Diperkosa Sopir Mobil Omprengan
Pemerkosaan sesungguhnya meliputi dua jenis kejahatan yang berbeda, yakni: “kejahatan nafsu berahi” dan “kejahatan dengan kekerasan, dan seks dijadikan senjatanya”.
Pemerkosaan tidak semata-mata disebabkan oleh dorongan nafsu berahi yang tidak terkontrol. Tapi, para ahli juga menilai bahwa banyak perkosaan terjadi, justru karena nafsu untuk menghina, untuk membalas dendam, atau untuk merasa “berhasrat” dan superior. Disini, rangsangan nafsu berahi justru tergantung pada perilaku kekerasan yang menyertainya.
Pemerkosaan bukan merupakan hal baru di jaman ini, masalah ini telah eksis dan akan terus eksis jika tidak dihadapi dan diselesaikan secara tuntas.
Bila kita pernah bergaul dengan wanita-wanita yang pernah menjadi korban kekerasan seksual atau pemerkosaan, niscaya kita dapat melihat dengan jelas betapa dampak-dampak merusak dari pengalaman buruk mereka itu, telah mempengaruhi seluruh aspek kehidupan mereka.
Sebagai contoh, dibawah ini saya ceritakan kembali hasil rekaman wawancara kami dengan salah seorang cewek gaul, ketika dia menjadi korban pemerkosaan.
***
Pada suatu sore (10/2008), saya dan teman-teman: Bambang, Eka, Chenny dan Anca, bertemu dengan Linda di salon Rose Hips di kawasan Jakarta Utara. “Erlinda”, dengan nama panggilan “Linda”, seorang cewek cantik dan lumayan manis, berusia 17 jalan 18 tahun, masih bersekolah di salah satu SLTA di Jakarta, dan bekerja di salon itu seusai sekolah sampai malam.
Linda bercerita, Aku sejak berusia 16 tahun sudah tidak perawan lagi, aku diperkosa oleh orang yang tidak aku kenal. Ketika itu aku dari Jawa datang ke Jakarta untuk menemui orangtuaku. Aku dan nenek naik bus, turun di terminal Pulo Gadung, hari sudah malam. Bus kota yang menuju kearah rumah orangtuaku di Tanjung Priok sudah tidak ada.
Tiba-tiba datang mobil omprengan, keneknya turun menghampiri aku dengan nenek, dan menanyakan kami mau kemana. Setelah di jawab nenek, mau ke Tanjung Priok, kami dipersilahkan naik. Mulanya nenek ragu, tapi sopir mobil omprengan itu berjanji kepada nenek, bahwa ia akan mengantar kami sampai ke rumah orangtuaku.
Dengan sedikit curiga, aku dan nenek naik mobil omprengan itu. Dikala mobil sudah jalan, hanya aku dengan nenek penumpangnya.
Mobil melaju dengan kencang, ke luar dari terminal Pulo Gadung, di perapatan Cempaka Putih belok kanan, terus melaju, dan kira-kira dua puluh menit jalan, tiba-tiba mobil itu berhenti. Kata sopirnya, “Mobil itu panas, dan perlu air untuk mengisi rediatornya”.
Tempat itu cukup sepi, tempat penjual bunga dan tanaman di pinggir jalan. Lama sopir dan kenek itu terlihat berbisik-bisik berunding, lalu sopir itu mengajak aku turun setengah paksa. Katanya, “Mencari air, sekalian beli minuman”. Sedangkan nenek tetap berada di mobil bersama kenek. Dilarang turun, dipegangi dan ditakut-takuti oleh kenek.
Ketika sampai di gubuk penjual tanaman, sopir itu berhenti, secara paksa ia melepas celana dalamku, aku berteriak, mulutku dibekapnya. Aku melawan, tapi aku diancam akan dibunuh, sembari sopir itu memegang batang leherku.
Aku benar-benar tidak berdaya, sopir itu seperti kesetanan, tanpa merasa iba dan kasihan mendengar rintihan kesakitanku. Darah keluar dari vaginaku tak ia pedulikan, setelah ia puas, ia biarkan aku tergeletak disana, lalu ia pergi.
Nenek diturunkan pula di tempat itu, dan nenek berhasil menemui aku. Nenek menangis, aku sudah lama menangis. Nenek membersihkan tubuhku, merapikan pakaianku, lalu kami tinggalkan tempat neraka itu dengan jalan kaki tanpa tujuan di malam naas itu.
Kami masih punya uang, karena sopir dan kenek itu tidak mengambil satupun barang-barang bawaan kami, kecuali keperawananku secara paksa. Dalam kesusahan itu, kami pun masih sempat bersyukur, karena barang-barang dan uang kami masih utuh.
Baru setelah pagi datang, nenek tahu arah dimana kami berada. Aku sendiri tak dapat membantu nenek, karena aku baru kali ini datang ke Jakarta. Nenek memberhentikan sebuah bajai, dan nenek memperlihatkan catatan alamat orangtuaku, dengan membayar Rp. 10 ribu, sopir bajai itu mengantar kami sampai gang masuk rumah orangtuaku.
Sebelum aku sampai di rumah orangtuaku, nenek berpesan kepadaku, jangan menceritakan musibah yang sudah menimpaku kepada ibu dan bapakku. “Jangan menambah kesusahan orangtuamu, dengan cerita-cerita yang menambah beban pikirannya”, nasihat nenek. Dan nasihat nenek itu aku pegang teguh, sampai waktu yang tepat untuk memberitahukan kepada kedua orangtuaku.
Setelah peristiwa itu, seusai sekolah di kawasan Tanjung Priok, hampir setiap hari sampai jauh malam aku berada di terminal bus Pulo Gadung, untuk membekuk sendiri mobil omprengan itu. Baru setelah ibuku menasihati, jangan sering malam-malam berada di terminal itu, dengan alasan banyak wanita tunasusila dan orang mabuk, baru aku menghentikan usahaku untuk membekuk sopir durjana itu. Namun dedamku kepada sopir itu tak kunjung padam, setiap sesusai shalat, aku selalu berdoa kepada Tuhan, agar sopir itu mendapat balasan yang setimpal dan dilaknatNya.
SELENGKAPNYA DAPAT DIBACA PADA BUKU: CEWEK-CEWEK GAUL SEKOLAHAN, dan bisa didapat di Toko Buku Gunung Agung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar