi kepada para bangsawan….kunjungan Thomas Dias, yang diutus oleh Gubernur Malaka, adalah kunjungan yang pertama. Kedatangannya kemari sangat membuatku gembira. Oleh karena itu, aku akan mencantumkan kunjungan ini dalam catatan harianku dengan turut menyebutkan nama gubernur yang terhormat beserta utusannya. Sebab sebelumnya belum pernah ada utusan dari Malaka di Kerajaan Pagaruyung."……….Kemudian raja menanyakan apakah saya adalah orang yang sama dengan yang tinggal bersama sepupunya, Raja Hitam [pemimpin Minangkabau di Siak], ketika sepupunya berada di Malaka. Raja berkata, "Ia [Raja Hitam] menulis surat kepadaku yang menyebutkan bahwa ia menginap dengan Nakhoda Thomas Dias".
Saya memandang raja dan meminta maaf atas pelayanan buruk yang dialami Raja Hitam selama berada di Malaka. Saya juga mengatakan bahwa seandainya Raja Hitam menyatakan bahwa dirinya adalah sepupu raja, saya akan dengan senang hati memberikan pelayanan yang pantas untuknya.
Raja memerintahkan para bangsawan untuk meninggalkan ruangan sehingga yang tinggal hanyalah Raja Melayu, juru tulisnya, dan tiga haji. Raja turun dari singgasana dan duduk di samping saya di atas permadani. Ia lalu mengulangi pertanyaannya tadi mengenai apa yang saya inginkan. ……..Raja memandang saya dan berkata, "…..kau akan kuberi gelar Orangkaya Saudagar Raja, yang kira-kira berarti saudagarku.” Kemudian ia turut menambahkan gelar “Orang di dalam Istana.”
Raja mengatakan bahwa ia akan mengadakan pesta pelantikan pada pukul tiga sore esok hari………. Seperti biasa, saya datang ke istana pada waktu yang telah ditentukan. Ketika masuk ke sana saya melihat raja dan para bangsawan istana duduk di kursi penghakiman. Saya segera memberi salam dan setelah itu raja melantik saya dan berseru dengan lantang, "Oh Orangkaya Saudagar Raja Orang di dalam Istana." Saya menghadap raja dan menjawab dengan penuh hormat, "Daulat Tuanku."
Kemudian saya dihadiahi sebuah baki perak, sehelai panji-panji kuning, sebuah senjata yang bentuknya mirip tombak kerajaan berhiaskan ornamen perak, dan sebuah cincin dari tembaga suasa [logam campuran emas dan tembaga] sebagai simbol dari raja yang harus saya muliakan seurnur hidup.
Raja juga memberikan surat kuasa yang disegel dengan cap raja. Surat kuasa itu berisi bahwa raja memberikan tiga pelahuhan kepada saya sehubungan dengan gelar yang saya terima, yaitu Siak, Patapahan, dan Indragiri, sehingga VOC dan saya dapat berdagang di sana.
Sebagai tanda bahwa saya menerima semua itu, dengan sopan saya mengucapkan terimakasih dan meminta izin untuk bicara. Raja mengatakan bahwa saya tidak perlu meminta izin. Ia berkata, "Siapa pun yang diterima sebagai orang dalam istana, sebagaimana aku telah menerima kau sebagai saudagarku, diizinkan keluar-masuk istana dan bicara kapan pun mau, sama seperti bangsawanku yang lain."
Mendengar itu saya menunjukkan rasa hormat dan terima kasih saya lalu berkata, "Yang Mulia pasti tahu kalau Raja Johor telah merebut Siak, sedangkan Indragiri juga sudah punya rajanya sendiri."
Raja menjawab, "Dulu aku mengizinkan anak-anak Raja Johor menggunakan Siak sebagai tempat peristirahatan sekaligus tempat bersenang-senang. Namun izin tersebut sudah tak berlaku lagi karena kelicikan dan pengkhianatan yang dia lakukan terhadap sepupuku, Raja Hitam. Apabila Raja Johor menyatakan Siak sebagai wilayahnya, aku akan memintanya untuk menunjukkan bukti kapan dia memperoleh hak kepemilikan tersebut."
"Sebenarnya Indragiri termasuk dalam wilayah kekuasaanku, tetapi daerah itu memisahkan diri dariku dan memberontak, padahal Indragiri hingga ke laut adalah milikku. Belum lama ini Raja Indragiri memohon ampun kepadaku, tetapi aku tidak bersedia memaafkannya atau pun menerima upeti darinya. Bukan hanya karena ia telah menyinggungku, tapi ia juga mengambil penasihat dari orang luar dan membiarkan orang­-orang Kompeni dirampok dan dibunuh di penginapan mereka. Apabila Kompeni yang terhormat menghendaki aku dan bawahanku membalaskan dendam mereka, hendaknya mereka menyampaikan keinginan mereka dan mengirimkan dua kapal kepadaku. Dengan begitu, kami bisa mengusir semua orang Indragiri dari sana. Jika Kompeni menyetujui usulku, mereka boleh mendirikan benteng pertahanan di sana dan aku akan mengizinkan saudagar-saudagar Kompeni meneruskan kegiatan dagang seperti biasa. Sebab Indragiri tidak memiliki kekayaan alam sendiri, bahkan persediaan bahan makanan mereka sebagian besar didatangkan dari daerah pedalaman di bawah kerajaanku.”
Raja memberikan kuasa penuh kepada saya untuk melakukan atau membatalkan apa pun yang saya inginkan di tiga pelabuhan dan tempat­-tempat dagang yang telah disebutkan; menghukum siapa pun yang patut dihukum, bahkan menjatuhkan hukuman berat kepada siapa pun yang melakukan pembunuhan; dan menyita harta mereka, semua secara amplissima  forma. Apabila ada rakyat raja yang dijual sebagai budak, saya harus membebaskan orang tersebut.
Raja mengatakan kalau ia sudah memutuskan untuk menulis surat balasan kepada gubernur. Ia lalu menanyakan bagaimana sebaiknya mengirirn hadiah balasan kepada gubernur dan hadiah apa yang menurut saya patut dikirimkan kepada gubernur. ……Namun, saya mengatakan bahwa tidak ada yang dibutuhkan atau diminta oleh gubernur selain izin melakukan perdagangan yang saling menguntungkan di salah satu tempat di kerajaan raja, entah di Siak atau di Patapahan. Raja berkata, "Selama Anda membantu, hal itu akan terlaksana." ….Setelah berpamitan saya kembali ke tempat saya menginap…… Esok hari saya menghadap raja, …….Ketika tiba di istana, kami melihat haji itu sedang meninggalkan istana.
Beberapa anakbuah saya mengenali haji itu setelah memperhatikannya dengan seksama. Mereka mengatakan bahwa orang itu adalah pelaut Moor yang sering mabuk-mabukan dan kabur dari Malaka ke Riau karena masalah utang. Ketika masuk ke istana, kami tidak menyembunyikan hal itu melainkan menyampaikannya kepada raja……..Raja berkata, orang itu minum anggur dan mabuk-mabukan, berarti dia bukan seorang haji melainkan penipu yang dikirim kemari untuk mengelabuiku. Pergilah, ikuti, dan bunuh dia." Kami melihat 300-400 tentara bergegas keluar istana untuk melaksanakan titah raja, sehingga masalah penipuan ini teratasi. ………Kami melakukan perjalanan pulang setelah berpamitan kepada raja, sebagaimana yang sudah disebutkan. Kami pulang dengan dikawal Raja Melayu yang kini sudah akrab dengan kami, dilindungi oleh payung putih berhiaskan rumbai-rumbai, beserta rombongan 3.000 tentara yang terus-menerus menembakkan senjatanya sampai malam hari ketika kami mendekati Kota Siluka. Di sana, Raja Melayu beserta 3.000 pengikutnya kembali ke istana. Kami melanjutkan perjalanan dengan gagah berani menuju Siluka yang letaknya dekat dengan sungai yang disebut Kuantan.”
SELANJUTNYA DAPAT DIBACA DALAM BUKU MINANGKABAU DARI DINASTI ISKANDAR ZULKARNAIN SAMPAI TUANKU IMAM BONJOL, YANG DAPAT DIPEROLEH DI TOKO GRAMEDIA