Rumput tetangga tampaknya lebih hijau daripada rumput sendiri. Seperti itu pula sebuah perselingkuhan, pihak ketiga menyenangkan dan menggoda. Namun, untuk melakukannya tidaklah mudah. Sebab, tindakan ini dapat memacu seseorang menganggap pasangannya melakukan pengkhianatan dan ketidaksetiaan.
Beberapa alasan memang terungkap, mengapa wanita lebih memutuskan untuk selingkuh, daripada memperbaiki hubungan dengan sang suami? Hubungan yang kurang harmonis dalam pernikahan, bisa membawa wanita melakukan perselingkuhan.
Menurut data Ditjen Pembinaan Peradilan Agama (PPA) Mahkamah Agung, perceraian akibat adanya gugatan dari istri setiap tahun selalu lebih tinggi dari angka perceraian akibat talak suami. Data dalam lima tahun terakhir menunjukkan, persentase perceraian akibat gugatan istri mencapai 56,2% (2000) naik menjadi 57,4% (2001), naik lagi menjadi 59,5% (2002), dan terus naik menjadi 60,7% (2003), 62,1% (2004) dan pada tahun 2005 naik lagi menjadi 63%.
Dari sekian banyak penyebab perceraian, selingkuh merupakan salah satu penyebab yang sering disebut-sebut. Dari pergerakan data statistis di Direktorat Jenderal Pembinaan Peradilan Agama, terungkap bahwa selingkuh telah menjadi virus keluarga nomor empat di Indonesia. Dari fakta tersebut, kini terlihat bahwa selingkuh telah meluas dan menjadi ancaman bagi institusi keluarga bahagia di tanah air.
Menurut sebuah penelitian di Amerika Serikat, 14 persen perempuan pernah berselingkuh paling tidak satu kali. Selanjutnya, setidaknya 70% pria menikah dan 60% wanita menikah pernah berselingkuh. Itu artinya, dari tiga pernikahan, dua di antaranya “dihiasi” perselingkuhan. Data lain menyebutkan, 90% perceraian terjadi karena perselingkuhan, 50% terlibat perselingkuhan, namun hanya 25% yang menyatakan perselingkuhan adalah penyebab utama mereka bercerai. Hasil penelitian juga menyebutkan, 80% dari mereka yang bercerai ketika berselingkuh menyesali keputusan untuk bercerai. Kemudian 75% dari mereka yang menikahi pasangan selingkuhnya, ujungnya tetap berakhir dengan perceraian juga.
Menurut hasil penelitian “Frontir” (SWA 20/XIV/5-18 Oktober 2000), menunjukan, empat dari lima eksekutif pria melakukan penyelewengan atau perselingkuhan. Dan dua dari lima wanita bekerja yang disurvei, pernah terlibat perselingkuhan sampai tahapan berhubungan intim (making love atau ML).
Persentase berselingkuh perempuan lebih kecil dibandingkan dengan pria. Namun paling tidak, data tersebut memberikan gambaran bahwa selingkuh merupakan fenomena tersendiri dan nampaknya tidak akan pernah redup di sepanjang zaman.
***
Selama hampir enam bulan, saya bersama tujuh teman wanita sempat mewawancarai 100 orang wanita berselingkuh. Mereka berasal dari golongan ekonomi bawah, menengah dan atas. Berusia antara 24-50 tahun, terdiri dari berbagai profesi, dengan latar belakang pendidikan SLTA sampai S2.
Jawaban mereka cukup bervariasi, berikut dengan berbagai alasan untuk pembenaran perselingkuhan tersebut. Bahkan, dari jawaban dan alasan yang dikemukakan oleh wanita-wanita tersebut, dapat pula ditarik suatu kesimpulan, bahwa perselingkuhan wanita dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni: Tahap pertama, selingkuh pikiran; Tahap kedua, selingkuh perasaan; Dan tahap ketiga, selingkuh secara fisik.
Tahap pertama, wanita baru “mengagumi” pria lain. Pada benak wanita ini, biasanya timbul kata-kata: “Mengandai-andai, seandainya pasangan aku seperti pria ini.”
Sepanjang intensitasnya tak terlalu sering, hal ini adalah suatu hal yang wajar. Hanya sebatas angan-angan. Dan dampak selingkuh jenis ini biasanya tak terlalu terasa oleh pasangannya. Sebab, sering kali tak dibicarakan pada pihak lain. Tapi, karena wanita ini sudah mulai mendua dalam pikirannya, maka bagi wanita yang kurang pengalaman dalam selingkuh, umumnya atensi, fokus dan perhatiannya terhadap pasangannya mulai berkurang. Tetapi bagi wanita yang sudah berpengalaman, malah akan berbuat sebaliknya, ia makin memperhatikan suaminya, sebagai upaya menutupi kesalahannya.
Seorang istri mengagumi orang lain adalah wajar, tapi bila dibiarkan, bukannya tak mungkin ia akan masuk ke tahap kedua, yakni tahap selingkuh perasanan.
Pada tahap kedua, wanita itu sulit menghilangkan bayangan pria lain yang sudah dikenalnya, dan merasuk dalam pikirannya. Hal ini, bisanya menimbulkan masalah. Sebab, selain wanita itu membanding-bandingkan pasangannya dengan pria lain yang dikenalnya, hubungan ini bisa berlanjut dengan rasa menyukai dan mencintai.
Perasaan deg-degan dan berbunga-bunga timbul, meski hanya dengan melihat wajah atau sekedar mendengar suara pria lain tadi. Wanita itu, mulai mengadakan hubungan telepon dan SMS. Bahkan, sering berlanjut dengan saling curhat-curhatan melalui chatting di internet. Lama-kelamaan janji ketemu, melanjutkan curhat-curhatan bukan lagi hanya melalui dunia maya, juga sudah di dunia nyata, seperti di kafe, restoran, bar dan tempat lainnya dengan pria lain.
Wanita yang semula sangat perhatian terhadap pasangannya, kini mulai memudar. Beberapa agenda keluarga mulai hilang. Misalnya, biasa setiap hari Minggu menyempatkan diri menemani pasangannya pergi ke gym, sekarang tak ada lagi. Dan ketika wanita ini keluar rumah, pasangannya sering tidak diberi tahu sedang berada di mana dia saat itu.
Di sini mulai berlaku hukum sebab dan akibat. Ada sebab, pasti ada akibat. Tak mungkin wanita itu berani berselingkuh, jika tak diawali suatu masalah. Mungkin saja, wanita itu tergolong orang yang takut berbicara secara terus terang kepada suaminya mengenai segala sesuatu dalam hubungan rumahtangga. Atau ia seorang wanita yang suka dipuji, tetapi karena suaminya sibuk, tidak memperoleh pujian itu dari suaminya. Mungkin pula sedang dalam fase “bosan,” karena kurang perhatian dari suaminya, atau sebab lainnya.
Perselingkuhan perasaan seperti ini, banyak ditemukan dalam kehidupan wanita yang bersuami, seperti halnya Nani (32 tahun), wanita cantik, karyawati perusahaan ternama di Jakarta. Sore itu, Nani bertemu dengan saya di kafe Carnation, hotel berbintang empat, di kawasan Jakarta Pusat (11/2009).
Menurut cerita Nani, dirinya sedang menunggu seorang pria di kafe itu, yang sebelumnya sudah janji di telepon untuk ketemu. “Apa dia suami Anda?” tanya saya. Dengan malu-malu Nani menjawab, “Bukan, ia sekedar teman.”
Lalu Nani bercerita tentang kehidupan rumahtangganya, bahwa ia sudah kawin dengan seorang duda yang mempunyai seorang putri. Dan kini, ia dengan suaminya juga sudah punya seorang putri.
Perkawinan Nani melalui proses pacaran, tetapi selama berpacaran itu, ia tidak tahu kalau pria itu sudah punya istri dan anak. Baru setelah mendekati hari perkawinannya, ia tahu bahwa calon suaminya itu sedang dalam proses cerai dengan istrinya.
Tapi, karena telah terlanjur cinta pada calon suaminya, hubungan tetap dilanjutkan. “Setelah ia cerai dengan istrinya, baru kami menikah,” tutur Nani. Lalu menambahkan, “Aku tidak memberitahukan kepada orangtuaku bahwa calon suamiku itu adalah duda yang baru cerai dengan istrinya. Kalau aku beritahu, pasti orangtuaku akan menyuruh aku memikirkannya lagi.”
“Kalau begitu kenapa Anda masih bikin janjian dengan pria lain?” tanya saya. “Ya sekadar curhat pak. Aku mengalami banyak masalah dalam rumahtanggaku. Suamiku yang dulu merupakan idolaku, kini mulai membosankan. Perhatiannya terhadapku mulai berkurang,” jawab Nani.
“Apa sudah kontak fisik dengan teman Anda?” tanya saya lagi. “Belum pak, baru sebatas telepon-teleponan, SMS-SMS-an dan saling curhat,” ujarnya lagi. Nani kemudian minta pamit pindah meja, karena pria yang ditunggunya sudah datang.
Bila tahap seperti Nani ini dibiarkan berlarut-larut, tanpa dicegah oleh pasangannya, maka tahap perselingkuhan bisa meningkat pada tahap ketiga.
Pada tahap ketiga ini, wanita itu mulai melakukan kontak fisik dengan pria lain. Dimulai dengan cumbu rayu, berlanjut check in di hotel, lalu diikuti berhubungan intim. Kalau sampai tahap ketiga, kedua pasangan harus bersiap-siap menghadapi malapetaka menimpa rumahtangganya, seperti terjadi percecokan, pertengkaran, bahkan bisa berlanjut dengan perceraian.
Ketika kami tanya kepada 100 wanita yang pernah berselingkuh, “Apa perselingkuhan Anda selalu berakhir dengan hubungan seks?” Jawaban yang diberikan berbeda, 39% wanita menjawab “tidak,” dan 61% menjawab “ya.”
Ketika kami tanya, “Apa alasan Anda berselingkuh? Jawaban dari 100 wanita tersebut juga berbeda-beda yakni: 25% menjawab karena kurang keintiman, dan kurang puas dalam hubungan seks dengan suaminya; 23% karena keadaan ekonomi; 17% karena kesepian; 14% kurang mendapat perhatian dan kemesraan dari suaminya; 9% karena bosan dan ingin mencari hal baru di luar rumah; 7% karena belas dendam terdap suami berselingkuh; dan 3% karena tidak mempunyai anak; kemudian 2% atau 2 wanita menjawab, berselingkuh karena terbiasa melakukan hubungan seks bebas.
***
Dalam berkomunikasi dengan PIL-nya (Pria Idaman Lain), wanita-wanita tersebut banyak menggunakan HP atau internet, dengan alasan lebih aman. Mereka menghindari memakai atau memberitahu PIL-nya telepon rumah, dengan alasan takut diketahui oleh suami.
Bahkan, menurut Yenny (31 tahun), wanita cantik yang bekerja di sebuah perusahaan BUMN, sejak ia mempunyai PIL, ia menjadi lebih protektif terhadap ponselnya. Alasannya, karena takut ketahuan suaminya. ”Kalau di rumah aku tidak bisa meletakan HP-ku sembarangan. HP disimpan dengan rapih di tas atau di lemari pribadiku,” ujarnya.
Wanita yang mempunyai PIL, umumnya selalu ingin tampil sempurna dan tampak cantik di hadapan orang yang sedang ia dekati atau untuk mendapatkan pujian dari orang lain. Misalnya, seperti dengan Hellen (41), pengusaha yang sedang menanjak namanya.
Ketika ketemu di kantornya pagi itu, dandanan Hellen biasa saja, sopan dan berwibawa. Tapi, sore harinya, ketika bertemu kembali dengan saya di kafe Cherry Blossom, sebuah kafe elit di sebuah gedung megah tingkat 35, kawasan Jakarta Selatan, dandanannya tampil sangat beda. Penampilannya sore itu, membuat saya sedikit pangling. Ketika itu, ia tampil mengenakan baju bermerk yang mempertunjukkan sex appeal yang menggairahkan.
“Apa tadi Anda sempat pulang berganti pakaian?” tanya saya, setelah dekat dengan Hellen. “Kenapa?” ujar Hellen balik bertanya. “Anda terlihat cantik sekali,” jawab saya.
Hellen lalu menjelaskan, “Di mobilku itu, selalu ada baju ganti. Jadi, kalau aku ada pertemuan dengan orang lain di luar kantor atau dengan PIL-ku, tidak susah bagiku berganti baju, tak perlu pulang ke rumah.”
“Apa suami Anda tahu?” tanya saya.
“Tahu, aku pernah menjelaskan kepada suamiku, bahwa pakaian yang di mobil adalah pakaian yang dipersiapkan kalau ada meeting mendadak di luar kantor. Sebab, aku pengusaha, suamiku tidak begitu curiga,” jawab Hellen yang terlihat masih awet muda.
Wanita punya PIL, dalam rumahtangga sering tidak fokus, baik terhadap suami maupun anak-anaknya. Bagaimana bisa fokus, jika pikirannya sudah terbagi dua. Satu pihak memikirkan PIL-nya, dan satu pihak memikirkan suami dan anak-anaknya. Perhatian terhadap suami dan anak-anaknya mulai berkurang. Bahkan, anaknya sering ditelantarkan, sudah dianggap beban baginya.
Herawati (37), wanita cantik karyawan sebuah perusahan swasta ternama di Jakarta bercerita, bahwa putrinya (4 tahun) tadi malam jatuh dan menderita luka, hanya gara-gara dia mendapat telepon dari PIL-nya.
“Ketika aku duduk di kursi ruang tamu bersama suamiku, putriku saat itu tiduran di pahaku. Tiba-tiba HP aku berdering, aku lihat dari PIL-ku. Karena takut ketahuan suami, aku langsung berdiri hendak masuk ke kamar, tanpa memperhatikan keadaan dan situasi sekelilingku. Akibatnya ya fatal, putriku yang tadinya tidur nyenyak di pahaku, jadi jatuh terbanting. Kepalanya membentur meja dan mengeluarkan darah, langsung dibawa oleh suamiku ke klinik praktik dokter 24 jam,” ujar Herawati enteng tanpa merasa bersalah.
Wanita yang mempunyai PIL, umumnya berpura-pura sibuk untuk menghindar dari pasangannya. Mereka jadi seperti punya banyak kegiatan, dan sering menghilang dari pasangannya dengan alasan sibuk. Dia mulai kehilangan waktu luang untuk bersama suami dan anak-anaknya, karena sebagian waktunya kini ia gunakan untuk bertemu dengan PIL-nya.
Judi, suami Elena (36 tahun) bercerita, “Semenjak istriku mendapat promosi jabatan di kantornya, aku jadi jarang ketemu dengannya, karena alasan sibuk di kantor. Di rumah pun demikian, selalu ada saja yang ia kerjakan. Waktunya untuk rumahtangga sudah sangat terbatas. Tidak ada waktu luang lagi untuk bersantai berdua atau bersama putra dan putri kami seperti dulu.”
Saya sempat menanyakan kepada Elena tentang keluhan suaminya, Elena dengan santai menjawab, “Itukan cuma alasan klasik pak, untuk bisa ketemu dengan PIL-ku,” tuturnya enteng.
***
Setiap hal yang buruk biasanya menagih, seperti seorang yang korupsi di kantornya. Sekali korupsi ia lakukan, dia kepingin mengulangi lagi. Begitu pula dengan “selingkuh,” juga bisa bikin ketagihan. Ketika ia berselingkuh pertama kalinya masih diliputi rasa waswas dan ketakutan, tapi bila tidak ketahuan oleh suami, ia cenderung ingin mengulangi lagi.
Bahkan ada wanita, meski sudah ketahuan oleh suaminya bahwa ia berselingkuh, kemudian ia pura-pura minta maaf. Setelah maafnya diterima oleh suami, dan rumahtangganya mulai tenang, di saat itu ia mencoba lagi untuk berselingkuh. Begitu seterusnya, tanpa wanita itu merasakan bagaimana sakit hati suaminya, ketika sang suami tahu atau mendapati orang disayanginya berselingkuh, seperti dialami oleh Aditya (42 tahun), seorang pria yang cukup ganteng, karyawan sebuah bank ternama di Jakarta.
Aditya bertemu dengan saya sore itu (12/2009) di kafe Dauglas kawasan Jakarta Barat. Ia bercerita, bahwa dirinya baru sebulan lalu cerai dengan istrinya Achie, karena Achie berselingkuh. Mendengar Adi bercerai dengan Achie, saya menjadi kaget dan tak percaya hal itu terjadi. Sebab, saya melihat hubungan mereka selama ini cukup mesra, tanpa banyak masalah.
Usia pernikahan Adi dan Achie (32 tahun) sudah lebih dari lima tahun. Dari perkawinan itu, mereka dikaruniai dua orang anak yang cantik dan lucu-lucu. Achie juga seorang wanita karier, dengan ijazah S1 yang dimilikinya, ia bekerja di salah satu perusahaan sebagai sekretaris direksi.
Adi bercerita: “hubungan kami selama lima tahun perkawinan, berlangsung biasa-biasa saja. Jarang bertengkar dan saling pengertian. Tapi belakangan ini, terlihat ada perubahan pada Achie, ia sering pulang telat, dengan alasan lembur. Dandanannya sudah mulai lain dari biasanya, dengan alasan ada meeting di luar kantor, dan ia perlu kelihatan lebih sempurna. Namun, sebagai seorang tamatan universitas luar negeri, aku tidak menghiraukan adanya perubahan pada istriku. Itu hak asasinya, tak perlu aku campuri.
Suatu hari, aku ditugaskan oleh perusahaanku untuk mengikuti seminar di sebuah hotel berbintang lima di Jakarta. Dan tugas seminar sehari itu tidak aku beritahukan kepada istriku.
Selesai seminar hari sudah malam, aku bersiap-siap dan bergegas pulang untuk menemui istriku tercinta, beserta anak-anakku tersayang di rumah. Ketika aku sampai depan lift, aku lihat ada lift yang berhenti di lantai 8 menuju ke bawah. Tak lama lagi, lift itu sampai dilantaiku menunggu, lantai 6.
Benar lift itu cukup patuh dengan tombol yang aku tekan, lift berhenti dan aku naik. Tapi baru melangkahkan kakiku ke dalam lift, aku mulai mencium suatu situasi yang tidak wajar. Alangkah kagetnya aku, dalam lift itu aku dapati istriku lagi berpegangan tangan mesra dengan seorang pria lain, yang juga hendak turun. Barangkali setelah check in dari hotel itu.
Aku lagi tidak emosi, aku berlagak tidak kenal dengan istriku sampai lift berada di lantai dasar. Tak ada keributan antara aku dan Achie di lift itu. Aku tidak mau mempermalukan Achie di depan pengunjung lainnya. “Ini persoalan keluarga, biar nanti di rumah diselesaikan,” pikirku. Namun, dalam mobil menuju pulang, aku yang sendirian mulai memikirkan istriku yang berselingkuh.
Sampai di rumah Achie menjelaskan kepadaku, bahwa pria tadi adalah bosnya di kantor. Achie juga memberikan berbagai alasan, lalu di akhiri dengan permohonan maaf. Namun, aku berhari-hari memikirkan mengapa sampai hati istriku berselingkuh. Aku mulai bertanya, apa yang salah dengan hubungan perkawinanku?
Setelah mencoba mencari jawaban yang rasional untuk menemukan ketenangan batin, maka pertanyaan yang muncul dan menghantui pikiran aku makin bertambah: Apakah aku harus memaafkannya? Apakah ia akan bisa setia lagi, kalau ia dimaafkan? Atau apakah ia akan berselingkuh lagi, kalau sudah dimaafkan? Dan bagaimana dengan nasib anak-anak kami yang masih kecil-kecil, bila kami bercerai?
Ketika itu masih ada rasa sayang terpendam di hatiku, walau rasa hati yang tercabik-cabik belum hilang. Antara perasaan yang masih ingin bersama istriku dengan rasa harga diriku yang tak ingin kembali pada istriku, selalu berkecamuk dalam hatiku.
Kemudian demi anak-anak, aku maafkan Achie. Namun aku makin hati-hati terhadap istriku, setiap saat aku perhatikan gerak-gerik dan tingkah lakunya. Aku makin banyak membaca buku tentang perkawinan dan rumahtangga. Aku paham sekali, memang tak mudah menghadapi pasangan yang pernah berselingkuh dari suaminya. Aku juga mengerti, bahwa aku bukan satu-satunya orang yang harus melewati ini sendirian, banyak suami di dunia mengalami hal yang sama.
Istriku memang tipe “player.” Kemungkinan setelah aku memaafkannya, ia kembali mengulang berselingkuh, masih ada. Tapi, aku tidak mau gegabah mengambil keputusan cerai.
Setiap hari aku perhatikan, tak ada rasa menyesal dari Achie terhadap perselingkuhan yang dilakukannya. Ia tak merasa bersalah atas perselingkuhan itu, ia selalu berdalih hubungan biasa antara bawahan dengan bosnya. Istriku tidak dapat memutuskan hubungan secara total dengan bosnya, karena setiap hari ia bertemu di kantornya.
Ia tidak menunjukkan apresiasi dan kesetiaan yang baru kepadaku. Ia makin tertutup, malah lebih banyak menghindar kalau diajak bicara, dengan alasan bosan untuk membicarakan masalah itu lagi.
Aku ingin berbaik dengan Achie, dan meningkatkan hubungan ke arah yang lebih baik. Tapi, Achie sendiri sudah menjaga jarak. Tak terlihat dari Achie adanya usaha memperbaiki hubungan denganku. Buktinya, ketika hubungan kami renggang diketahui ibunya, malah dia marah-marah padaku. Ia kira aku yang mengadu kepada ibunya. Padahal, yang bercerita tentang rumah tangga kami itu kepada ibunya, adalah adiknya sendiri, yang sering datang ke rumah.
Tidak itu saja, berbulan-bulan aku perhatikan istriku, tampaknya tak ada perubahan. Ia makin sering bekerja lembur dan pulang telat. Sering tiba-tiba ia harus bepergian tanpa mengikutsertakan aku. Sering ia menghabiskan waktu melakukan kegiatan yang ia senangi, tanpa adanya aku. Sering ada telepon-telepon misterius untuk istriku, yang tiba-tiba ditutup. Aku sendiri menemukan hal-hal yang tak bisa dimengerti, seperti nota penginapan atau nota hadiah yang bukan untuk aku atau orang yang dikenal. Keintiman kami menurun, dan istriku lebih mudah marah dan merasa tersinggung.
Suatu sore, aku menelepon istriku melalui HP-nya, ternyata HP-nya tidak aktif. Aku telepon ke kantornya, mendapat jawaban bahwa Achie tidak di kantor, dia lagi meeting dengan bosnya di luar kantor.
Sekitar pukul 23.00 (malam) Achie baru sampai di rumah, aku tanya, “Kamu dari mana?” malah dia marah-marah, dengan mulutnya berbau alkohol.
Aku mulai diam, tapi sejak itulah dalam rumah tangga kami terjadi perang dingin selama hampir enam bulan, dan berakhir dengan rasa pahit mendalam. Sebulan yang lalu di pengadilan agama, kami resmi cerai, tutur Adi mengakhiri ceritanya.SELANJUTNYA DAPAT DIBACA PADA BUKU: "WANITA-WANITA SELINGKUH", YANG DAPAT DIPEROLEH DI TOKO-TOKO BUKU GUNUNG AGUNG 7 GRAMEDIA*******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar