Selasa, 08 November 2011

PENGHULU DI MINANGKABAU





Penghulu adalah  seorang laki-laki yang dituakan dalam sebuah suku yang ada di Minangkabau. Dalam kehidupan sehari-hari, penghulu dipanggil “datuk.” Sedangkan  fungsi seorang penghulu di Minangkabau yaitu sebagai pemimpin suku dalam urusan adat.
Sebagai pimpinan, penghulu bertanggungjawab dan berkewajiban memelihara anggota kaum, suku, dan nagarinya. Penghulu bertanggungjawab terhadap permasalahan yang terdapat dalam masyarakat,  dalam hal ini dikatakan kewajiban penghulu, yaitu: “kusuik manyalasai, karuah mampajaniah.” (kusut menyelesaikan, keruh memperjernih).
Kedudukan penghulu tidak sama dengan kedudukan dan fungsi seorang feodal, penghulu tidak dipusakai oleh anaknya seperti dalam masyarakat feodal, melainkan oleh kemenakannya yang bertali darah.
Drs. M. D. Mansoer mengatakan, seorang penghulu adalah ninggrat jabatan, dengan hak-hak istimewa (prerogatives) melekat pada gelar pusaka yang dipakainya sebagai penghulu. Gelar dan fungsi  ini, diturunkan kepada kemenakan separuik, sekaum atau sepesukuannya yang dipilih sebagai penggantinya.
Sebagai penghulu, ia disebut datuk, baik sebagai penghulu paruik maupun sebagai panghulu suku. Menurut adat bodi caniago, seluruh penghulu sama dan sederajat kedudukannya, semua dinamakan penghulu andiko.
Andiko berasal dari kata sansekerta yaitu andika yang berarti memerintah. Penghulu seandiko artinya setiap penghulu mempunyai wewenang dan memerintah di dalam sukunya, sampai ke dalam nagari masing-masing.
Menurut Prof. M. Nasroen, penghulu itu “digadangkan makonyo gadang”, sebagaimana dikatakan: “Tumbuahnyo di tanam. Tingginya dianjuang. Gadangnyo diamba.”
Maksudnya, jabatan penghulu itu diperolah oleh seseorang karena diangkat oleh anggota kaumnya sendiri. Tingginya dianjung, besarnya dipelihara,  dengan pengertian sebelum dia diangkat dan memegang jabatan penghulu,  dia sudah besar dan tinggi serta dihargai  di dalam kaumnya. Karena kelebihannya ini pilihan jatuh kepada dia atau dikatakan juga, “tinggi menyentak rueh.”
Penghulu sebagai pemimpin haruslah “baalam leba, badado lapang,” dengan pengertian haruslah berjiwa besar dan berpandangan luas dalam menyelesaikan suatu masalah,  haruslah punya prinsip,  “tak ada kusuik nan indak salasai, karuah nan indak kajaniah.”
Dalam mencari penyelesaian, penghulu harus bijaksana dalam segala hal,  yang  diumpamakan seperti, “menarik rambut dalam tepung,   tapuang indak taserak, rambuik indak putuih.”
Seorang penghulu diibaratkan, “aie janiah, sayak nan landai, bak kayu di tangah padang, ureknyo tampek baselo, batangnya tampak basanda, dahannya tampek bagantuang, buahnya ka dimakan, daunnyo tampek balinduang,” (air yang jenih sayak yang landai, seperti kayu di tengah padang, uratnya tempat bersila, batangnya tempat bersandar, dahannya tempat bergantung, buahnya untuk dimakan, daunnya tempat berlindung).
Kesimpulan yang dapat diambil, bahwa penghulu sebagai pemimpin, kedudukan dan peranannya sangat besar di tengah-tengah masyarakat. Penghulu dikatakan juga tiang nagari, “kuat penghulu maka kuat pulalah nagari” dan juga dikatakan “elok nagari dek panghulu, elok tapian dek rang mudo.”
Dalam memimpin sukunya, penghulu suku dibantu oleh tiga orang pembantu yaitu manti, malin dan dubalang. Manti urusan administrasi, malin atau labai urusannya menyangkut bidang keagamaan, dan dubalang bertanggung jawab di bidang keamanan dan ketertiban.  Dan mereka dikatakan urang ampek jinih (orang empat jenis).
Menurut Prof. M. Nasroen tugas dari urang nan ampek jinih adalah: penghulu itu adalah sebagai bumi, di atas mana sesuatunya berdiri. Manti adalah sebagai angin, yang menyampaikan sesuatunya, malin adalah ibarat air,  menghanyutkan yang kotor. Dubalang adalah sebagai api, yang membakar segala kejahatan dan bertindak dengan keras. Masing-masing berperanan menurut bidangnya, seperti dikatakan: “Penghulu taguah di adat, manti taguah di buek, malin taguah di agamo, dubalang taguah di nagari”. Selanjutnya dikatakan: “Kato pangulu manyalasai, kato manti kato panghubuang, kato malin kato hakikat, kato dubalang kato mandareh.”
Penghulu dipilih di antara anggota suku yang bersangkutan. Sebagaimana mamak yang berfungsi sebagai pembimbing dan pembina dalam keluarganya, penghulu juga berfungsi sebagai pembimbing dan pembina dalam sukunya.
Dalam sebuah suku, biasanya juga dipilih lagi seorang atau beberapa datuk muda yang disebut penghulu penungkat (panungket). Penghulu penungkat bertugas membantu atau memberikan kekuatan tenaga pada penghulu yang sudah tua. Ia akan bertindak mewakili penghulu kaum atau suku, baik dalam berurusan dengan persoalan di dalam kaum atau sukunya, maupun di luar suku dan kaumnya.
Kedudukan penghulu menurut adat adalah "didahulukan selangkah ditinggikan seranting" dari yang lainnya. Dalam pengertian ini, jarak antara yang memimpin dan yang dipimpin terletak pada penempatan posisi si pemimpin. Sebagai seorang yang dipilih,  didahulukan  selangkah dan ditinggikan seranting. 
Setelah memenuhi berbagai persyaratan untuk dapat menduduki jabatan penghulu, maka seseorang yang terpilih menjadi penghulu akan diikat lagi dengan berbagai larangan dan pantangan. Maksudnya yaitu untuk menghindari perbuatan yang bertentangan dengan agama, adat serta perbuatan yang dapat merendahkan harkat dan martabat kepenghuluannya.
Adapun perbuatan yang dapat merendahkan harkat dan martabat seorang penghulu termaktub dalam ungkapan: "Hilie malonjak, mudiak mangacau. Kiri kanan mamacah parang. Mangusuik alam nan salasai, mangaruah aia nan janiah. Bak paham kambiang dek ulek karano miskin pado budi. Barundiang bak sarasah tajun karano takabua dalam hati. Mangubahi lahie jo batin, maninggakan sidiq jo tabalie, mamakai cabuah sio-sio, kato nan lalu lalang sajo, bak caro mambaka buluah, rundiang bak marandang kacang sabab lidah tak batulang” (hilir melonjak, mudik mengacau. Kiri kanan menimbulkan masalah. Mengusut persoalan yang telah selesai dan memperkeruh air yang telah jernih. Memiliki paham seperti kambing dihinggapi ulat karena miskin budi. Berbicara seperti air terjun karena memiliki sifat sombong, mengubah yang lahir menjadi batin, meninggalkan sidiq dan amanah, mengerjakan pekerjaan yang sia-sia, berkata semaunya saja. Seperti membakar buluh, berkata seperti merandang kacang karena lidah tak bertulang - Hakimi, 1984).
Intinya, seorang penghulu harus menghindari pekerjaan dan perbuatan yang dilarang oleh agama seperti sirik, perbuatan maksiat, takabur, pemarah, berdusta, menipu, mencuri, mabuk, berjudi, munafik, dan meninggalkan rukun Islam yang lima.
Sedangkan pekerjaan dan sifat yang dilarang oleh adat adalah pekerjaan yang menyimpang dari alur dan patut seperti perbutan yang memecah belah orang berkeluarga, menimbulkan huru-hara, pemalas, mungkir janji. Di samping itu, seorang penghulu seyogianya menghindari pekerjaan yang sumbang menurut pandangan adat seperti dalam berpakaian, berkata-kata, bertingkah, dan bergaul (Hakimi, 1984).
Seorang penghulu memiliki keterkaitan dengan kaum dan nagarinya. Sementara itu, nagari merupakan kediaman utama yang dianggap sebagai pusat aktivitas sebuah desa. Secara formal, penghululah yang menjadi pemimpin di Minangkabau. Mereka seolah-olah penguasa otonom karena memiliki daerah (nagari, sawah, dan ladang), rakyat (kemenakan anggota sukunya) yang mematuhi segala perintah yang dibuatnya. Diungkapkan dalam pepatah adat bahwa kata "penghulu kata penyelesai, kata imam kata hakekat".
Kiprah seorang penghulu (ninik-mamak) dalam konsep adat dan kebudayaan Minangkabau dapat dilihat dari perannya: sebagai anggota masyarakat, sebagai mamak bagi kemenakannya, sebagai seorang suami bagi istrinya, sebagai seorang ayah bagi anak-anaknya, dan sebagai pemimpin dalam nagari (Hakimi, 1984).
Seorang penghulu suku atau penghulu andiko juga tidak memiliki kekuasaan yang nyata. Mereka lebih banyak dirasakan sebagai yang dituakan dan bertugas menjalankan sesuatu pekerjaan. Menjadi penghulu lebih banyak dirasakan sebagai mendapat tugas daripada mendapat hak. Hanya bila kepenghuluan ini dihubungkan dengan kekuasaan Belanda dahulu yang "mungkin" juga berlaku saat ini, barulah seorang penghulu tersebut mendapatkan kekuasaan (Junus, 1976).
Penghulu yang duduk di Kerapatan Nagari disebut juga dengan "penghulu pucuk, penghulu payung" atau "penghulu andiko." Dari sebutan tersebut, terlihatlah tugas dan fungsi penghulu itu sebagai pemimpin masyarakat Minangkabau.
Pucuk merupakan bagian tertinggi yang bertunas terus,  karena itu menjamin kelanjutan hidup tanaman. Payung merupakan wadah tempat berlindung, baik dari sengatan matahari maupun siraman hujan.
Berdasarkan pengertian yang sering melekat pada kata penghulu tersebut, jelaslah tugas dan fungsi seorang penghulu: sebagai pemimipin yang memerintah dan sekaligus menjamin kelanjutan dan kesejahteraan anak dan kemenakan serta sebagai pelindung bagi kaumnya. Pepatah yang mengungkapkan sistem kepemimpinan masyarakat Minangkabau: “kemenakan berajo pada mamak, mamak berajo pada penghulu, penghulu berajo pada mufakat, dan mufakat berajo pada alur dan patut,” mengimplikasikan bahwa fungsi penghulu itu sebagai tempat berlindung anak dan kemenakan. Namun, dia harus memerintah berdasarkan hasil mufakat dalam musyawarah.
Secara adat, penghulu adalah pemimpin. Tetapi kepemimpinan dalam pengertian keseluruhan sistem kemasyarakatan, selain  penghulu, masih ada pemimpim yang disebut ulama dan cerdik pandai. Ketiga unsur tersebut, dikenal dengan istilah "tali tiga sepilin" atau "tungku tiga sejarangan."
Ketiga unsur tersebut secara bersama-sama memimpin masyarakat Minangkabau. Ulama memimpin dalam bidang keagamaan, sedangkan cerdik pandai memimpin dalam bidang kehidupan sosial-ekonomi serta pendidikan.
Garis pemisah yang tegas antara kepemimpinan itu seringkali sulit ditarik. Adakalanya, seseorang menyandang tugas sebagai penghulu dan ulama sekaligus. Sementara itu, kaum cerdik pandai banyak juga yang menjadi penghulu atau ulama. Namun, ketiganya dilihat dari sebuah sistem yang disebut sebagai pemimpin tergantung pada persoalan yang dihadapinya.
Untuk menghadapi persoalan yang bersifat terpadu, dilakukan musyawarah untuk mencapai mufakat. Permusyawaratan yang dilakukan oleh pemimpin atau pemuka masyarakat, tidak berdasar pada suara mayoritas,  karena itu sistem "voting" suara tidak dikenal.
Musyawarah untuk mencapai mufakat didasari azas seia-sekata serta kesepakatan. Hal itu tercermin dalam pepatah adat "bulek lah buliah digolongkan, picak lah buliah dilayangkan" (jika bulat sudah boleh digolongkan dan kalau pipih sudah boleh dilayangkan), yaitu suatu kesepakatan telah memperoleh persetujuan bersama dan dapat dilaksanakan.
Untuk mencapai kesepakatan, musyawarah harus berpegang teguh pada prinsip berdasarkan alur dan patut. Penilaian alur dan patut disesuaikan dengan kondisi dan situasi,  waktu dan tempat, tidak selalu sama untuk segala zaman dan keadaan. Jadi, permusyawaratan adalah untuk mencari mana yang baik bagi penyelesaian suatu permasalahan dengan berpijak pada situasi dan kondisi yang tengah dihadapi (Mansoer, 1970).
Jika tata kehidupan yang terlahir berdasarkan sistem rasa kebersamaan untuk kepentingan bersama seperti itu, dapat dipandang sebagai suatu tata demokrasi, posisi pemimpin dalam masyarakat Minangkabau bukanlah sebagai penguasa yang dapat menentukan suatu keputusan (Navis, 1983).
Seorang pemimpin seperti mamak atau penghulu sesungguhnya merupakan simbol, sedangkan yang menentukan segalanya adalah mufakat. Mengingat kepemimpinan penghulu di tingkat nagari merupakan simbol, maka kepemimpinan raja Minangkabau juga merupakan simbol. Alasannya, karena alam Minangkabau merupakan federasi dari luhak, yang sekaligus juga merupakan federasi dari beberapa nagari. Raja Minangkabau bukanlah seorang tokoh politik seperti raja-raja di tanah Jawa. Mereka juga tidak merupakan lambang kesatuan dan persatuan bangsa seperti raja Inggris. Ia hanya seorang tokoh "sakral" atau "orang bertuah" yang hidup dari hasil tanahnya sendiri dan "bunga tanah" serta upeti dari daerah alam Minangkabau, rantau dan pesisir yang pada hakekatnya lebih merupakan lambang daripada bukti pernyataan takluk dalam pengertian politis (Mansoer, 1970).

Pantangan  Penghulu
Penghulu sebagai pemangku adat “nan didahulukan salangkah, nan ditinggikan sarantiang,” mempunyai pantangan-pantangan yang tidak boleh dilanggarnya. Pantangan ini, berguna untuk menjaga martabat dan wibawa penghulu itu di tengah-tengah anak kemenakannya.
Pantangan-pantangan tersebut adalah: Pertama, Tidak boleh marah. Penghulu harus bersifat sabar, sebab dalam kehidupan sehari-hari anak kemenakan banyak tingkahnya yang tidak sesuai dengan ajaran adat dan moral. Seorang penghulu harus bijaksana dan pandai membawakan diri dalam menghadapi hal-hal yang tidak baik dari anak kemenakannya, seperti dikatakan: “harimau dalam paruik, kabiang juo nan dikaluakan” (harimau dalam perut, kambing juga yang dikeluarkan).
Kedua, Seorang penghulu harus menjauhi sifat-sifat suka menghardik, menghantam tanah, serta menyingsingkan lengan (sifat-sifat yang suka menghardik, menghantam tanah, serta menyingsingkan lengan baju untuk menentang seseorang berkelahi). Biasanya seorang penghulu bijaksana, kalau ada hal-hal yang membuatnya marah akan menyerahkan persoalannya pada dubalang.
Ketiga, Berlari-lari. Walau bagaimanapun terburu-burunya seorang penghulu karena sesuatu hal, baginya terlarang untuk berlari-lari, apalagi berlari kencang. Berlari-lari membuat dirinya seperti kanak-kanak. Seorang penghulu dapat menyuruh anak kemenakannya kalau ada yang perlu untuk dikejar/dituruti dengan segera.
Keempat, Menjinjing dan membawa beban. Menjinjing dan memikul beban tidak pada tempatnya bagi seorang penghulu. Kalau ini terjadi, akan hilang wibawa penghulu tersebut. Sebab, dia mempunyai anak kemenakan yang dapat membantunya.
Kelima, Memanjat-manjat. Pantangan bagi seorang penghulu memanjat pohon, apalagi pohon kelapa, wibawanya akan hilang apabila hal ini dia lakukan.

 Perangai Buruk Penghulu
Ada enam macam perangai buruk penghulu di Minangkabau, yaitu: Pertama, Penghulu nan diujuang tanjuang. Penghulu yang tidak memiliki prinsip dalam kehidupannya. Dalam ungkapan adat dikatakan,”Sapantun sipongang dalam quo. Urang mahariak inyo mahariak. Kalau diimbau bunyi ado. Kalau dicaliak indak basuo.
Kedua, Penghulu ayam gadang (penghulu ayam jago). Penghulu berperangai seperti ayam jago, hanya kokoknya saja merdu. Hal ini, diungkapkan dalam kata adat: “Bakotek hilia jo mudiak. Bakukuak kiri jo kanan. Mananggakkan tuah kamanangan. Tiok ado kabaikan tumbuah. Inyo nan pokok pangkanyo. Bakotek indak batama. Tinggi lonjak gadang sajo. Gadang tungkai indak barisi. Elok bungkuih pangabek kurang.”
Ketiga, Penghulu buluah bamboo (penghulu buluh bambu). Ada penghulu kelihatan bagus dari luar, tetapi kosong di dalam, kurang ilmu, tetapi berlebih lagaknya. Hal ini, diungkapkan dalam kata adat: “Batareh tampak kalua. Di dalam kosong sajo. Tampang elok takah balabiah. Lagak rancak aka tak ado. Ilmu jauah sakali. Awak datuak janyo awak.”
Keempat, Penghulu katuak-katuak (penghulu ketuk-ketuk), yaitu penghulu yang bersifat seperti “tong-tong di ladang.” Ia hanya berbunyi bila diketok. Hal ini diungkapkan dalam kata adat: “Iolah tong-tong urang diladang. Kalau diguguah inyo babunyi. Disaru baru basuaro. Ka mangecek takuik balabiah.”
Kelima, Penghulu Tupai tuo (penghulu tupai tua). Penghulu yang berperangai seperti tupai tua, ia tidak mau berusaha karena takut salah. Ia merasa dirinya tidak berarti,  dalam kata adat: “Elok nan tidak mengalua. Gadang nan indak mangatangah. Bagai karabang talua itiak. Rancaknyo tabuang sajo. Indak tatampuah ujuang dahan. Alek jamu indak tajalang. Alua tak ado nan taturuik. Jalan tak ado nan tatampuah. Banyak sagan dalam dirinyo.”
Keenam, Penghulu busuak hariang (penghulu busuk hariang). Penghulu yang sikapnya seperti bau kencing. Ia selalu membawa keresahan di dalam masyarakat. Hal ini diungkapkan dalam kata adat: “Itu penghulu nan jahanam. Hino bangso randah martabat. Hati ariang pahamnyo busuak. Budi anyia pikiran ariang. Panjang aka handak malilik.”
 SELANJUTNYA BACA BUKU "MINANGKABAU DARI DINASTI ISKANDAR ZULKARNAIN SAMPAI TUANKU IMAM BONJOL"
DAPAT DIPEROLEH DI TOKO BUKU GRAMEDIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar