Minggu, 20 November 2011

ANAKKU GIGOLOKU


Berita tentang perselingkuhan wanita terkaya Jerman, Susanne Klatten dengan seorang gigolo Swiss, Helg Sgarbi, sudah mendunia dan memang menarik untuk disimak. Di Indonesia, juga  banyak cerita yang menarik tentang  perselingkuhan wanita-wanita pencari pemuas nafsu  dengan gigolo dalam versi yang berbeda, seperti yang diceritakan “Liana,” wanita pengusaha kepada Rossy.
Setelah beberapa kali janji mau ketemu, tertunda  dengan berbagai alasan. Maklumlah, ia sebagai seorang pengusaha  wanita yang sukses, ia  sangat berhitung dengan waktu. “Time is money,” adalah prinsip hidupnya. Dia tidak mau membuang-buang  waktu sia-sia, dan setiap detik waktu berjalan ia hitung dengan uang.
Entah mimpi apa ia semalam, kali ini dialah yang menelepon Rossy minta waktu untuk ketemu di kafe Gerbera di hotel bintang lima di kawasan Jakarta Pusat (01/2010). “Oke Rossy kita ketemu pukul lima sore di kafe Gerbera,” ujar wanita tersebut. “Boleh aku bawa teman mbak?” tanya Rossy. “Boleh, tapi siapa dia” tanya wanita itu. “Dia bapakku,” ujar Rossy. “Oke, sampai ketemu,” ujar wanita itu sambil menutup teleponnya.
Tepat pukul 5 sore, saya dengan Rossy sudah berada di kafe itu. Tapi, wanita setengah baya bernama Lililiana, sering dipanggil “Liana,” berusia 43 tahun, belum juga datang. Sudah satu jam kami menunggu, baru ia muncul. “Sorry ya, aku jadi telat, karena tadi ada meeting di kantor,” ujarnya. “Tak apa-apa mbak, kami sabar menunggu kok,” jawab Rossy.
Setelah berbasa-basi sejenak, Liana menawarkan kami untuk memesan makan dan minuman. Liana sendiri sore itu langsung memesan minuman beralkohol tinggi dan makanan kesukaannya. “Aku lapar sekali, seharian  tadi aku meeting melulu, tak sempat makan,” ujarnya ketika ia melihat kami memperhatikan kelahapan makannya.
Di kafe ini, Liana sudah terkenal di kalangan pelayan. Dan Liana sendiri mengakui bahwa ia sering datang ke sini, di saat-saat  waktunya luang. “Aku senang dengan kafe familiar ini. Karena itu, aku senang datang ke sini,” ujarnya. “Kafe ini banyak artinya bagiku, di kafe inilah aku bertemu dengan “anak haramku”  pertama kalinya,” tambahnya.
Dulu, ketika masih di SLTA  (17 tahun) di daerah kelahiranku di Sumatra, aku pacaran dengan teman sekolahku. Menjelang ujian nasional terakhir, aku positif hamil. Aku sangat gelisah, rasa takut dan malu selalu menghantuiku.
Ketika aku utarakan kepada pacarku “Anthony,” dengan nama panggilan “Anton,” dia mengatakan, “Aku bertanggung jawab penuh atas kehamilanmu Liana, dan aku tidak setuju dengan rencanamu aborsi. Biarkan saja bayi lahir ke bumi, tak baik menjadi pembunuh bayi kita sendiri yang tak berdosa. Sekarang mari kita konsentrasi dulu menghadapi ujian akhir, selagi perutmu belum besar. Nanti setelah ujian selesai, kita menikah secara resmi,” ujarnya.
Kata-kata Anton itu sedikit melegakanku. Aku dapat konsentrasi menghadapi ujian akhirku. Aku lulus dengan baik. Bahkan, kedua orangtuaku, sangat gembira melihat hasil yang aku peroleh, sekaligus mengungkapkan rasa bangganya kepadaku.  “Dengan hasil ini, kamu pantas kuliah di fakultas kedokteran, berapa pun biayanya akan bapak tanggung. Kamu tak usah khawatir, asal kamu kuliah dengan baik,” ujar bapakku yang seorang pengusaha ternama di kotaku.
Kedua orangtuaku belum mengetahui kehamilanku, mereka setuju aku melanjutkan kuliah di salah satu fakultas kedokteran ternama di Jakarta. Bapakku tidak keberatan mengeluarkan uangnya, guna kemajuan putri tunggalnya. Hal ini pun melegakanku. Sebab, dengan berangkatnya aku ke Jakarta, aibku tak diketahui oleh kedua orangtuaku dan tetangga di sekitar rumahku.
Sebelum berangkat ke Jakarta, aku temui Anton. Aku katakan kepadanya, “Anton, aku tidak bisa menikah denganmu, karena ingin kuliah di Jakarta. Nanti, kalau bayi kita lahir, akan aku telepon kamu. Dan kamu harus datang ke Jakarta untuk mengambil bayi kita.”
Anton sedikit kecewa dengan keputusanku. Ia memberi waktu dua hari padaku untuk berpikir, memikirkan melanjutkan kuliah ke Jakarta atau segera menikah dengannya. Tapi, ketika waktu dua hari itu berlalu, aku sampaikan kepada Anton, bahwa “Aku memilih kuliah di Jakarta.” Dan Anton dengan berat hati, menyetujui rencanaku.
Aku berangkat ke Jakarta, dalam kehamilanku berusia 4 bulan. Tapi, karena aku tinggi dan sedikit gemuk, kehamilanku tidak kentara. Apalagi dengan kebiasaanku yang senang memakai baju yang longgar, tanda-tanda kehamilanku makin tidak kelihatan. Tidak ada rasa curiga dari kedua orangtuaku.
Aku diantar mereka ke Jakarta. Dicarikan tempat kos yang terbaik untukku. Setelah urusan pendaftaran kuliahku selesai, kedua orangtuaku kembali ke daerah asalku.
Ketika aku mulai kuliah di fakultas kedokteran, perutku sudah bertambah besar. Tapi, teman-temanku tak ada yang tahu tentang kehamilanku. Mereka beranggapan, mungkin karena aku gemuk dengan bajuku yang gombrong, sudah merupakan pembawaanku kalau aku  sering menarik nafas panjang dan sedikit terganggu dengan kondisi tubuhku.
Beberapa bulan berlalu, kehamilanku mendekati waktu kelahiran bayiku. Aku segera telepon Anton melalui HP-nya. Dia datang dengan seorang teman akrab sekelasku di SLTA dulu, “Dita” namanya.  Mereka  memberitahu aku, bahwa mereka baru dua bulan melangsungkan perkawinan, dan sudah sebulan tinggal di Semarang, karena Anton diangkat ayahnya sebagai kepala cabang perusahaannya di kota itu.
Aku sedikit kecewa dengan perkawinan mereka, karena sebelum melangsungkan perkawinan mereka tidak memberitahukan aku terlebih dulu. Tetapi aku sedikit terhibur, ketika Dita memberitahuku, bahwa sebelum perkawinan berlangsung, Anton sudah memberitahukan kepadanya tentang anak dalam kandunganku.
“Mulanya aku sangat kaget dengan pemberitahuan Anton. Tapi, setelah pikir-pikir aku setuju kawin dengan Anton. Maksudku untuk menutupi aib kedua teman akrabku, kau dan Anton,” ujar Dita. Lalu Dita menambahkan, “Kamu tidak usah khawatir Liana, aku akan merawat dan menganggap bayimu seperti anakku sendiri. Tapi, aku minta kepadamu, agar aib ini tidak terbongkar, setelah kamu melahirkan nanti, serahkan bayimu kepadaku. Kamu jangan sekali-kali berhubungan dengan bayi itu lagi, anggap sajalah kamu tidak pernah punya anak. Dan apa yang terjadi terhadap kamu dengan Anton, biarkanlah hilang sirna bersama peredaran waktu,” tutur Dita.
Aku setuju dengan perkataan Dita, dengan demikian aibku benar-benar terkubur. Bahkan dengan cara tersebut, aku tidak mendapat hambatan lagi dalam meniti karier dan menemukan jodohku di kemudian hari.
Dua hari setelah Anton dan Dita berada di Jakarta, aku melahirkan bayi laki-lakiku dengan selamat. Bayiku itu mirip sekali dengan Anton, dan di punggungnya sebelah atas ada tanda “bulatan hitam.”  Semula, aku kira tanda itu ada hubungannya dengan penyakit. Tetapi, setelah diperiksa dokter rumah sakit, tanda itu tidak ada hubungan dengan penyakit. Tanda itu, hanya sekedar tanda lahir biasa.
Ketika Anton dan Dita menanyakan siapa nama bayi tersebut, langsung aku beri nama,  “Aha Perdana Anton putra.” “Apa artinya,” tanya Dita. Aku jawab, “Anak haram pertama putra Anton.”
Mendengar jawabanku, Dita dan Anton saling berpandangan. Aku tahu perasaan mereka, lalu aku katakan kepada mereka, bahwa “Bayi ini adalah peringatan kepada Anton, jangan sekali lagi membuat anak tanpa nikah. Jika Anton masih melakukan hal sama, akan lahir Aha kedua dan seterusnya,” ujarku serius. 
Anton dan Dita tidak menanggapi kata-kataku. Dengan senyumnya yang penuh arti, Anton dan Dita pamit kepadaku, sambil membawa serta bayiku yang masih merah.
Sepeninggal bayi itu, terasa suatu kekosongan dalam jiwaku. Aku merasa sepi, dan seperti ada yang kurang dalam diriku. Tapi, dengan berbagai kesibukan, kuliah dan kegiatan kampus lainnya, hal itu lama-kelamaan hilang, dan aku tidak ingat lagi terhadap bayi itu. Bahkan, sampai bertahun-tahun, tak ada lagi komunikasiku dengan Anton dan Dita.
Aku berhasil menamatkan kuliahku di fakultas kedokteran, kedua orangtuaku menyambut gembira atas keberhasilanku tersebut. Mereka menanyakan apa rencanaku selanjutnya. Aku jawab, “Aku belum berminat buka praktek atau menjadi pegawai negeri. Aku lebih tertarik  mendalami tentang alat-alat kedokteran dan bidang farmasi.” “Bagaimana caranya,” tanya bapakku. Aku jawab, “Kalau aku masuk fakultas farmasi lagi, membutuhkan waktu lama, dan tentu tidak mungkin. Tetapi, di Jepang aku dengar ada sekolah yang demikian.”
Singkat cerita, bapakku setuju aku sekolah ke Jepang. Dengan referensi dari beberapa teman seniorku, aku berangkat ke Jepang. Tujuannya yakni memperdalam tentang alat-lat kedokteran dan farmasi.  Meski hanya berupa college, tapi ilmunya sangat membantu aku dalam mengembangkan usahaku sekarang di bidang farmasi dan alat-alat kedokteran.
Ketika di Jepang, aku berkenalan dengan seorang pengusaha Indonesia, bernama “Didik.”  Bidang usahanya, sama dengan ilmu yang sedang aku dalami yakni bidang farmasi dan alat-alat kedokteran. Ia  berstatus duda tanpa anak, usianya 35 tahun, beda 10 tahun denganku.
Perkenalanku dengan Didik berlanjut, bila dia datang ke Jepang, selalu aku diminta untuk menemani dalam kegiatan usahanya. Bahkan, dia mengangkatku sebagai perwakilan usahanya di Jepang. Hasilnya cukup lumayan, selain aku menuntut ilmu, sekaligus dapat mempraktekkannya di bidang usaha itu. Dan aku tidak lagi mengandalkan kiriman dari kedua orangtuaku, karena sudah digaji untuk pekerjaan itu dalam bentuk mata uang “Yen.” Aku menjadi tidak kesulitan dana guna membiayai pendidikanku di Tokyo.
Selesai mengikuti pendidikan di Jepang, aku ditarik oleh Didik untuk bekerja di perusahaannya di Jakarta.  Setelah dua tahun kerja, aku dilamar menjadi istrinya. Dia berjanji akan menerima segala kekurangan dan kebaikanku. Dan tidak mempersoalkan masa laluku. Kemudian, dengan izin kedua orangtuaku, aku menikah dengan Didik, dalam suatu pesta perkawinan yang mewah dan meriah.
Perkawinanku dengan Didik membuahkan dua anak, satu putra (16 tahun) dan satu putri (12 tahun). Kami hidup bahagia, hanya kadang-kadang karena capek bekerja, dan usianya yang makin menua, dalam hal berhubungan intim di tempat tidur, keperkasaan suamiku mulai menurun. Karena itu,  untuk memuaskan nafsu birahiku, aku kadang-kadang memakai jasa gigolo, yang  dipasok oleh seorang mucikari wanita, yang sudah lama kukenal dan bisa menyimpan rahasia pribadiku.
Mucikari ini juga berusaha menjaga keamanan pelanggannya dari perlakuan yang kurang baik dari para gigolo, seperti pemerasan dan kekerasan lainnya. Setiap anak buahnya, didata dengan rapi, jelas identitas dan kepribadiannya. Dia banyak merekrut pria muda, sarjana dan mahasiswa untuk pekerjaan sebagai gigolo tersebut.
Untuk menghindari timbul suatu perasaan lain terhadap gigolo, aku senang gonta-ganti gigolo. Karena itu, agenku sudah tahu apa yang aku mau. Bahkan, setiap ada gigolo baru ditempatnya, dia selalu menawarkan kepadaku. Kadang-kadang kalau aku tak sibuk, aku berhubungan seks dengan gigolo itu sekedar memuaskan nafsu birahiku belaka. Setelah aku bayar, selesai urusan, tidak ada lagi buntutnya.
Bulan Februari 2009, aku mendapat telepon dari mucikari agenku. Dia memberitahukan, ada barang baru dan masih muda. Servisnya memuaskan, sopan  dan sebagainya. Biasalah promosi seorang mucikari, semuanya baik tak ada yang jelek, kecapnya tetap nomor satu.
Ketika itu, waktuku memang banyak lowong. Suamiku sedang mengadakan perjalanan ke daerah-daerah. Aku pun lagi mau, karena sudah lama tidak berhubungan intim dengan suamiku atau dengan gigolo. Karena itu, tawaran dari agen tersebut, aku terima dengan janji bertemu di kafe ini pukul 5 sore.
Aku terlambat datang, sedangkan mucikari itu dengan gigolonya sudah lama menunggu. Berkali-kali aku ditelepon oleh agen tersebut, aku jawab, “Tunggu saja, sebentar lagi aku datang. Pesan saja dulu minuman dan makanan, nanti aku bayar.”
Ketika aku datang, aku dapati mucikari dan gigolonya, baru selesai makan. Aku duduk semeja dengannya. Aku perhatikan anak muda itu, kelihatannya boleh juga, cukup tampan, dan ganteng, dengan usia yang relatif muda. Menurut mucikari, pemuda itu baru 24 tahun dan akan memasuki usia  25 tahun, Oktober mendatang.
Memang sudah merupakan kebiasaanku, aku tidak memperhatikan wajah gigolo itu sampai mendetail. Satu hal yang penting, bagiku dia sehat dan kuat di tempat tidur. Tapi kali ini, ada hal yang menarik pada pemuda yang berada di depanku. Dia mengingatkan aku kepada mantan pacarku Anton, yang sudah lama tidak ada komunikasi dengan aku, sejak dia membawa bayiku dulu. “Apa dia ini anakku?” pikiran itu berkecamuk dalam otakku. Tapi, lama-lama mimpi buruk itu aku buang. “Tak mungkin Anton, mantan pacarku, membiarkan anaknya menjadi gigolo. Dia sangat disiplin terhadap dirinya, pasti juga disiplin terhadap anaknya.”
Dalam aku berpikir demikian, mucikari menanyakan kepadaku, “Apa di booking-kan kamar?” Aku jawab, “Oke.” Mendengar jawabanku itu, mucikari langsung ke resepsionis hotel, mem-booking dan membayarnya. Mengenai hal ini, sudah ada perjanjian tidak tertulis antara aku dengan agenku itu. Guna menjaga segala kemungkinan dan keamanan, kalau sudah berurusan dengan gigolo ini, seluruh pengeluaranku di hotel dan kafe itu, termasuk uang servis untuk gigolo, dibayar oleh mucikari tersebut. Nanti, semua biaya itu baru diklaim kepadaku.
Aku diantar oleh mucikari itu ke kamar bersama dengan gigolonya. Aku minta tolong kepadanya untuk memesankan minuman beralkohol, sekaligus dengan makanan kecil. Setelah pesanan datang, mucikari itu pamit keluar. Dan pintu kamar langsung ditutupnya rapat-rapat.
Setelah gigolo itu mandi, aku perhatikan tubuhnya yang atletis, ideal dengan tinggi dan kulitnya yang patih. “Wah boleh juga ni,” pikirku dalam hati.
Selagi aku duduk di sofa menikmati minumanku, gigolo itu telah mulai dengan aksi pemanasannya. Dia minta izin membuka kancing baju dan melorotkan celanaku, aku izinkan. Tapi, aku belum berpindah tempat ke tempat tidur. Aku tetap di sofa dengan kaki yang  terjuntai.
Pemanasan yang dilakukan gigolo ini terasa sangat luar biasa, dengan cepat dia dapat merangsang nafsu birahiku. Ketika dia melakukan oral seks terhadapku, dia duduk di lantai dengan posisi menundukkan kepalanya ke arah kewanitaanku. Aku menikmati benar suatu rangsangan yang luar biasa. Tapi, ketika mataku tertuju ke arah punggungnya, di punggungnya sebelah atas terlihat ada bulatan hitam, seperti yang dipunyai oleh bayiku dulu. Aku langsung menjambak rambutnya, dan mengangkat mukanya, dengan berkata, “Sudah, cukup sampai di sini.”
Pemuda itu bengong, laku menanyakan kepadaku, “Kenapa mbak? Aku menjawab singkat, “Sudah aku sudah puas, pakai bajumu lalu tinggalkan aku sendiri di sini.”
Pemuda itu seorang anak yang patuh, tanpa banyak tanya dia pergi ke kamar mandi, membersihkan dirinya. Setelah berpakaian rapi, dia pergi keluar kamar, meninggalkan aku sendiri.
Tatkala aku berada sendiri di kamar itu, air mataku bercucuran menyesali hidupku. “Ibu macam apa aku ini, anak sendiri dijadikan sebagai pemuas nafsu.” Tapi, kemudian timbul pula dalam pikiranku, belum tentu dia anakku, sebelum aku buktikan kebenarannya. Bagaimana caranya? Maka aku putuskan untuk meminta fotokopi KTP pemuda itu kepada mucikari, bos dari pemuda itu.
Saat aku berpikir demikian, HP-ku berdering. Ketika dilihat  pada layarnya, ternyata yang meneleponku adalah mucikari tadi. Dia menanyakan, kenapa cepat selesai, apa kurang baik, atau mau ganti dengan yang lain,  yang lebih perkasa. Telepon itu aku jawab singkat, “Anak itu bagus, hanya aku terlalu capek, jadi kurang bergairah.”
“Apa kamu bisa bantu aku?” 
“Bantu apa mbak,”  tanya mucikari itu.
“Aku ingin tahu usia sebenarnya dari pemuda tadi, apa
  kamu punya fotokopi  KTP-nya,” ujarku.
“Punya, nanti aku kirim ke hotel segera,” jawab mucikari.
  itu.
Tak lama setelah percakapan di telepon tersebut, pintu kamarku diketok dari luar. Ketika aku buka, mucikari itu telah berdiri di depan pintu, lalu aku persilahkan masuk.
Setelah duduk di sofa, dia menyerahkan fotokopi KTP pemuda tersebut kepadaku. Aku mengucapkan terima kasih, dengan pesan “Besok kamu datang ke kantorku ya, mengambil uang pengganti yang sudah kamu keluarkan.”  Mucikari itu menjawab, “Baik Mbak,” lalu pamit pergi.
Aku perhatikan fotokopi KTP itu, benar nama pemuda tersebut, “Aha Perdana Anton Putra, lahir 23 Oktober 1984, alamat Semarang.” Aku menjadi bertambah menyesal, tapi aku belum puas, kalau belum bertemu dengan Anton dan Dita, sekaligus meminta keterangan dari mereka.
Aku tidak menunggu waktu yang berlama-lama. Hari Sabtu, aku berangkat ke Semarang. Setelah check in di salah satu hotel berbintang empat di kota itu, lalu aku cari alamat Anton sesuai dengan petunjuk yang ada di fotokopi KTP Aha. Tidak sulit mencari alamat Anton dan Dita, karena mereka tinggal di jalan protokol di kota itu, dengan rumah yang cukup besar.
Aku tekan bel, seorang pembantu mendekatiku, lalu bertanya, “Cari siapa bu?” Aku jawab,  “Aku mencari ibu Dita dan bapak Anton.” Mendengar jawabanku itu, pembantu itu berkata, “Bapak lagi tidak ada di rumah, sedang dirawat di rumah sakit. Ibu baru saja berangkat ke rumah sakit, nungguin bapak,” ujarnya.
Setelah pembantu itu memberitahu nama rumah sakit dan nomor kamarnya, aku langsung menuju ke rumah sakit. Kebetulan jam besuk, aku dapat dengan leluasa mencari dan masuk ke kamarnya.
Sampai di kamar, Dita tidak mengenali aku lagi, karena sudah 24 tahun berpisah. “Maaf… ibu siapa ya?” tanya Dita. Langsung aku jawab, “Aku Liana.” Mendengar jawaban itu, Dita kaget, langsung merangkulku, sambil berkata “Aku benar-benar pangling, maafkan aku ya.”
Aku tidak menjawab perkataan Dita, aku langsung mendekati tempat tidur Anton. Aku perhatikan Anton, badannya begitu kurus, terbujur dan tak peduli lagi dengan kedatanganku.
Dita berbisik di telinga Anton, “Mas, ini Liana datang, bangun mas.” Tapi, Anton seperti tidak mendengar suara Dita. Aku pegang tangannya, Anton tidak memberikan reaksi apa-apa. Aku tanya kepada Dita, “Apa sakit Anton,” dan Dita menjawab bahwa suaminya, “Menderita kanker otak. Sudah dioperasi di Jakarta, tapi hasilnya tidak memuaskan.”
Dalam kemelut itu, Dita masih sempat bercerita, bahwa dia dengan Anton mempunyai  dua orang anak. Keduanya perempuan, Fitri (22 tahun)  kuliah di salah satu universitas di Semarang dan Corri (18 tahun) masih kelas III SLTA, juga di Semarang. Anton sudah lama sakit, setahun lebih. Perusahaannya bangkrut, karena tidak ada yang mengurus. Sedangkan untuk biaya perawatan dan kebutuhan sehari-hari, dia sudah menjual satu-persatu harta kekayaannya. Sekarang, sedang menawarkan rumah untuk dijual. Memang ada bantuan dari “Aha,” tetapi belum bisa diharapkan karena dia baru bekerja di Jakarta.
Dita juga menjelaskan, bahwa Aha baru menamatkan kuliahnya di fakultas farmasi tahun lalu, tapi belum memperoleh lisensi sebagai Apoteker. Sebab, untuk keperluan itu, dia perlu pendidikan dan ujian lagi. Sedangkan kami tak mempunyai biaya untuk itu.
Selagi kami bicara, kedua putri Dita masuk. Lalu, Dita memperkenalkan aku kepada kedua putrinya. “Ini tante Merry teman mama,” ujar Dita. Aku kaget ketika Dita memperkenalkan aku dengan kedua putrinya sebagai tante Merry. Seharusnya, Dita bisaku tuntut, karena dengan seenaknya merobah namaku menjadi Merry.
Setelah perkenalan itu, Dita minta izin kepada kedua putrinya, “Kamu berdua di sini aja dulu ya menunggu papa. Mama pergi sebentar menemani tante Merry,” ujarnya sambil menggandeng tanganku keluar.
Aku seperti kerbau ditusuk hidungnya, aku ikutin saja kemauan Dita. Sampai di luar, Dita menanyakan kepadaku, “Di mana kau tinggal.” Aku jawab “Di hotel.” “Oke kita ke sana, nanti aku bercerita banyak di sana,” ujar Dita.
Sampai di hotel, Dita menumpahkan semua isi hatinya selama setahun lebih, selama suaminya sakit. Lengkap dengan penderitaannya, menghadapi tagihan dari bank, rumah sakit dan sebagainya. Aku mendengarnya dengan seksama, sekali-sekali aku balik bertanya.
Ketika Dita selesai bercerita, aku lalu bertanya kepada Dita, “Kenapa tadi kamu memperkenalkan aku dengan putrimu dengan nama Merry?” Dita menjawab, “Ketika Anton mengigau, dia selalu memanggil namamu, Liana……Liana. Dan ketika hal ini didengar oleh kedua putriku dan Aha, mereka selalu menanyakan siapa Liana itu. Bahkan, mereka bertanya, apa itu pacar bapak? Aku jawab tidak, dengan menjelaskan bahwa Liana itu adalah teman ibu dan bapak yang sudah lama meninggal,” tutur Dita.
“Apa rencanamu selanjutnya?” tanyaku kepada Dita. Dita menjawab, “Kalau rumahku sudah laku terjual, aku akan membawa suamiku Anton ke kampung.” “Bagaimana dengan sekolah anak-anakmu?” tanyaku lagi. “Ya, apa boleh buat, terpaksa aku pindahkan ke kampung,” jawab Dita.
“Dita, apa kamu mau aku bantu? Sebagai ucapan terima kasihku terhadap kamu yang telah dengan susah payah membesarkan Aha,” ujarku. Dita langsung menjawab, “Kalau bantuanmu dikait-kaitkan dengan Aha, aku tidak mau terima. Kamu kan sudah berjanji kepadaku dulu, bahwa kamu tidak akan mengungkit-ungkit lagi mengenai keberadan Aha bersamaku. Ingat janji kamu,” ujar Dita ketus.
Lama aku terdiam mendengar jawaban Dita, rupanya dia sangat sayang kepada Aha, anak biologisku itu. “Begini Dita, aku tidak akan mengungkit-ungkit lagi masa lalu, termasuk Aha. Kau boleh memperkenalkan aku dengan putri-purimu atau kepada Aha sebagai tante Merry atau dengan nama apa saja. Aku tidak akan mengambil Aha, malah aku tidak perlu bertemu dengannya. Tapi, mengingat kalian berada dalam kesusahan, apa salahnya aku sebagai teman akrabmu, dan sebagai teman akrab Anton ikut membantu,” ujarku. “Coba katakan, mau bantu apa kau,” jawab Dita dengan nada masih ketus.
“Sebaiknya kamu jangan berpikir pulang kampung dulu, kamu masih mempunyai potensi untuk maju. Aha tamatan farmasi. Rumahmu besar, kenapa kamu tidak membuka apotek saja,” tuturku. “Dari mana modalnya,” kata Dita. “Soal modal kamu jangan takut, aku yang akan bantu sepenuhnya, asal kamu bisa menarik Aha berusaha apotek di Semarang,” ujarku lagi.
Pada saat kami asyik bicara, HP Dita berdering. Dita mengangkat, lalu membukanya,  di seberang sana terdengar suara kedua putri Dita bicara sambil menangis. “Ma,  papa Ma” tutur putrinya yang besar. “Kenapa,” tanya Dita lagi. “Sudah meninggal ma. Mama cepat datang, kami bingung ni,” tutur putrinya. Mendengar itu, aku hanya bisa mengucapkan “Innaa Lillahi Wa Inna Ilaihi Raaji’un. Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan Kepada-Nya kami kembali.”
Sebelum pamit untuk segera ke rumah sakit, Dita berpesan kepadaku, “Kamu tidak usah datang, cukup kamu bantu dengan doa saja, supaya mas Anton dapat diterima di sisi Tuhan sebagai hambanya yang taqwa.”  Aku patuhi nasehat Dita, tetapi sebelum dia berangkat ke rumah sakit, aku sempat membukakan check untuk Dita dalam jumlah  besar. Cek itu guna membayar biaya rumah sakit, keperluan pemakaman dan lain-lainnya, dengan disertai pesan, “Nanti kalau terjadi apa-apa jangan lupa meneleponku.” Dita setuju dan segera berangkat menuju rumah sakit.
Aku menunda keberangkatanku ke Jakarta, sampai hari Rabu.  Setelah Dita memberitahukan aku semuanya beres dan Aha hadir dalam pemakaman ayahnya, aku berangkat ke Jakarta dengan pikiran yang galau.
Aku tunggu, sebulan,  dua bulan berlalu, tak ada kabar dari Dita. Baru bulan ketiga, Dita muncul di kantorku. Aku ajak dia keluar, ke kafe ini lagi. Aku dengar Dita bercerita, rupanya dia sangat kecewa terhadap Aha, karena ketika dia datang ke kantor, yang katanya kantornya Aha itu, tapi di sana dia melihat banyak pria. Dia ditawari mau memilih yang mana, dikira dia wanita yang butuh kehangatan pria. Setelah dia bertemu dengan Aha, mereka tahu, bahwa dia adalah ibunya Aha, bukan datang mencari gigolo.
“Semalaman aku berbicara dengan Aha di penginapanku. Dia mau berhenti dari pekerjaan maksiat itu, asal ada pekerjaan lain yang bisa dia kerjakan untuk menunjang kebutuhan keluarga,” tutur Dita.
Dita menambahkan, “Aku katakan kepadanya mengenai ide membuka apotek, karena dia sarjana farmasi. Dia setuju, tapi dia balik bertanya dari mana modalnya. Aku jawab, ada temanku mau meminjamkan uang, dengan cara mengagunkan rumah.  Dia setuju, dan sekarang aku serahkan kepadamu persoalan itu,” tutur Dita yang mengharapkan jawabanku segera.
Aku tak perlu lama berpikir, aku setuju memodali sepenuhnya apotek tersebut. Dalam perkembangannya, Dita dengan bantuan dari seorang stafku yang telah berpengalaman mengurus berdirinya sebuah apotek,  dapat merealisasi idenya dengan baik.
Setelah rumahnya direhab, dan Dita sekeluarga pindah ke paviliun, maka dengan perizinan yang lengkap berdirilah apotek itu. Buat sementara, memakai tenaga apoteker yang berlisensi, baru setelah Aha mendapat lisensi apoteker, Aha sendiri yang terjun langsung mengendalikan apotik tersebut.
SELANJUTNYA BACA BUKU WANITA-WANITA SELINGKUH YANG DAPAT DIPEROLEH DI TOKO BUKU GUNUNG AGUNG


1 komentar: