Selasa, 18 Oktober 2011

WANITA-WANITA SELINGKUH


Suami Brondong


Memiliki suami brondong, bagi sebagian wanita dewasa mungkin merupakan kebanggaan. Tapi, tanpa disadarinya beda usia lebih dari 10–20 tahun, mereka akan ditunggu “bom waktu” di kala usia menopause.
Dari banyak tulisan, seminar dan diskusi yang saya ikuti, hampir semua sependapat, bahwa: Wanita menikah dengan pria yang usianya jauh lebih muda, akan menghadapi banyak masalah di kemudian hari. Masalah itu akan datang, ketika  wanita memasuki masa pra-menopause atau bahkan menopause.
Perbedaan usia yang besar, di atas 10 tahun, menyebabkan sang istri lebih dulu mencapai masa pra-menopause atau  menopause,  di saat sang suami berada pada kondisi puncak. Bentang usia yang terlalu jauh ini cukup riskan menimbulkan kesenjangan seksual di masa depan.
Ketika menikah, memang hal itu tak terlalu dipikirkan. Bahkan, bagi wanita yang pernah menikah, lalu menikah lagi dengan “brondong,” ditengarai hanya ingin mencoba “barang baru.” Nikah lagi, mungkin juga untuk mencari partner yang bisa mengimbangi gairah seksualnya. Sebab, ketika menjelang pra-menopause, gairah wanita biasanya pasang naik.
Perubahan yang dialami wanita menopause, disebabkan penurunan hormon estrogen. Di usia senja ini, indung telur mereka mulai menurun fungsinya. Hal seperti ini, sebenarnya dapat diatasi  dengan hormone replacement therapy. Bagi mereka yang merasa perih saat berhubungan, perlendirannya bisa digantikan dengan mengoleskan jel tertentu sebelum melakukan hubungan intim. Eksesnya memang ada yakni sering ada keluhan dari pasangannya, karena jel  tersebut mengakibatkan rasa kurang enak.
Keluhan lain bagi wanita yakni masalah yang  menyangkut frekuensi. Karena merasa perih, sang istri biasanya minta kuantitas hubungan seks dikurangi. Tetapi sebaliknya, sang suami minta ditambah atau setidaknya tetap, lantaran libidonya sedang meledak-ledak.
Hal tersebut, memang bisa diatasi bila sang suami menyadari tentang keadaan istrinya. Suami sebaiknya menurunkan tuntutan sesuai kemampuan istri. Tapi konsekuensinya, tidak kurang pula suami merasa kurang mendapat kepuasan oleh istrinya di rumah. Ekses paling buruk yaitu suami mencari wanita lain di luar rumah yang dapat memuaskan nafsu birahinya.
Dalam kasus ini, terbukti tidak hanya rasa bosan, juga adanya ketidakberdayaan istri melayani suami. Jika soal bosan saja, tentu dapat diatasi dengan memperbanyak variasi posisi, waktu dan tempat. Misalnya dalam soal waktu,  kalau biasanya malam hari, diganti menjadi pagi hari. Soal variasi tempat misalnya, biasa dilakukan di kamar, diganti di kamar mandi atau di dapur. Atau biasanya di rumah, dicoba di hotel dan sebagainya.
Teman saya Wiwiek banyak merekam  cerita tentang ini, setelah melakukan berbagai wawancara dengan banyak wanita. Di antaranya cerita Sonya (48 tahun), Agustina (46 tahun) dan Flora (45 tahun),  yang bertemu dengan Wiwiek di kafe Hyacinth, hotel berbintang lima di kawasan Jakarta Selatan (02/2010).
Sonya bercerita: Sebagai wanita yang tergila-gila dengan pendidikan dan karier, aku termasuk salah satu di antara wanita yang telat kawin. Aku menikah baru di usia 40 tahun dengan Michael, yang 15 tahun lebih muda dari usiaku.
Pesta perkawinanku cukup meriah. Aku melangkah bangga menuju pelaminan dalam perhelatan yang megah dan meriah di sebuah gedung, di Jakarta Selatan. Bisik-bisik di antara hadirin, aku yakini bahwa mereka sedang menggunjingkan diriku. Sungguh, saat itu hatiku berbunga-bunga tatkala bersanding dengan Michael, yang menikahiku setelah melalui masa dua tahun pacaran. Perbedaan usia yang tampak di pelaminan tentu mencetuskan beragam reaksi para tamu dan undangan, yang aku rasakan sebagai, mereka kagum, atau malah iri padaku.
Michael yang masih belia, termasuk dalam urusan ranjang. Untunglah, aku cukup mengenal liku-liku lelaki, baik dari pacar-pacarku dulu maupun dari VCD. Aku menjadi kapten pada menit-menit awal. Mulai dari menyalakan gairah seksual suamiku, sampai menuntunnya memasuki lembah kenikmatan.
Michael memang perjaka tingting, belum mengenal perangkatnya sendiri, maka ia belum bisa mengatur irama permainan. Akibatnya, dalam hitungan menit Michael tak tahan lagi. Dengan sabar aku membangkitkan kembali, mengajarinya step by step. Baru pada malam ketiga, di saat Michael telah “naik kelas,” aku mulai bisa menikmati, meski belum maksimal.
Bulan-bulan berikutnya, aku mulai menuai hasil. Michael mulai mandiri. Sudah bisa memilah mana yang perlu dan mana enak. Seiring dengan makin pintarnya suamiku, aku pun berusaha menyesuaikan diri. Sesudah istirahat sejenak, kalau ia kepingin nambah, aku pun siap tempur.
Dalam masalah frekuensi, aku terus mengejar Michael. Walau  suamiku ingin setiap malam, aku pun tak pernah melewatkan kesempatan indah itu. Bahkan, untuk menambah teknik dan koleksi posisi, kami berdua sering menonton VCD porno atau membaca buku dan majalah. Di luar eforia itu, kami berdua perlu mengatur waktu istirahat, agar tak mengganggu konsentrasi pekerjaan di kantor. Kami makin rajin berolahraga bersama, agar dapat mempertahankan  badan selalu sehat,  kuat, dan stamina yang prima.
Setahun berlalu serasa sebulan. Menginjak tahun kedua, aku hamil. Menyadari suamiku masih butuh madu perkawinan, aku tetap melayaninya, meski penetrasi dilakukan hati-hati, terutama pada masa usia hamil muda.
Tiba saat aku melahirkan, aku memilih melalui operasi caesar. Selain demi alasan kesehatan lantaran usiaku cukup riskan, juga agar “bagian bawah” tak diusik-usik. “Demi kepentingan suami,” bisik Sonya pada Wiwiek sambil  tersipu-sipu.
Alhasil, anak pertama lahir, disusul anak kedua pada tiga tahun kemudian, juga lewat operasi caesar. Dengan dua anak yang masih kecil-kecil, aku menjadi  kerepotan, meski ada pembantu dan babysitter.
Masalah anak-anak,  cukup menguras tenagaku, tapi aku tetap berusaha tak berhenti bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Hanya, yang merisaukan aku justru Michael nyaris tak tertangani. Aku sedih melihat suamiku  sering menonton televisi sendirian. Lalu, suatu malam, selagi aku asyik menidurkan si bungsu, Michael masuk ke kamar lalu duduk di tepi ranjang. Diam-diam tangannya membelaiku. Ini suatu kode, bahwa ia mengajakku berhubungan seksual.
Seperempat jam kemudian, setelah anak-anak terlelap, aku menyusul ke kamar. Michael tampak agak kesal. Namun, setelah berbasa-basi dan foreplay singkat, aku membiarkan Michael melakukan eksekusi. Padahal aku belum seberapa mendidih.
Sesekali aku meringis, sakit.  Tapi aku tetap berusaha merespons gerakan Michael. Suamiku yang penuh semangat, lalu melemas, dan sebentar kemudian mendengkur. Entah kenapa malam ini, aku merasakan derajat seksualku jauh menurun,  dibandingkan dengan saat-saat kami berhubungan intim suami-istri beberapa tahun atau bahkan beberapa bulan lalu. Michael sendiri, juga  ingin cepat selesai, dengan frekuensi sedikit menurun, dari setiap hari  menjadi empat kali seminggu.
Ingin sekali aku mengkomunikasikan rasa perih dan penurunan gairahku kepada suamiku. Malah aku merasakan penetrasi Michael tak lagi senikmat dulu. Sikap suamiku yang menomorduakan pemanasan, juga semakin menjauhkan aku dari orgasme.
Tapi, aku tak tega mengkomunikasikan rasa perih dan kurangnya pemanasan tersebut kepada Michael. Aku khawatir hal itu justru akan menghantam ego Michael. Kalau aku bicarakan dengan Michael, bisa jadi reaksinya positif, yakni  mengerti bahwa aku berada pada masa pra-menopause,  sehingga Michael bisa mengendalikan libidonya sendiri dan menyesuaikan dengan penurunan gairah seksualku.
Tapi yang aku khawatirkan, kalau reaksinya negatif.  Michael tak sudi jatahnya dikurangi karena sedang berada di puncak keperkasaan. Dorongan untuk “mengasah” pedangnya begitu menggebu. Kalau aku tak lagi sanggup melayani, bukankah bisa saja Michael akan mencari wanita lain yang sanggup melayani libidonya?
Kegalauan perasaan Sonya,  sama dengan yang mengguncang hati Agustina (46),  yang juga  bersuamikan pria jauh lebih muda darinya. Suaminya, Dennis, memiliki pembawaan tenang tapi meyakinkan. Sikap ini membuat gemas Agustina.
Rasa gemas ini terbawa hingga ke kamar tidur. Selama tiga tahun, sejak ia memutuskan menikah dengan pria yang dua belas tahun lebih muda ini, ranjangnya jadi saksi bisu betapa besar usaha Agustina memuaskan nafsu birahi suaminya. Sikap lembut bertenaga yang ditunjukkan Dennis, membuat Agustina tak berdaya. Inilah yang membuat cintanya kian merekat pada suaminya.
Sampai saat ini, mereka memang belum dikaruniai anak. Karena itu, mereka bebas mengeksplorasi berbagai gaya, posisi, tempat, bahkan suasana. Mereka sering janji makan siang di restauran hotel, lalu mencari keringat barang sejam di kamar hotel, sebelum kembali ke kantor masing-masing. Kalau pas weekend, sepulang kantor mereka langsung meluncur ke bungalow di Pantai Anyer atau Cipanas, untuk menikmati suasana romantis di sana.
Baik Dennis maupun Agustina, tak merasa kesenjangan usia mereka mempengaruhi kinerja seksual. Kematangan pengalaman Agustina, dengan kegemasannya itu, saling melilit dengan daya tahan dan stamina Dennis. Diakui, saat tergolek lemas, Agustina merasakan kepuasan tak terceritakan atas kenikmatan multi orgasmenya.
Mereka pun saling terbuka, mana posisi yang disukai. Hal-hal apa dari pasangannya yang bisa mempengaruhi mood. Bagian mana dari hubungan seksual yang perlu diberi penekanan tenaga. Pendek kata, hubungan seksual jadi bahan diskusi menyenangkan bagi mereka berdua.
Lalu, di tengah keindahan bulan madu setiap hari itu, apa yang  menggalaukan hati Agustina? Rupanya sama dengan Sonya, ia juga takut kehilangan segala keindahan itu. Hatinya makin teriris bila tengah bercermin. Uban mulai menyeruak, tapi ah itu bisa dikamuflase dengan highlight atau toning. Kerut di leher, sudut mata, dan kantong mata, harus diapakan? Mata Agustina meredup. Wajahnya tak cantik lagi, dikalahkan usia.
Walau orang bilang hidup baru dimulai pada usia kepala empat, yang ada hanyalah fase kematangan kepribadian, satu hal yang menurut Agustina tak bisa dielakkan oleh wanita manapun. “Datangnya menopause, lengkap dengan segala konsekuensinya,” ucapnya lirih.
Agustina memang telah merasakan gejalanya. Tubuh bagian atasnya, sering terasa panas, juga setiap berhubungan seksual dengan Dennis, vaginanya agak terasa perih. Untunglah Dennis bukan tipe pria yang berangasan di ranjang, sehingga aksinya tak terlalu membabi buta. Malah Agustina yang agak mengurangi kegemasannya. Namun, sejak dua minggu belakangan ini, ia merasakan surutnya gairah seksual.
Menyadari hal itu, Agustina gamang menerima kenyataan, jika suatu saat Dennis berpaling. Apalagi pernikahan mereka belum membuahkan anak. Ia yakin, Dennis merasakan adanya perubahan dalam dirinya, hanya Agustina tak bisa menebak apa reaksi di balik ketenangan sikap Dennis. Walau Agustina bisa memendam sendiri segala keluhan, tapi dia tetap khawatir dan mempertanyakan: “Apa yang akan terjadi pada diri aku, lima atau sepuluh tahun mendatang?”
Keluhan Sonya dan Agustina tentang makin tidak nyamannya hubungan seksual mereka, senada dengan Flora (45).  Perbedaan usia 10 tahun dengan suaminya, Dimas, sudah mulai menimbulkan masalah seksual. Rasa perih selama coitus, walau pemanasan cukup lama karena gairahnya pun lambat naik, tentulah membuat Flora tak bisa sepenuhnya menikmati seks.
Diakui oleh Flora, hampir sebulan ini ia merasakan ada yang berubah dalam dirinya, terutama yang berkaitan dengan hubungan seksual. Tubuh kekar dan kegantengan Dimas, tak lagi cukup merangsang dirinya.
Flora heran, apakah ia terjangkiti rasa bosan? Rasanya tidak! Sebab, ia selalu merindukan dengus napas dan tetes keringat Dimas, hampir setiap saat. Masalah itu muncul jika mau berhubungan seksual. Bayangan rasa perih dan susah orgasme itu mengikis gairahnya. Cumbuan foreplay yang dilancarkan Dimas pun, tak lagi cepat menyulut nafsunya.
Tapi, demi cintanya pada Dimas, dan terutama agar rumah tangganya tak rengat hanya lantaran seks, Flora mencoba memaksakan diri lebur ke dalam debur nafsu Dimas. Detik demi detik ia coba nikmati, walau susah, dan ketika orgasme mulai berdenyut, ia pura-pura berteriak lepas, seolah gelepar kenikmatan mengguncang dirinya. Padahal, orgasme itu hanya mendenyut kecil dan menimbulkan sedikit kenikmatan.
Itulah yang disebut Flora solusi jitu, yakni berpura-pura orgasme demi kepuasan seksual suaminya. Namun, bagaimana jitunya solusi mereka, persoalan menopause tetap menjadi momok dan menjadi masalah penting bagi mereka bertiga.
DAPAT BUKUNYA DI TOKO BUKU GRAMEDIA 
DAN GUNUNG AGUNG

1 komentar: