Pada tahun 1683, Gubernur Belanda untuk Malaka, Cornelis van Quelbergh memerintahkan Thomas Dias (bangsa Portugis yang menetap di Malaka setelah pendudukan Belanda, dan bekerja pada VOC) pergi ke hulu Sungai Siak untuk mencoba menjalin hubungan dengan Minangkabau.
Tujuannya, agar Belanda dapat berdagang secara langsung dengan penyedia emas, lada, dan timah, serta untuk menjadikan Minangkabau sebagai sekutu potensial di tengah-tengah konflik yang terus-menerus antara Johor, Siak, Jambi, Palembang, dan Belanda-Malaka. Thomas Dias masuk ke daerah pedalaman Minangkabau, dan bertemu dengan raja Pagaruyung.
Dalam buku “Sumatera Tempo Doeloe (Anthony Reid, Komunitas Bambu, Jakarta, 2010), yang dikutip dari 'Naar Midden Sumatra in 1684' dalam Tijdschrift voor lndische Taal-, Land- en Volkenkunde (F. de Haan, 1897, Vol. 39, hlm. 340-353), memuat kisah perjalanan Thomas Dias, antara lain sebagai berikut;
“Dari sini rute perjalanan kami menyelusuri hutan dan mendaki gunung, walaupun pemandu kami mengindikasikan berbagai kesulitan yang lebih berbahaya daripada para pembunuh dan hewan buas yang ada di rute sebelumnya, misalnya gunung-gunung terjal, rawa-rawa, tumbuhan berduri dan lain-lain………..Kami berjalan selama tujuh hari menyusuri hutan tanpa menemukan satu gubuk pun.
Pada hari ke-7 kami tiba di sebuah desa di mana ada tiga sampai empat rumah yang berdiri berjauhan. Di sana kami menginap dan beristirahat sepanjang hari. Keesokan pagi, ketika hari masih subuh, kami melanjutkan perjalanan menembus hutan dan sampai di bukit yang sangat tinggi, disebut Pima oleh penduduk setempat. Setelah berjalan selama tiga hari kami tiba di Kota Nugam yang berjarak sekitar empat mil [kurang-lebih 6,5 kilometer] dari Pagaruyung.
Di sana kami beristirahat, sementara sembilan orang diutus untuk mengabarkan kedatangan kami atas perintah Heer Cornelis Qualbergen [Cornelis van Quelbergh], Gubernur Malaka, sekaligus menanyakan kesediaan raja menerima kedatangan serta mengizinkan kami masuk ke kota dan istananya.
Tidak lama kemudian, sang raja mengutus seorang Raja Melayu, dikawal oleh 500 orang yang memegang panji-panji kuning kerajaan, untuk menyambut saya. Raja Melayu itu juga mengumumkan atas nama raja bahwa raja sangat senang karena saya tiba dengan selamat dan bersedia menerima rombongan utusan dengan tangan terbuka. Kemudian mereka meminta kami datang ke kota.
Saya meminta izin untuk menunda kedatangan dengan alasan bahwa tidak patut jika surat atau utusan yang dikirim tuan gubernur diterima raja pada malam hari….. saya meminta izin untuk datang esok hari.
Setelah mendapatkan jawaban saya, Raja Melayu memerintahkan 400 anak buahnya untuk tinggal dan menjaga saya. Lalu ia memerintahkan penduduk setempat untuk melayani dan menyediakan segala hal yang saya butuhkan. Kemudian ia kembali menghadap raja bersama dengan 100 anakbuah yang tersisa.
Subuh keesokan harinya Raja Melayu kembali menemui saya dengan perintah menerima surat dari VOC beserta hadiah yang dikirimkan gubernur. Sekali lagi saya meminta Raja Melayu menanyakan kesediaan raja menerima surat dan hadiah dari gubernur hari berikutnya dan mengizinkan kami beristirahat hari ini karena kami sangat kelelahan…….
Keesokan hari, dua orang putera raja, yakni pangeran dan saudara laki-lakinya, datang mengambil surat dan hadiah dari gubernur. Mereka diiringi sekitar 4.000 rombongan kerajaan yang membawa alat musik, senapan lontak, payung yang berserat emas, dan tanda-tanda kemegahan kerajaan lainnya……..Pangeran menerima surat gubernur dan meletakkannya di baki emas lalu membawa baki itu sendiri. Sementara para bangsawan pengikutnya turut meletakkan hadiah gubernur di atas baki perak. Dengan arak-arakkan seperti ini kami pergi ke istana, diiringi bunyi tembakan para tentara. Pangeran mernbawa surat itu kepada ayahnya sedangkan saya tetap berada di bawah bersama para bangsawan.
Raja membaca surat gubernur. Sambil membaca, ia menawarkan daun sirih yang ditaruh di baki perak besar. Ia berkata kepada saya bahwa saya amat beruntung sekaligus berani melakukan perjalanan seperti ini, menempuh begitu banyak bahaya di hutan belantara …….Raja menanyakan motivasi….yang mendorong saya berani menempuh perjalanan seperti itu. Saya menjawab, "Tiada alasan selain Cornelis van Qualbergen yang terhormat, Gubernur Malaka sekaligus atasan saya, memerintahkan saya untuk menanyakan keadaan Yang Mulia."
Raja membalas, "Aku sangat bahagia dan berterimakasih kepada gubernur. Mulai saat ini, aku siap membantunya sebagai kawan baik." Akhirnya, raja mengutarakan ketidaksukaannya terhadap Paduka Raja [dari Johor)……..Setelah berpamitan dengan sopan, saya meninggalkan sang raja dan diantar ke rumah yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal saya.
Setelah dua atau tiga hari berlalu, saya menemui beberapa bangsawan istana dan bertanya apabila saya bisa berbicara lagi dengan raja. Mereka menjawab bahwa itu mustahil. Berbicara dengan raja pada awal pertemuan sudah cukup karena hal itu menunjukkan kehormatan besar dan niat baik raja.
Setelah mempertimbangkan jawaban mereka, saya menyimpulkan bahwa penolakan tersebut berasal dari pandangan jahat dan penuh curiga dari para bangsawan dan bukan dari perintah raja…..Kemudian saya menjawab, "Saya bisa, bahkan pernah berbicara dengan Turk yang Agung, seorang raja yang perkasa. Mengapa saya tidak boleh berbicara dengan raja, padahal menurut Raja Turk, adalah saudara seperjuangannya?" Mereka terdiam dan menyembunyikan kekesalannya.
Sementara itu, saya memikirkan bagaimana cara bertemu lagi dengan raja, Saya melihat tidak ada cara lain selain memakai siasat….Selama tinggal di sana, saya perhatikan ibunda Raja Melayu yang terhormat memiliki akses besar kepada ratu dan bebas keluar-masuk istana.
Saya menemui ibu suri dan meminta kesediaannya menyampaikan pesan saya kepada ratu, bahwa saya datang kemari setelah menempuh berbagai mara bahaya yang mengancam keselamatan, yang dikirim Gubernur Malaka sebagai utusan sekaligus untuk mengantarkan surat tuan gubernur, hendak berbicara sekali lagi dengan suaminya, Yang Mulia Raja……..Hasil siasat saya ternyata jauh melebihi harapan. Ratu mengirimkan baki perak berisi daun sirih dan buah pinang yang ditutupi kain kuning, dan mengabarkan bahwa saya akan dipanggil oleh raja dalam tiga hari ke depan……….Akhirnya Raja Melayu datang dengan dikawal 12 orang yang membawa panji-panji kerajaan. Ia memberitahu saya bahwa raja memanggil saya untuk datang ke istana. …….Saya melihat raja duduk bersama penasihat dan beberapa orang haji [peziarah yang pulang dari Mekah].
Saya bergegas masuk ke istana dan memberi hormat sesuai tradisi. Raja kelihatan senang melihat saya memberi hormat kepadanya……Ketika raja selesai berbicara, saya meminta kesediaan raja agar saya diperbolehkan bicara, dan jawaban yang saya terima adalah: "Para utusan mempunyai kebebasan untuk bicara."………Raja berkata lagi kepada para bangsawan….kunjungan Thomas Dias, yang diutus oleh Gubernur Malaka, adalah kunjungan yang pertama. Kedatangannya kemari sangat membuatku gembira. Oleh karena itu, aku akan mencantumkan kunjungan ini dalam catatan harianku dengan turut menyebutkan nama gubernur yang terhormat beserta utusannya. Sebab sebelumnya belum pernah ada utusan dari Malaka di Kerajaan Pagaruyung."……….Kemudian raja menanyakan apakah saya adalah orang yang sama dengan yang tinggal bersama sepupunya, Raja Hitam [pemimpin Minangkabau di Siak], ketika sepupunya berada di Malaka. Raja berkata, "Ia [Raja Hitam] menulis surat kepadaku yang menyebutkan bahwa ia menginap dengan Nakhoda Thomas Dias".
Saya memandang raja dan meminta maaf atas pelayanan buruk yang dialami Raja Hitam selama berada di Malaka. Saya juga mengatakan bahwa seandainya Raja Hitam menyatakan bahwa dirinya adalah sepupu raja, saya akan dengan senang hati memberikan pelayanan yang pantas untuknya.
Raja memerintahkan para bangsawan untuk meninggalkan ruangan sehingga yang tinggal hanyalah Raja Melayu, juru tulisnya, dan tiga haji. Raja turun dari singgasana dan duduk di samping saya di atas permadani. Ia lalu mengulangi pertanyaannya tadi mengenai apa yang saya inginkan. ……..Raja memandang saya dan berkata, "…..kau akan kuberi gelar Orangkaya Saudagar Raja, yang kira-kira berarti saudagarku.” Kemudian ia turut menambahkan gelar “Orang di dalam Istana.”
Raja mengatakan bahwa ia akan mengadakan pesta pelantikan pada pukul tiga sore esok hari………. Seperti biasa, saya datang ke istana pada waktu yang telah ditentukan. Ketika masuk ke sana saya melihat raja dan para bangsawan istana duduk di kursi penghakiman. Saya segera memberi salam dan setelah itu raja melantik saya dan berseru dengan lantang, "Oh Orangkaya Saudagar Raja Orang di dalam Istana." Saya menghadap raja dan menjawab dengan penuh hormat, "Daulat Tuanku."
Kemudian saya dihadiahi sebuah baki perak, sehelai panji-panji kuning, sebuah senjata yang bentuknya mirip tombak kerajaan berhiaskan ornamen perak, dan sebuah cincin dari tembaga suasa [logam campuran emas dan tembaga] sebagai simbol dari raja yang harus saya muliakan seurnur hidup.
Raja juga memberikan surat kuasa yang disegel dengan cap raja. Surat kuasa itu berisi bahwa raja memberikan tiga pelahuhan kepada saya sehubungan dengan gelar yang saya terima, yaitu Siak, Patapahan, dan Indragiri, sehingga VOC dan saya dapat berdagang di sana.
Sebagai tanda bahwa saya menerima semua itu, dengan sopan saya mengucapkan terimakasih dan meminta izin untuk bicara. Raja mengatakan bahwa saya tidak perlu meminta izin. Ia berkata, "Siapa pun yang diterima sebagai orang dalam istana, sebagaimana aku telah menerima kau sebagai saudagarku, diizinkan keluar-masuk istana dan bicara kapan pun mau, sama seperti bangsawanku yang lain."
Mendengar itu saya menunjukkan rasa hormat dan terima kasih saya lalu berkata, "Yang Mulia pasti tahu kalau Raja Johor telah merebut Siak, sedangkan Indragiri juga sudah punya rajanya sendiri."
Raja menjawab, "Dulu aku mengizinkan anak-anak Raja Johor menggunakan Siak sebagai tempat peristirahatan sekaligus tempat bersenang-senang. Namun izin tersebut sudah tak berlaku lagi karena kelicikan dan pengkhianatan yang dia lakukan terhadap sepupuku, Raja Hitam. Apabila Raja Johor menyatakan Siak sebagai wilayahnya, aku akan memintanya untuk menunjukkan bukti kapan dia memperoleh hak kepemilikan tersebut."
"Sebenarnya Indragiri termasuk dalam wilayah kekuasaanku, tetapi daerah itu memisahkan diri dariku dan memberontak, padahal Indragiri hingga ke laut adalah milikku. Belum lama ini Raja Indragiri memohon ampun kepadaku, tetapi aku tidak bersedia memaafkannya atau pun menerima upeti darinya. Bukan hanya karena ia telah menyinggungku, tapi ia juga mengambil penasihat dari orang luar dan membiarkan orang-orang Kompeni dirampok dan dibunuh di penginapan mereka. Apabila Kompeni yang terhormat menghendaki aku dan bawahanku membalaskan dendam mereka, hendaknya mereka menyampaikan keinginan mereka dan mengirimkan dua kapal kepadaku. Dengan begitu, kami bisa mengusir semua orang Indragiri dari sana. Jika Kompeni menyetujui usulku, mereka boleh mendirikan benteng pertahanan di sana dan aku akan mengizinkan saudagar-saudagar Kompeni meneruskan kegiatan dagang seperti biasa. Sebab Indragiri tidak memiliki kekayaan alam sendiri, bahkan persediaan bahan makanan mereka sebagian besar didatangkan dari daerah pedalaman di bawah kerajaanku.”
Raja memberikan kuasa penuh kepada saya untuk melakukan atau membatalkan apa pun yang saya inginkan di tiga pelabuhan dan tempat-tempat dagang yang telah disebutkan; menghukum siapa pun yang patut dihukum, bahkan menjatuhkan hukuman berat kepada siapa pun yang melakukan pembunuhan; dan menyita harta mereka, semua secara amplissima forma. Apabila ada rakyat raja yang dijual sebagai budak, saya harus membebaskan orang tersebut.
Raja mengatakan kalau ia sudah memutuskan untuk menulis surat balasan kepada gubernur. Ia lalu menanyakan bagaimana sebaiknya mengirirn hadiah balasan kepada gubernur dan hadiah apa yang menurut saya patut dikirimkan kepada gubernur. ……Namun, saya mengatakan bahwa tidak ada yang dibutuhkan atau diminta oleh gubernur selain izin melakukan perdagangan yang saling menguntungkan di salah satu tempat di kerajaan raja, entah di Siak atau di Patapahan. Raja berkata, "Selama Anda membantu, hal itu akan terlaksana." ….Setelah berpamitan saya kembali ke tempat saya menginap…… Esok hari saya menghadap raja, …….Ketika tiba di istana, kami melihat haji itu sedang meninggalkan istana.
Beberapa anakbuah saya mengenali haji itu setelah memperhatikannya dengan seksama. Mereka mengatakan bahwa orang itu adalah pelaut Moor yang sering mabuk-mabukan dan kabur dari Malaka ke Riau karena masalah utang. Ketika masuk ke istana, kami tidak menyembunyikan hal itu melainkan menyampaikannya kepada raja……..Raja berkata, orang itu minum anggur dan mabuk-mabukan, berarti dia bukan seorang haji melainkan penipu yang dikirim kemari untuk mengelabuiku. Pergilah, ikuti, dan bunuh dia." Kami melihat 300-400 tentara bergegas keluar istana untuk melaksanakan titah raja, sehingga masalah penipuan ini teratasi. ………Kami melakukan perjalanan pulang setelah berpamitan kepada raja, sebagaimana yang sudah disebutkan. Kami pulang dengan dikawal Raja Melayu yang kini sudah akrab dengan kami, dilindungi oleh payung putih berhiaskan rumbai-rumbai, beserta rombongan 3.000 tentara yang terus-menerus menembakkan senjatanya sampai malam hari ketika kami mendekati Kota Siluka. Di sana, Raja Melayu beserta 3.000 pengikutnya kembali ke istana. Kami melanjutkan perjalanan dengan gagah berani menuju Siluka yang letaknya dekat dengan sungai yang disebut Kuantan.”
SELANJUTNYA DAPAT DIBACA DALAM BUKU MINANGKABAU DARI DINASTI ISKANDAR ZULKARNAIN SAMPAI TUANKU IMAM BONJOL, YANG DAPAT DIPEROLEH DI TOKO GRAMEDIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar