Hubungan suami istri terkesan ideal dengan memiliki rumah, kendaraan, anak yang lucu, serta pekerjaan tetap. Tapi, kenyataan di dalam hubungan tersebut terkesan kosong atau hampa. Sebab, yang paling dibutuhkan oleh perempuan yakni keintiman tak kunjung terpenuhi.
Walau beban pekerjaan kian lama semakin menumpuk, termasuk beban mengurus anak dan rumahtangga, yang membuat tubuh istri menjadi lelah, tapi soal keintiman tetap menjadi pilihan utamanya. Pada dasarnya, istri tetap mendambakan dirinya selalu diinginkan oleh pasangannya. Selalu ingin intim dan mendapat kepuasan, ketika berhubungan intim dengan suaminya.
Rutinitas pekerjaan sering dijadikan sang suami sebagai alasan untuk tidak bisa berduaan dengan pasangannya. Akibatnya, pasangannya merasa hubungan mereka sudah tidak intim lagi. Padahal, keintiman tidak selalu diwujudkan dalam bentuk hubungan seksual, tetapi cukup dengan tindakan kecil yang penuh kasih sayang. Misalnya, seperti mengelus kepala, mencium, merangkul, mengobrol santai, dan hal-hal lain yang diinginkan oleh perempuan.
Menyisihkan waktu bersama yang cukup, merupakan kunci untuk menjaga keintiman. Walau demikian, faktor hubungan seksual sangat berpengaruh dalam menjaga keintiman. Bahkan, kalau faktor ini diabaikan, dapat memicu kecenderungan wanita melakukan perselingkuhan setelah menikah.
Kini, bukan saatnya lagi pasangan pria mendominasi sebuah "permainan" seks di ranjang. Tapi, wanita juga menginginkan kepuasan ketika mereka berhubungan seksual dengan pasangannya. Kalau ketidakpuasan sampai terjadi dan dibiarkan berlarut-larut, niscaya akan memunculkan tipe “wanita tidak puas.”
Dewasa ini, makin banyak muncul tipe “wanita tidak puas” dalam rumahtangga. Makin banyak saja wanita menikah yang tidak puas dalam hubungan seksual dengan suaminya. Penyebabnya, suami kurang mesra dalam bercinta atau tidak memperdulikan istri, sering dituduh menjadi biang keladinya. Istri dapat juga menjadi tertuduh, dengan alasan ia tidak berpengalaman, kurang memperoleh pendidikan seks sebelum menikah. Atau mungkin memang istri itu seorang hiperseks.
Bahkan, keduanya dapat dipersalahkan, dengan alasan kurang ada keterbukaan antara suami dan istri dalam hubungan seks. Akibatnya, banyak melahirkan wanita tidak puas, resah dan gelisah dalam kehidupan seks mereka.
Ada di antara wanita, sesungguhnya bukan tidak puas karena “ketiadaan hidup seksual.” Tapi, justru karena mereka tidak menemukan kepuasan dalam “kehidupan seksual” itu. Wanita tipe ini tidak sulit dijumpai, ia dapat ditemukan dalam semua lapisan dan lingkungan masyarakat.
Wanita-wanita yang tidak puas di bidang erotik ini, sering menyolok mata. Misalnya, dari gerak-gerik, tingkah laku, cara-cara dan kegiatannya, nampak terlalu aktif dalam kehidupan seksual, memberi indikasi bahwa ia seorang wanita yang tidak puas.
Energinya yang berlebihan, mencoba mencari kompensasi di luar rumah. Sering pula tanpa disadari, bahwa perbuatannya itu merupakan suatu kesalahan tersembunyi dalam kehidupan perkawinan yang mesra.
Kalau seorang wanita tidak puas karena masalah lain dalam rumahtangga, tak banyak mengganggu kesehatannya. Tapi, tidak puas dalam hubungan seks, bisa menjadi masalah besar dalam rumahtangga. Bahkan, bisa merusak kesehatan badan dan jiwanya. Pasalnya, hubungan seks yang tak sempurna, dapat menyebabkan ketegangan yang berlebihan, mudah tersinggung, seperti yang terjadi pada “wanita histeris.”
Gejala ini sudah dikenal oleh dokter sejak zaman dulu sampai sekarang. Sebab, perkataan histeris berasal dari kata “hysteria,” yang dalam istilah kedokteran artinya “Rahim.” Misalnya, “histerektomi” yang berarti (dalam istilah kedokteran) “operasi pengangkatan rahim.” Tapi dalam KBBI kata “histeris” juga dipadankan (dalam istilah psikilogis) “gangguan pada gerak-gerik jiwa dan rasa dengan gejala luapan emosi yang sering tidak terkendali seperti tiba-tiba berteriak, menangis, tertawa, mati rasa, lumpuh dan berjalan dalam keadaan sedang tidur”.
Selain itu, masih banyak akibat yang lebih buruk dari ketidak puasan seksual tersebut, di antaranya terdapat rasa kurang keharmonisan dalam rumahtangga. Pada akhirnya sang istri merasa diperlakukan kejam oleh suaminya yang egois dalam persoalan hubungan seks. Hanya mau mengajak istrinya berhubungan seks selagi ia mau, sesuai dengan seleranya, tanpa ia memperhatikan istrinya orgasme atau tidak. Kalau ia selesai, ya berakhirlah persebadanannya.
Ada pula suami berlaku seperti “Ayam Jago,” tanpa suatu proses pemanasan lebih dulu. Ia dengan garang dan kejam melompati istrinya seperti ayam jago bertindak kepada ayam betina. Tipe pria seperti ini, tidak kurang pula jumlahnya. Dengan cara seperti itu, sang suami hanya memuaskan dirinya sendiri dengan mempergunakan tubuh istrinya. Hal ini merupakan cara yang keliru dalam sebuah perkawinan.
Bahkan sering kali terjadi, walau kenyataannya sang istri tidak puas, sang suami selesai berhubungan intim, lalu tidur pulas membelakangi istrinya. Betapa istrinya tidak menghendaki perlakuan seperti itu.
Wanita manapun tak dapat menerima sikap seperti itu. Sebab, di saat sang suami tidur mendengkur pulas di sampingnya, istri tak dapat memicingkan matanya. Istri tidak puas, merasa sakit hati, dan sangat direndahkan. Dengan cara seperti itu, ia merasa seakan-akan menjadi budak seks suaminya. Ia hanya menjadi sasaran pelepasan nafsu birahi belaka. Sang istri mulai merasa jijik terhadap hubungan seks itu, karena apa yang diidam-idamkannya tidak tercapai. Ia benci dengan kegiatan seks bersama suaminya yang egois.
Ketidakpuasan istri dalam hubungan seks, akan mengakibatkan dua kemungkin. Pertama, karena istri tidak puas, ia tidak mau lagi bersusah-payah. Hubungan seks dilakukan sebagai suatu kewajiban terhadap suami. Untuk melepaskan diri dari rasa benci dan malu, ia menekan perasaannya sendiri, akhirnya coitus itu tidak lagi bisa menyentuhnya. Ia tidak lagi mampu menciptakan perasaan-perasaan yang lebih hangat. Dalam setiap bersetubuh ia tetap tinggal dingin, dan pasrah. Ia hanya sekedar menunaikan kewajibannya sebagai istri, kehangatan itu sudah ia kesampingkan. Tidak saja ketika berada di tempat tidur bersama suami, juga tanpa ia sadari terbawa dalam kehidupan rumahtangga dan pergaulan sehari-hari di masyarakat.
Kemungkinan kedua, ketidakpuasan istri dalam hubungan seks dengan suami, merupakan salah satu alasan bagi wanita-wanita berselingkuh mencari kepuasan di luar rumah. Mereka melakukan hubungan seks dengan PIL-nya, dengan gigolo, lesbi, atau anak-anak muda, seperti “brondong.”
***
Banyak cerita menarik tentang wanita-wanita tidak puas, salah satunya yakni cerita Yulia, yang katanya selalu mendapat “rezeki nomplok”.
Yulia (37 tahun), wanita cantik yang saya temui di kafe Gerbera di hotel berbintang lima, di kawasan Jakarta Pusat. Malam itu (11/2009) ia terlihat sedang menghadapi masalah dalam rumah tangganya. Ia banyak minum minuman beralkohol berkadar tinggi. Namun demikian, malam itu ia tampak tampil cantik secara alamiah. Daya tariknya (sex appeal) yang menonjol, kulit kuning langsat, bertubuh atletis serta dengan wajahnya yang klasik, ia tetap merupakan wanita yang sedap dipandang dan menggoncangkan pikiran banyak pria.
Ketika saya datang, ia menyambut saya dengan acuh tak acuh. Tapi, ia persilahkan juga saya duduk semeja dengannya.
Lalu saya tanya, “Kenapa Anda terlihat tidak senang dengan
kedatangan saya?”
“Bukan begitu, sebelum bapak datang aku telah keburu mabuk,”
jawabnya.
“Jadi apa yang bisa saya lakukan?”
“Ya bapak temani saya minum, dan kalau nanti aku mabuk berat,
bapak yang menggotongku pulang ke rumah,” ujarnya sedikit
bermanja diri.
Sambil menikmati hidangan yang ada di atas meja, Yulia bercerita: Ketika usiaku mencapai 33 tahun, bosku yang sudah duda, berusia 62 tahun tiba-tiba memanggilku ke ruangan kerjanya. Tanpa basa basi, dan tanya dulu, apa aku sudah punya pacar atau belum, dia menyampaikan maksudnya padaku, memintaku sebagi istrinya. Pengganti istrinya yang meninggal setahun lalu, tapi tidak punya anak.
Aku tidak bisa menjawab permintaan bosku itu. Walau berkali-kali didesaknya, tapi aku tetap diam, bungkam dan lidahku terasa kelu untuk menjawabnya.
Saat aku mau pamit keluar ruangannya, bosku bilang, “Dalam perkawinan zaman dulu, kalau seorang anak gadis ditanya orangtuanya, dia setuju atau tidak kawin dengan si A. Meski gadis itu diam, tapi orangtuanya tetap saja melangsungkan perkawinan anak gadisnya. Pada zaman dulu ada anggapan, bila si gadis ditanya hal-hal yang berhubungan dengan pribadinya, dan bereaksi “diam,” berarti ia “setuju.” Dalam persoalan perkawinan, kalau gadis itu diam, berarti mau,” tutur bosku dengan wibawa seorang bapak.
Seperti kebiasaanku selama ini, setiap ada hal-hal yang berurusan dengan pribadiku, selalu aku sampaikan pada ibuku. Begitu pula halnya dengan permintaan bosku tadi di kantor, juga aku ceritakan pada ibuku tatkala aku sampai di rumah.
Setelah mendengar ceritaku, ibuku biasanya juga bercerita pada bapakku. Meski bapakku sudah lama pensiun, tetapi dia masih saja mempergunakan arus informasi yang bertingkat. Dari bawahan ke atasannya, setelah melewati berbagai atasan, baru sampai padanya. Informasi yang tersering, disertai dengan saran dan solusinya.
Begitu pula arus informasi yang sampai pada bapakku, dari anak ke ibu, baru setelah disaring ibuku, berikut saran solusinya, informasi itu disampaikan ke bapakku. Sehingga dengan cara demikian, bapakku merasa tidak terganggu dengan hal-hal lain yang kurang penting, dibandingkan dengan masalah keutuhan keluarga, ekonomi keluarga dan kesejahteraan keluarga.
Kalau informasi disampaikan langsung, di luar arus informasi itu, bisa aku dianggapnya lancang. Atau bapak bertanya, “Apa ibumu sudah diberitahu? Namun demikian, kedua orangtuaku sangat sayang padaku. Apalagi aku anak tunggal yang selalu dimanja.
Ketika selesai makan malam beberapa bulan setelah kejadian itu, aku ditanya oleh bapakku, “Bagaimana hubungan kamu dengan bosmu di kantor, apa baik-baik saja? Apa ada hal-hal yang luar biasa? Seandainya kamu tidak betah lagi kerja di sana, nanti bapak akan carikan kerja di tempat lain!” Dan ibuku menambahkan, “Bos kamu itu duda tanpa anak ya. Kasihan juga kalau dia tinggal sendiri. Apa menurut kamu tak ada wanita yang tepat untuknya?” Mendengar perkataan ibuku, bapakku diam tanpa komentar.
Malam itu, aku tidak mengerti arah pembicaraan kedua orangtuaku, hingga hal ini menjadi buah pikiranku sampai ke kantor. Di kantor sering aku bingung atau ketawa sendiri. Bahkan, sering aku berkhayal tentang kemegahan dan kemewahan, kalau aku bersedia kawin dengan si bos.
Aku benar-benar dihadapkan pada satu dilemma, atau dua pilihan yang memojokkan. Satu pihak, kalau aku kawin dengan pacarku, dia baru tiga tahun kerja, belum punya apa-apa. Untuk mencapai kebahagiaan entah kapan, terutama dalam soal materi, akan memerlukan perjuangan panjang. Bahkan, kami bisa menjadi benalu bagi kedua orangtuaku untuk waktu lama. Kalau begitu, kasihan bapakku yang berusia lanjut, masih dibebankan oleh hal-hal yang menjadi pilihan kami sendiri dan menjadi tanggung jawab kami setelah berumahtangga.
Di lain pihak, kalau aku kawin dengan bosku, dari segi materi aku akan cepat mendapatkan kebahagiaan, malah tak perlu lagi perjuangan. Semua ada, dan sudah di hadapan mata. Tapi, bagaimana dengan cintaku kepada pacarku yang sudah lama terbina Apa perlu diakhiri dengan pengkhianatan? Hal ini juga menjadi buah pikiranku. Atau bagaimana anggapan dari teman-temanku? Sudah pasti, mereka akan menuduhku sebagai “cewek matre” atau “gadis mata duitan yang tak tahu diuntung.”
Setelah pembicaraan pertama dengan bosku di ruang kerjanya dulu, bosku tidak pernah lagi menyinggung soal perkawinan denganku. Hanya ibu yang sering menanyakan tentang hubunganku dengan bosku. Kadang-kadang untuk menyenangkan hati ibu, aku bercerita yang baik-baik tentang bosku. Bahkan, sekali-kali aku bercerita dengan memuji-muji bosku.
Hal seperti ini berlangsung lama, tanpa mendapat kesan yang berarti dari ibu (61) dan bapakku (68). Tapi, sebagai anak tunggal, aku tak luput dari perhatiannya. Tidak sekalipun kedua orangtuaku memaksakan kehendaknya kepadaku. Dan aku pun amat sayang kepada mereka berdua.
Di kantorku sudah berkembang desas-desus, bahwa bosku yang duda kaya tanpa anak itu, sedang mencari jodoh serius. Hal itu pun kemudian makin menambah beban pikiranku juga. Setiap karyawati yang masuk ke ruangan bos, aku selalu curiga, pasti bos akan melamar cewek itu seperti aku dulu. Begitu pula kalau ada tamu wanita yang datang menemui bosku, aku juga mencurigainya. Apalagi kalau ada di antara teman-temanku berkomentar dan bergosip, bahwa tamu bos itu cantik dan sebagainya, aku mulai cemburu. Situasiku benar-benar tidak menguntungkan, dan hal ini tidak aku ceritakan kepada ibuku, aku simpan dan kutelan sendiri.
Setahun berlalu, gosip itu terus berkembang di kantorku, tapi belum ada tanda-tanda dari bosku untuk menikah lagi. Aku juga mulai bosan bekerja di perusahaan bosku itu.
Suatu malam, setelah makan malam, dengan didampingi ibu, aku utarakan kepada bapakku bahwa aku ingin pindah kerja. Bapakku tak banyak komentar, dia hanya memberi nasehat, “Ya kalau tidak betah lagi bekerja di sana, pindah ke tempat lain. Hal itu sudah wajar, hanya harus secara baik-baik. Ajukan permohonan berhenti, supaya surat keterangan kerjanya bisa digunakan di tempat lain.”
Atas nasehat bapakku, besoknya aku mengajukan surat pengunduran diri dari perusahaan bosku. Dengan berbasa-basi, disertai ucapan maaf aku menyampaikan surat pengunduran diriku langsung kepada bosku, yang kebetulan lagi sendiri di ruangan kerjanya.
Setelah membaca surat pengunduran diriku, bosku tidak banyak komentar, hanya menitipkan pesan kepada bapakku. “Tolong tanyakan kepada bapakmu, kapan mereka ada di rumah dan bisa menerimaku,” ujarnya.
Malamnya, pada saat masih berada di meja makan, seusai makan malam, aku bercerita bagaimana aku mengajukan surat pengunduran diri, sekaligus aku sampaikan pesan bosku kepada kedua orangtuaku. Bapak diam, ia melirik ibuku. Dan ibuku sedikit memberi tanggapan, lalu berkata, “Soal waktu, itu urusan bapakmu, nak.” Mendengar perkataan ibu, bapak menitipkan pesan balik padaku, “Katakan kepadanya kapan dia tidak sibuk, boleh datang ke rumah dan bapak tunggu.”
Esoknya, hal ini aku sampaikan kembali kepada bosku, dan bosku berkata, “Tolong sampaikan kepada bapakmu, hari Minggu depan aku ingin bertamu beserta teman-teman. Sekalian ikut makan siang bersama bapakmu,” ujarnya. Lalu, ketika makan malam, pesan bosku itu aku sampaikan kembali kepada bapakku. Dan kedua orangtuaku setuju.
Sekarang aku menjadi kerepotan, sedangkan kedua orangtuaku santai-santai saja. Maklumlah bos yang mau datang, sejak Sabtu pagi, aku sibuk mempersiapkan keadaan rumahku supaya terlihat rapi. Aku kerahkan kelima pembantuku, mulai dari tukang kebon sampai koki untuk membersihkan dan merapikan rumah, taman, halaman bahkan sampai ke kolam-kolam.
Malamnya, aku sendiri turun tangan ke dapur, memasak makanan yang akan dihidangkan besok siang, agar jangan sampai memalukan. Teman-temanku juga banyak membantu, begitu juga dengan tetangga. Memang sudah kebiasaan keluargaku, kalau ada tamu yang mau datang, hidangannya kami persiapkan sendiri, bukan dibeli di restoran. Hal ini merupakan kebiasaan ibuku dari dulu.
Menjelang makan siang, bosku datang bersama teman-teman dan saudara-saudaranya. Cukup banyak, berjumlah 12 orang, pria dan wanita. Mereka semua menikmati hidangan yang kami sediakan dengan lahapnya, semuanya hampir tak tersisa.
Selesai makan, bosku bercanda dengan bapakku, “Pak, rupanya Yulia pintar masak, bisa membuatku betah makan di sini?” Bapakku menjawab dengan santai, “Itu semua tergantung Yulia, kalau dia mau, bisa masak yang enak. Tapi kalau dia tak mau, jangankan masak yang enak, merebus air saja tak bisa.”
Canda itu berkelanjutan, dengan diselingi gelak tawa, yang kadang membuat kupingku panas, sekaligus membuat aku tersipu-sipu malu. Aku jadi serba salah, berada di tempat mereka. Aku menjadi sasaran tembak candaan. Tapi, kalau aku keluar dari tempat mereka, nanti dikira tidak sopan. Akhirnya, aku tetap memutuskan, bahwa aku tetap berada pada tempat semula, sampai tamu-tamu itu pulang, walau apa pun yang terjadi, terjadilah.
Bosku berada di rumahku sampai sore, bapakku mengajaknya berkeliling rumah dengan halaman yang luas, dan tanaman tertata rapi serta asri. Meski aku tak diajak bapak, tapi aku merasa bertanggung jawab terhadap tamuku. Aku juga ikut menemani mereka berkeliling. Hanya sedikit menjaga jarak, memberi kesempatan kepada bapakku memperlihatkan dan menjelaskan hasil karyanya.
Bapakku tipe orang yang cepat akrab dengan tamu, tanpa memandang asal usulnya, kaya atau miskin tak ada bedanya. Begitu pula bapak memperlakukan tamuku. Menurut sepengetahuanku, meski baru pertama kali bertemu dengan bosku, bapak sudah terlihat akrab. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh bosku, yang selalu memberi hormat kepada bapakku, ketika memulai pembicaraan.
Kami tidak mempunyai kolam renang pribadi, karena menurut bapakku kolam renang pribadi atau keluarga itu tidak produktif. Buang-buang biaya percuma, menjadi sumber pemborosan, dan lambang bagi orang-orang yang pongah serta pamer kekayan. Tapi, tidak berarti bapakku anti terhadap kolam renang, di lingkungan real estate perusahaan bapakku. Dia membangun kolam renang yang megah lengkap dengan berbagai fasilitas yang menyenangkan, dan disewakan untuk umum.
Di rumah, bapakku juga membikin kolam, tapi bukan kolam renang, melainkan kolam ikan, yang ditaburi dengan berbagai macam benih ikan. Dalam mengisi hari tuanya, selain sebagai pemilik dan komisaris berbagai perusahaan, bapakku senang memelihara ikan.
Di pinggir kolam itu, bapak membuat rumah pemancingan yang lengkap. Rumah kecil bergaya Eropa yang antik, dengan berandanya terbuka sampai ke kolam. Di ruangan dalam tersedia tempat istirahat, kamar tidur terbuka, ada ruang tamu dengan bangku-bangku antik yang terpasang sampai ke beranda, ada gudang penyimpanan perlengkapan pancing, ruangan ibadah, kamar mandi/WC dan dilengkapi pula dengan bar kecil yang selalu menyimpan minuman dingin beserta makanan kering. Beranda, juga berfungsi sebagai pelataran pancing. Dan di pelataran pemancingan inilah, bapak dan ibuku santai, bermain dan berlomba memancing ikan, setelah dapat dilepaskan kembali.
Ketika berada di pinggir kolam ikan tersebut, bapakku menghentikan langkahnya. Bapak mengajak bosku mampir dan duduk sejenak, karena sudah merasa capek berjalan. Maklumlah usia bapakku sudah tua, tidak sekuat masa muda lagi.
Ketika santai bicara dengan bapakku, bosku mengajakku duduk mendekat. Sebab, sejak tadi aku memang menjauh dari mereka, agar tak mendengar apa pun pembicaraan mereka. Merupakan kebiasaan dalam keluargaku, anak gadis tak baik menguping pembicaraan orangtuanya dengan orangtua yang lainnya.
Setelah aku mendekat, bosku mulai bicara, “Begini Yulia, dulu aku pernah melamarmu, tapi tidak ada yang menyaksikan. Sekarang di hadapan bapakmu, aku ulangi lagi lamaranku. Apa kamu dapat menerimanya atau tidak? Jika kamu menerima, sebelum aku pulang, pinanganku ini akan aku umumkan secara resmi pada saudara-saudaraku yang ikut datang, sekaligus mohon persetujuan dari bapak dan ibu serta saudaramu.”
Aku tak menyangka bosku akan bicara soal itu, yang aku duga mungkin soal surat pengunduran diriku. Tapi mendengar hal yang tiba-tiba seperti itu, membuat aku menjadi kelabakan, mukaku pucat pasi, aku gugup, tak bisa menjawab, kecuali berkata kepada bapakku, “Terserah bapak sajalah.”
Setelah berkata demikian, lalu aku berlari seperti anak kecil menuju ke rumahku. Menemui ibu di kamar, kemudian dipangkuannya aku menjadi menangis tersedu sedan. Tapi tangisku cukup punya arti, bukan tangis karena aku sedih, tetapi tangis kerena luapan kegembiraan. Aku benar-benar merasa dilamar bosku, dan sekaligus aku merasa memperoleh kemenangan, dapat menyisihkan puluhan bahkan ratusan wanita menjadi pesaingku, yang selama ini sering menemui bosku.
Singkat cerita aku menikah dengan bosku, dalam suatu pesta yang meriah. Banyak teman bapakku yang datang, begitu pula teman-teman bosku. Dan tentu teman-temanku tak ketinggalan, semua mengucapkan selamat, serta menganggapku memperoleh rezeki nomplok.
Setelah pesta usai, dari tumpukan kado dan kartu ucapan yang aku buka, dalam salah satu amplop aku temukan ucapan selamat dari teman suamiku. Ada satu hal yang menarik aku baca, sehinga menjadi buah pikiranku.
Amplop dan ucapan itu tidak aku perlihatkan kepada suamiku. Sebab, urusan kado-kado itu sudah dipercayakan kepadaku. Dan ucapan selamat itu cukup panjang serta diketik rapi. Ucapan itu, agaknya dari teman suamiku yang paling akrab dari dulu sampai sekarang. Setelah sama-sama pensiun dan menjadi pengusaha, mereka tetap akrab.
Isinya antara lain, dalam kata pembukaan, “Selamat ya Helmi. Selamat untuk kalian berdua. Semoga bahagia.” Setelah itu, dilanjutkan kata penutup, “Ketika kalah bersaing memperebutkan ibunya, kau mengeluh kepadaku. Kini, kau tak akan mengeluh lagi kepadaku. Sebab, kini kau berhasil mempersunting putri tunggalnya. Jangan lupa bikin anak banyak seperti aku. Terima kasih, engkau telah memberi kesempatan kepada kami, agar bisa mengembalikan guyonmu dan ucapan selamatmu, ketika kami menikah dulu. Selamat Helmi, semoga kalian berbahagia.”
Walau aku tamatan salah satu universitas ternama di Eropa, tapi dalam soal perkawinan dan canda tersebut aku amat buta. Tidak ada mata pelajaranku yang mengungkapkan hal demikian. Aku boleh dikatakan jago dalam urusan bisnis, tapi urusan perkawinan dan ucapan guyon seperti itu, aku tidak mengerti.
Aku menjadi meraba-raba tentang apa arti ucapan selamat itu. Begitu pula tentang apa sebenarnya yang terjadi dengan perkawinanku. Aku tidak pernah mendengar cerita, gosip dan desas desus tentang ibuku dengan bosku selama ini.. Bapakku juga tidak pernah bercerita tentang bosku. Apa mereka sebelumnya sudah kenal atau tidak, aku memang tidak tahu. Setahuku, bosku baru sekali itu datang ke rumah, ketika ia melamarku. Lain dari itu, belum pernah aku lihat. Hanya teman-teman bapak lainnya, yang sering datang dalam berbagai urusan, di antaranya urusan perusahaan atau sekedar numpang mancing.
Aku tidak berani menanyakan hal itu kepada ibu, aku takut ibu tersinggung. Aku tidak mau menyakiti hati ibu, apalagi usianya sudah tua, tak perlu lagi dinista cerita masa lalunya. Begitu pula dengan bapak, aku makin tidak berani menanyakan soal itu, karena di mataku dan di hatiku tidak ada orang yang lebih baik dari bapak. Bapak tak pernah cacat, tidak pernah berselingkuh dan sangat perhatian kepada ibu, dan “bapak sudah merupakan orang suci bagiku.”
Atau aku tanyakan langsung kepada suamiku tentang hal ucapan selamat itu. Pertama, memang terlintas dari ingatanku untuk berbuat demikian, tetapi kemudian aku urungkan niatku itu. Sebab, aku khawatir rumahtanggaku jadi berantakan, dan ujungnya akan bermuara pada ibuku. Akhir semua niatku menanyakan kepada yang terkait aku batalkan. Ucapan selamat teman akrab suamiku itu, aku simpan sebagai kado perkawinanku yang penuh misteri.
Ketika akan menikah, aku sudah berterus terang dengan Helmi, calon suamiku. Bahkan, aku memintanya agar mempertimbangkan kembali pinangnya kepadaku, terutama mengenai soal keperawananku. Aku mengaku kepadanya secara terus-terang, bahwa diriku tidak perawan lagi dan sering bergonta-ganti pacar, putus–nyambung–putus-nyambung. Dan itulah yang membuat aku menjadi telat kawin.
Calon suamiku menjawab santai, “Masalah itu tidak penting, yang penting hatimu. Sebab, aku juga seorang duda tua, yang sebentar lagi harus menghadap Tuhan,” ujarnya.
Ketika aku sudah menikah dengan Helmi, kami menempuh bulan madu panjang di beberapa negara Eropa. Aku sempat bernostalgia ke kampusku di London, juga menikmati pemandangan indah dan bersih di negeri Belanda, mode di Paris, dan macam-macam hal di negara Eropa yang terkenal dengan sejarahnya seperti: Lisbon dan Madrid dengan berbagai hiburannya. Hampir tiga bulan kami berkeliling Eropa, setelah bosan baru kami sepakat kembali ke tanah air.
Selama berbulan madu, hubunganku dengan suamiku biasa seperti suami istri lainnya yang sedang dimabuk cinta. Hanya bedanya, suamiku lebih memperlakukan aku seperti anak kandungnya ketimbang sebagai seorang istrinya. Suamiku tidak seperti suami istri lainnya, belum punya anak saja sudah memanggil “mama,” atau “papa.” Suamiku langsung memanggil namaku “Yulia” atau “Yuli.”
Aku merasa bangga dan bahagia kawin dengan Helmi, yang penuh dengan sifat kebapakan ini. Aku sendiri sudah banyak berobah, yang biasa liar menjadi anak yang patuh, setelah kawin dengan Helmi.
Selama dua tahun, aku mengalami perkawinan yang puas dalam pengertian materi. Tetapi, dalam kepuasan seks yang aku dapati dari Helmi, jauh dari yang pernah kudapatkan dari pacar-pacar aku sebelumnya.
Helmi kurang perkasa. Dia cepat menyerah, dalam usianya yang makin lanjut. Berkali-kali Helmi mencoba, dibantu dengan pengobatan akupuntur atau obat kuat, tapi tetap saja membuatku jarang puas. Sekali-kali ada kepuasan, kalau sebelum berhubungan intim, ia tidak memperlakukan aku sebagai anaknya.
Dalam perkawinanku memasuki tahun ketiga, aku mulai bosan. Dalam hatiku timbul berbagai kegalauan, terutama terhadap apa yang aku peroleh bersama suamiku di ranjang, dan keinginku seperti wanita normal. Aku ingin punya anak, bukan sebagai wanita mandul. Tapi, pada diriku belum terlihat ada tanda-tanda akan hamil. Kegalauan pikiranku makin bertambah, tatkala ibuku bertanya, “Bagaimana nak, apa sudah ada tanda-tanda ibu akan menggendong cucu?”
Kebosanan dan kegalauan tersebut, aku rasakan dan dipendam sendiri. Aku tidak bercerita pada suamiku, juga tidak pada kedua orangtuaku. Tapi, kalau bertemu dengan ibuku, melihat aku kurang ceria, ibuku dapat memahami apa yang aku inginkan. Kemudian, ibuku selalu menasehati aku, “Sabar ya nak, orang sabar dikasihi Tuhan.”
Tiga bulan yang lalu, suamiku memperkenalkan sopir barunya kepadaku. Namanya cukup keren, “Andersen.” Pemuda ganteng usia 25 tahun, badannya sedang, tidak terlalu gemuk, tegap, tinggi, hidungnya mancung dan berkulit putih, yang baru tamat kuliah di sebuah universitas swasta ternama di Jakarta.
Pemuda itu, semula datang melamar ke kantor suamiku. Tapi, di kantor suamiku sedang tidak ada lowongan. Ketika kepala SDM-nya memberi tahu, bahwa di kantornya ada yang melamar kerja, suamiku meminta agar menghadapkan pelamar itu kepadanya. Setelah pelamar datang menghadapnya, suamiku menanyakan kepada pemuda itu, “Apa keahlianmu yang lain?” Pemuda tersebut menjawab, “Sebagai sopir”.
Menurut pemuda ini, dia kuliah dengan membiayai kuliahnya sendiri sebagai pengemudi taksi. Mulanya, suamiku tak percaya, masak pemuda seganteng ini mau menjadi pengemudi taksi? Tapi kemudian, suamiku timbul rasa ingin membantu, karena berpendapat pasti pemuda ini orang baik-baik. Kalau tidak demikian, mana mau menjadi sopir taksi. Kalau pemuda ini mau mencari uang secara tidak halal, seperti menjadi gigolo, pasti banyak tante yang mem-booking-nya.
Dengan alasan percaya itu, suamiku memutuskan, sambil Andersen belajar kerja di kantor, buat sementara dia merangkap sopir dan pembantu pribadi suamiku.
Mula-mula aku tidak menaruh perhatian kepada sopir baru suamiku itu. Tepi sebulan kemudian, suamiku berangkat ke luar negeri untuk tugas perusahan. Sebelum berangkat di Bandara Soekarno-Hatta, suamiku berpesan, “Kalau tidak ada sopir di rumah nanti, Andersen bisa diminta bantu.” Aku cuma bisa menjawab, “Baik pak,” tanpa aku mengerti lebih dalam omongan suamiku itu.
Dalam perjalanan pulang dari bandara, aku tidak banyak bicara dengan Andersen. Bicaraku dengan dia, sebatas istri bos dengan sopirnya. Ketika pamit pulang, setelah selesai mengantarku sampai di rumah, Andersen menanyakan, tugas apa yang dia lakukan besok. Aku agak ragu memutuskan, karena aku juga mempunyai sopir pribadi. “Kamu datang saja ke kantor dulu, nanti kalau aku butuh kamu akan kutelepon,” ujarku. “Baik bu,” jawab Andersen, lalu ia pamit pulang.
Heh dasar semua kebetulan, esok harinya sopirku tidak masuk kerja, dengan alasan anaknya sakit. Guna mengatasi kesulitan itu, aku minta tolong kepada pembantuku agar menelepon Andersen, supaya datang ke rumah, menggantikan tugas sopirku yang tidak datang.
Andersen datang, dia melaksanakan tugasnya sebagai sopir dengan baik. Mulai membersihkan mobil, sampai mengatur semua perlengkapan yang harus dibawa.
Aku hobi renang, pada hari itu memang sudah terasa jenuh untuk berenang sendirian di rumah. Aku bersama teman-teman wanitaku, ingin berenang di kolam renang perusahaan bapakku, yang khusus untuk eksekutif.
Ketika masuk ke arena kolam renang, aku minta bantuan Andersen membawa barang-barangku ke dalam, sampai ke tepi kolam renang. Aku perkenalkan dia dengan teman-temanku yang sudah lama menunggu. Semua berdecak kagum, “Kok ada sopir seganteng ini”, komentar seorang temanku.
Bahkan, ada temanku yang jahil, “Ajak aja dia menemani kita berenang.” Karena itu, aku tanyakan kepada Andersen, apa dia hobi renang. Dia jawab “ya.” Lalu, aku beri dia uang. Dan aku suruh dia membeli celana renang untuk dia sendiri, sekaligus bisa menemani kami berenang.
Ketika Andersen tampil dengan pakaian renangnya, teman-temanku makin bertambah kagum. Melihat bodinya yang bagus, putih dan berotot yang seimbang dengan tinggi dan bahunya yang bidang.
Aku tidak mau banyak mendengar ocehan dan kekaguman teman-temanku kepada Andersen. Tapi, sejak itu aku juga mulai tertarik kepada sopir suamiku itu. Kadang-kadang aku berkhayal, juga tentang hal yang bukan-bukan.
Andersen orangnya ramah, sopan, dan lugu. Masih seperti pemuda kampung yang jauh dari gemerlapnya dunia modern. Dia enak diajak bicara, karena mempunyai dasar pengetahuan yang cukup. Menurutnya, dia rajin membaca. Dulu, setiap menunggu penumpang taksinya, kesempatan itu tidak dia sia-siakan, selalu digunakan untuk membaca.
Lama-lama aku menjadi tertarik kepadanya. Ketika aku ke villaku di Puncak, aku ajak dia sebagai sopirku. Malam harinya, aku ajak dia bicara, sambil minum-minum di beranda. Hari sudah larut, udara dingin mulai menyengat, kami pindah minum ke dalam kamarku. Mulanya, dia enggan dan agak ragu. Tapi, seperti anak yang patuh, dia ikut juga ajakan ibunya.
Malam itu, aku sudah mabuk berat, tapi Andersen tidak. Sebab, dia hanya minum minuman enteng, tanpa alkohol. Ketika duduk di sofa, aku mulai menyandarkan badanku kepadanya. Mulanya, dia ragu memberikan reaksi yang tabu. Tapi lama-kelamaan, dia juga menyenanginya. Malam itu, aku berhasil membuang energiku yang sudah lama terpendam. Aku benar-benar puas, sampai terlelap tidur sampai siang harinya.
Ketika aku bangun, Andersen sudah tidak ada di sampingku. Aku cari dan panggil dia, rupanya dia sedang aysik menjalankan tugasnya mencuci mobil di depan garasi.
Suamiku sebulan lebih di luar negeri. Menjelang suamiku pulang, aku menjadi sering berselingkuh dengan sopirku. Dan perselingkuhan itu tentu tertutup rapi. Aku minta Andersen menutupnya rapat-rapat. Andersen patuh, karena dia menyadari, kalau dia membocorkan peristiwa itu, pasti dipecat oleh suamiku. Bahkan, bisa dituntut dianggap menyebar fitnah atau merusak nama baik keluargaku. Sebab, perselingkuhanku dengannya tak ada saksi.
Ketika suamiku pulang, tak ada perubahan yang dapat dicium olehnya. Aku tetap dianggapnya sebagai seorang anak yang manis dan lucu, dan aku tetap menganggapnya sebagai seorang suami sekaligus bapak kedua yang penuh wibawa.
Satu kabar yang membuatku bahagia, bahwa menurut suamiku, setelah selesai menjalankan tugas perusahan, dia sempat mengikuti berkali-kali terapi seks di Paris. Bahkan katanya, sampai menjalani test sperma segala, yang hasilnya baik.
Aku sambut kabar gembira yang disampaikan oleh suamiku itu. Setelah istirahat sejenak, malamnya langsung kami uji coba peluru kendali yang sudah direnovasi itu. Memang terasa ada sedikit perubahan, tapi karena faktor usianya, suamiku terasa tidak sejantan Andersen.
Tapi, hal itu tak menjadi masalah. Sebab, selain aku punya suami, juga sudah mempunyai pemuda selingkuhanku. Bersama dia, aku setiap saat ketika suamiku ke luar kota, atau pergi ke luar negeri, ada Andersen yang bisa memuaskan nafsu berahiku.
Dalam dua bulan ini, Helmi suamiku, rajin menguji peluru kendalinya bersamaku, meski keampuhannya diragukan. Namun, dua bulan ini pula haidku tidak datang. Aku menjadi gelisah dengan berbagai pertanyaan. Ini janin siapa yang berada di rahimku, janin Helmi atau Andersen? Apa aku beritahukan atau tidak kepada suamiku? Kalau aku beritahu begaimana reaksinya? Aku khawatir dia bereaksi negatif, karena selama berpuluh-puluh tahun dia berhubungan seks dengan istrinya yang pertama, tidak membuahkan hasil.
Kalau tidak diberitahu, bagaimana tanggapannya setelah perutku besar, dia baru tahu kehamilanku? Dia pasti akan menuduh yang tidak-tidak. Hal inilah yang menjadi problema rumahtanggaku sekarang. Seperti judul sebuah film warkop, “Mundur kena maju pun kena,” ujar Yulia menutup ceritanya yang panjang, sampai aku perlu membalik pita kaset perekamku.
Lama Yulia terdiam, dia makin sering mengangkat gelasnya. Tambah lagi, minum lagi, membuat saya menjadi khawatir. Guna mengalihkan perhatiannya, saya berkata, “Jadi, rupanya itu yang kamu maksud dengan mendapat rezeki nomplok. Dapat suami kaya, dapat sopir ganteng, yang bisa menyopir luar dalam, dan dapat janin yang sudah lama diidamkan-idamkan oleh suami dan kedua orangtuamu”
Mendengar pernyataan saya itu, yang menyebut kedua orangtuanya, Yulia seperti terbangun dari mimpi. Lantas ia berkata, “Oh iya, iya benar, orangtuaku butuh cucu, aku harus pelihara ini, aku tidak celakakan dia dengan minuman. Tapi bagaimana caranya?”
Mendengar pertanyaan itu, saya langsung menjawab, “Tidak sulit Yulia, beritahulah suamimu secara baik-baik, bahwa haidmu bulan ini tidak datang. Setelah itu, ajak dia memeriksakan kandunganmu ke dokter spesialis. Tidak perlu banyak cerita. Kalau hasilnya positif, peluk dia dan cium dia. Lalu ucapkan terima kasih yang mendalam. Mungkin dengan cara demikian suamimu akan bangga, karena usaha terapinya di Paris membuahkan hasil. Apalagi suamimu juga mendambakan anak, untuk membuktikan bahwa dia jantan.”
Setelah mendengar jawaban saya, Yulia seolah-olah terbangun dari mimpinya kedua, “Benar pak,” ujarnya lalu segera memanggil pelayan dan meminta bill-nya. Setelah membayar bill itu dan memberi tip pelayan, ia segera pamit pulang. “Terima kasih pak, dan selamat jumpa,” tutur Yulia sambil menaiki mobil mewahnya.
SELANJUTNYA DAPAT DIBACA
"BUKU WANITA-WANITA SELINGKUH"
TERSEDIA DI TOKO BUKU GUNUNG AGUNG
DAN TOKO BUKU GRAMEDIA